Memaknai ‘Atheis’ di Era Modernisasi

Read Time:1 Minute, 44 Second

Tak dapat dipungkiri, memahami karya sastra lama pada zaman modern seperti sekarang memang sulit. Gaya bahasa serta pesan yang berusaha disampaikan dalam karya sastra lama seringkali menimbulkan kebingungan. Apalagi, jika karya sastra yang dimaksud merupakan suatu adaptasi dari dua media yang sangat berbeda seperti pembuatan film yang diadaptasi dari novel.

Hal tersebut dikatakan oleh pengkritik sastra dan public speaker, Lobna Ismail, dalam acara Film Screening and Literary Discussion yang diselenggarakan oleh ASEAN Literary Festival (ALF) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta bertempat di Teater Prof. Dr. Bustami Abdul Ghani Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Senin (16/3).

Dalam acara bedah dan diskusi film berjudul Atheisini, Lobna menyarankan, lebih baik membaca novel Atheis daripada menonton filmnya. “Novel Atheis adalah karya sastra yang memiliki keindahan bahasa di dalamnya dan terkadang tidak dapat ditunjukkan melalui visualisasi akting,” jelasnya, Senin (16/3).

Atheis adalah film besutan Sjumanjaya yang diadaptasi dari novel sastra terkenal pada tahun 1949 karya Achdiat Karta Mihardja dengan judul yang sama. Film Atheis menceritakan sosok seorang laki-laki bernama Hasan yang alim dan saleh, namun sifatnya berubah. Oleh sebab itu, Hasan menjadi orang yang bimbang dan mudah terpengaruh oleh dua temannya yaitu Rusli yang menganut paham Marxisme dan Anwar yang menganut paham anarkis.

Sementara itu, penulis fiksi dan non-fiksi asal Singapura, Josephine Chia memaparkan, menurutnya, film yang dirilis pada 1974 ini, merupakan karya sastra lama yang sarat makna. “Seperti ketika Hasan berkata bahwa ia mengejar kaki langit, sebenarnya itu merupakan metafora yang mempunyai arti yang sangat luas dan dalam,” ujarnya.

Senada dengan Josephine, jurnalis asal Algeria, Idriss Bouskine mengatakan, walaupun dirinya telah menonton banyak film dari berbagai negara, film Atheis ialah hasil karya terbaik yang pernah ia lihat. “Tak hanya drama yang ditampilkan dalam Atheis, tapi ada juga unsur komedi, horor, dan romansa,” katanya.

Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, Rosida Erowati mengatakan, untuk memahami karya sastra lama memang sulit. “Tidak mudah untuk mengerti gaya bahasa, kosakata, dan karakter di dalam novel sastra. Dibutuhkan ketekunan dan kesungguhan untuk terus membaca buku tersebut sampai selesai,” paparnya.

Jeannita Kirana

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Matematikawan Pecahkan Kode Enigma Nazi
Next post Merasa Janggal, Oman Tulis Surat Terbuka untuk Rektor