Read Time:2 Minute, 11 Second
Belakangan ini, penerjemahan dianggap menjadi hal penting dalam menentukan populernya suatu karya. Beberapa sastrawan menilai, jika suatu karya belum tersedia dalam bahasa asing, karyanya dirasa tidak populer. Namun, ada hal yang lebih penting dari populernya suatu karya, yaitu kedalaman isi sebuah karya sastra.
Hal tersebut disampaikan oleh Damhuri Muhammad, Redaktur Halaman Sastra Harian Media Indonesia dalam Acara Asean Literary Festival. Ia mengatakan, beberapa sastrawan menilai karyanya tertinggal oleh karya sastra lain di negara-negara Asia karena tak terseleksi oleh komite juri nobel sastra. “Hal tersebut mempengaruhi iklim kekaryaan,” ungkapnya, Rabu (10/12).
Damhuri menjelaskan, ketika suatu karya sastra diterjemahkan dalam bahasa asing, ada beberapa kosa kata yang tak dapat diartikan begitu saja. Sehingga, lanjut Damhuri, sastrawan merasa kerja penerjemah tidak maksimal dan dapat mengurangi isi dalam sebuah karya. “Banyak penerjemah yang akhirnya menyerah dalam menerjemahkan istilah khas Indonesia,” tutur Damhuri.
Menurut Damhuri, ketika ada sastrawan asing yang ingin mempelajari sastra negara lain, mereka harus mempelajari bertahun-tahun bahasa dan kebudayaannya. Karena, sambungnya, ketika mereka sudah paham dalam bahasa dan budaya, mereka akan lebih mudah dalam mengartikan kosa kata dan istilah khas dari karya sastra tersebut.
Damhuri menambahkan, selain masalah penerjemahan, situasi politik pada masa penjajahan juga memengaruhi karya sastra. Tidak hanya di Indonesia, negara-negara ASEAN seperti Philipina, Vietnam, Laos, dan Thailand juga memiliki masalah sama yang memengaruhi karya sastra. “Sehingga, dahulu penerbitan karya sastra dibatasi dan diawasi ketat,” Ujarnya.
Sementara itu, penulis novel Maryam, Okky Madasari menjelaskan, terdapat perbedaan antara karya-karya pada masa kolonial dan karya-karya pada masa revolusi. “Hampir setiap periode sejarah Indonesia terdapat sastrawan dengan karya-karya yang berbeda,” kata Okky, Rabu (10/12).
Menurut Okky, lahirnya sastra baru di Indonesia dipengaruhi oleh perubahan politik. Misalnya, sastra pada 1970-an dianggap berbahaya karena berisi kritikan terhadap pemerintahan masa itu. Sehingga, terbitnya sebuah karya sastra tergantung dari Lembaga Penerbitan. Seperti karya Pramoedya Ananta Toer yang dibakar dan dilarang terbit.
Karya sastra dapat memberi gambaran atas apa yang terjadi dalam masyarakat dalam satu periode tertentu. Seperti sekarang, tambah Okky, tema sastra yang disukai oleh pembaca didominasi oleh nilai-nilai agama dan motivasi hidup. “Karya sastra cermin kehidupan masyarakat,” kata Okky.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Adab dan Humaniora, Zubair, mengatakan, sebuah sastra akan menjadi esensial ketika menjadi sebuah kajian. “Sebelum mempelajari sastra negara lain, lebih baik jika kita mempelajari Sastra Indonesia lebih dahulu sebagai Fondasi awal,” pungkasnya.
Menurut penuturan Ketua Panitia, Ade Dwi Sepetian, seminar ini bertujuan untuk memberi pengetahuan mengenai sastra dan membuat mahasiswa tertarik terhadap sastra. “Selain itu, ada workshop yang mengajarkan mahasiswa menulis sebuah karya sastra seperti puisi,” kata Ade, Rabu (10/12).
IP
Average Rating