Ilustrasi (Sumber: Internet) |
Read Time:4 Minute, 8 Second
Hasil audit BKD oleh Itjen Kemenag menyatakan sebagian guru besar UIN Jakarta tidak memenuhi beban kerjanya. Kesibukan di luar kampus banyak jadi alasan.
“Lebih inget nama asisten dosennya dari pada guru besarnya,” ujar Dedeh Herlinawati saat ditanya nama guru besar mata kuliahnya di semester satu, dua tahun lalu. “Soalnya yang (banyak) ngajar asisten dosen (asdos). Penentuan materi juga asdos,” lanjut mahasiswi semester empat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini, Sabtu (25/4).
Dedeh ingat betul, kala itu, guru besar FITK yang mengampu salah satu mata kuliahnya hanya masuk tiga kali dari total 16 kali pertemuan. “Seingat aku, hari pertama dia masuk. Pas ujian, masuk. Bagiin soal. Terus ngumpulin sama asdosnya,” ingatnya.
Tak berbeda dengan Reki Prasetyo. Mahasiswa semester empat Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini merasa kehadiran asdos lebih sering ketimbang beberapa guru besar yang menjadi pengampu dosen mata kuliah di kelasnya.
Reki ingat, tak lebih tiga kali, guru besar memberi mata kuliah di kelasnya. Sisanya, asdos yang aktif masuk. “30% lah,” Reki memperkirakan presentasi kehadiran guru besar yang jarang masuk itu, (Sabtu (25/4).
Mengacu pada Peraturan Rektor tentang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen (BKD) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 pasal 15 tentang Asistensi, mengatur bahwa asistensi merupakan proses bimbingan mengajar oleh guru besar terhadap dosen-dosen muda. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit kehadiran asdos di kelas lebih banyak ketimbang guru besar yang menjadi pengampu utama mata kuliah.
Tak ayal, kehadiran tim audit Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) awal Maret lalu, cukup membuat kalang kabut civitas akademika UIN Jakarta. Tak hanya dosen yang jadi incaran, guru besar pun tak luput dari bidikan. Konon, tak sedikit guru besar UIN Jakarta yang tidak memenuhi beban kerjanya sebagai guru besar.
Ditemui di ruangannya, Kepala Sub Bagian Pengelolaan Hasil Pengawasan Internal, Kamalul Iman Billah bergeming saat dimintai angka pasti guru besar UIN Jakarta yang bermasalah. “Itu rahasia. Lagipula Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)nya juga belum selesai,” ujarnya, Selasa (14/4). Namun, Kamal membenarkan sebagian guru besar UIN Jakarta bermasalah.
Sementara itu, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta, Salamah Agung menyebutkan, berdasarkan hasil sementara audit Itjen Kemenag yang diterima LPM, dari total 63 guru besar di UIN Jakarta, hanya satu guru besar yang bermasalah. Namun, angka itu tidak menutup kemungkinan berubah karena Itjen Kemenag belum menyerahkan hasil akhir audit.
Minimnya kehadiran guru besar mengajar di S1 hanya satu dari sebagian kasus guru besar yang mengemuka selama proses audit BKD. Selain kasus itu, produktivitas di bidang penulisan buku, penelitian, dan penyebarluasan gagasan turut jadi perbincangan hangat civitas akademika UIN Jakarta.
Wakil Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyadari minimnya produktivitas menulis buku, penelitian, maupun menyebarluaskan gagasan di kalangan guru besar UIN Jakarta. Padahal, tiga aspek itu menjadi kewajiban bagi guru besar di setiap perguruan tinggi. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju world class university. “Mungkin (produktivitas) hanya sekitar 30%,” ujar Fadhilah, saat ditemui di ruangannya, Selasa (22/4).
Beban guru besar mendorong peningkatan akademik memang tak seperti dosen pada umumnya. Dalam buku Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yang diterbitkan Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010, beban guru besar meliputi tiga aspek; menulis buku, menulis karya ilmiah, dan menyebarkanluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat.
Untuk memenuhi tiga tugas itu, setiap guru besar diberi waktu tiga tahun. Karenanya, setiap tiga tahun, tim assessor akan meminta buku, hasil penelitian, atau penyebarluasan gagasan sebagai bukti pemenuhan beban kerja guru besar. Waktu tiga tahun terhitung sejak pengangkatan seorang guru besar.
Sejak diangkat menjadi guru besar di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada 2002, Fathurrahaman Rauf, hingga kini telah menulis dua buku. Profesor di bidang Sastra Arab ini mengaku tak memiliki waktu banyak untuk menulis. “Yang susah itu waktunya,” katanya.
Kini, kesibukan Rauf hanya mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab FAH setiap hari Senin, Rabu, Kamis. Rencananya, Rauf akan menulis beberapa buku lagi sebelum pensiun di umurnya yang ke-70. “Saya enggak tahu berapa (buku),” katanya.
Berbeda dengan Rauf. Sejak diangkat menjadi guru besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Yunan Yusuf, telah menulis sembilan buku. Selain itu, di sela-sela kesibukannya mengajar, ia juga menjadi assessor di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Yunan juga tengah menyelesaikan tafsir Al-quran yang sudah digelutinya sejak 2010. Juz 26 tengah digarap. Guru besar bidang pemikiran Islam itu juga tengah menulis tiga buku di bidang filsafat Islam, tasawuf, dan dakwah Rasulullah. Dalam menulis, Yunan katanya biasa bangun pada pukul 3.00 dini hari sampai subuh. “Menulis kalau tidak terbiasa, susah.” Katanya.
Kontribusi guru besar untuk memajukan perguruan tinggi memang penting. Untuk itu, Fadhilah menuturkan, saat ini pihak akademik memperbanyak jumlah guru besar di UIN Jakarta. “Paling tidak nambah satulah setiap tahun,” katanya.
Thohirin
Average Rating