Read Time:2 Minute, 42 Second
Ricuh terjadi pada Pemira 2015: bentrok antar pendukung berujung aksi saling pukul. Pihak keamanan pun turun tangan.
Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2015 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta diwarnai dengan kericuhan antar pendukung calon. Bentrok terjadi sejak Selasa (22/12) sore di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom). Kemudian aksi tersebut berlanjut dengan saling pukul pada malam harinya di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Pihak keamanan kampus terpaksa diturunkan untuk mengamankan keributan.
Sebelumnya, Ketua Satuan Pengaman (Satpam) UIN Jakarta, Satori dan anggotanya telah mendapatkan surat tugas dari Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengamankan Pemira tahun ini. 67 satpam bertugas mengamankan Pemira dan disebar ke setiap fakultas.”Kita mengamankan mahasiswa yang menjurus kepada tindakan anarkis,” katanya Jumat, (25/12).
Sebelum turun ke lapangan, mereka terlebih dahulu melakukan rapat internal untuk teknis pengamanan di lapangan. Dari hasil rapat, Satori mengatakan, satpam hanya bertugas untuk memantau dan tak menetap langsung di Tempat Pengungutan Suara (TPS). “Jika diawasi langsung di TPS, mahasiswa bisa emosi. Jadi, kita hanya memantau,” jelasnya.
Selain itu, Satori menyadari mempunyai keterbatasan untuk mengamankan mahasiswa yang menjadi provokator. Satpam tak berhak menghakimi mahasiswa yang diduga bersalah. Adapun yang berhak menghakimi mereka hanya pihak kepolisian. Sejauh ini, satpam hanya melakukan koordinasi dengan kemahasiswaan jika terjadi kericuhan.
“Kendalanya, kita tak punya kekuasaan mutlak. Satpam hanya berhak melerai dan mendamaikan pihak yang bertikai agar tak berkepanjangan. Kita tak segan-segan mengusir mereka yang tak mematuhi aturan,” ungkapnya.
Terkait kericuhan dalam Pemira tahun ini, pengamat politik, Ray Rangkuti menyayangkan tindakan tersebut. Pemira seharusnya dijadikan ajang untuk pendewasaan berdemokrasi, bukan sebaliknya.”Penyelesaian dengan tindak kekerasan merupakan tindakan yang memalukan,” katanya.
Demokrasi kampus idealnya menjadi teladan bagi masyarakat umum. Adanya kericuhan pada saat pesta demokrasi kali ini disayangkan Ray Rangkuti. Aktivis tahun ’98 ini mengatakan, seharusnya Pemira dijadikan ajang untuk pendewasaan berdemokrasi, bukan sebaliknya.
Ketua Lembaga Lingkar Madani ini berujar, penyelesaian masalah dengan kekerasan merupakan tindakan yang memalukan, apalagi pelakunya kaum intelektual. “Tindakan kekerasan dalam Pemira hanya akan merongrong demokrasi di kampus. Mahasiswa seharusnya lebih mendahulukan akal daripada otot,” tegasnya, Sabtu, (26/12).
Ia menambahkan terlalu naïf bagi mahasiswa berbicara tentang persoalan bangsa dan negara, jika persoalan internal sendiri tak mampu diredam. “Mahasiswa itu makluk kritis yang mengedepankan rasionya. Kalau enggak pakai akal, lebih baik pulang kampung tak usah kuliah,” katanya.
Alumnus Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta ini pun berharap tindak kekerasan dalam Pemira tak terulang lagi. Duduk bersama dengan mengadakan musyawarah diharapkan mampu menyelesaikan masalah. ”Berdialog lebih baik daripada berantem,” lanjutnya.
Ketua KPU, Putra Dian Kharisma Ivada menjelaskan pihak KPU telah berusaha mengatasi konflik dalam pemira. KPU telah menggandeng pihak keamanan UIN untuk mengamankan pemira. “Pengamanan selama Pemira telah di-back up oleh satpam,” jelasnya, Sabtu (26/12).
Selain itu, KPU dan Bawaslu juga telah menyediakan wadah untuk menyelesaikan sengketa Pemira. Setiap kecurangan yang terjadi pada pemira bisa langsung dilaporkan ke pihak Bawaslu fakultas dan universitas. ”Meski beberapa mahasiswa masih menganggap konflik itu budaya pemira, namun melalui mekanisme ini, diharapkan kericuhan tak lagi terulang,”katanya.
Terkait kericuhan dalam pelaksanaan Pemira 2015, Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan, Yusran Razak mengatakan insiden kericuhan yang terjadi di beberapa fakultas merupakan pembelajaran demokrasi. “Tak ada yang sempurna dalam demokrasi,” pungkasnya, Jumat (25/12).
Z
Average Rating