Read Time:3 Minute, 41 Second
Telah menjadi kesadaran kita bersama, bahwa dengan berbagai potensi bangsa dan negara yang kita miliki berupa kekayaan alam yang melinpah ruah, bumi yang subur di bawah langit khatulistiwa, posisi geografis yang strategis, serta kekayaan budaya dan suku yang coba kita bingkai dalam konsep “Bhineka Tunggal Ika”, seharusnya Indonesia menjadi sebuah negara bangsa yang terkemuka di kancah dunia, ya seminim-minimnya merajai Asia lah. Wajar akan hal tersebut tidak sedikit masyarakat yang mulai sibuk dengan proses dialektika, membicarakan di warung-warung kopi, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, bahkan tak jarang pula menjadi rutinitas obrolan di rumah bersama sanak keluarga. Takkan ada habisnya memang membicarakan Indonesia terlebih dengan tantangan globalnya yang semakin menggombalisasi.
Di iklim demokrasi, perkumpulan massa atau forum-forum kajian yang biasa disebut diskusi merupakan hal yang sangat lumrah. Mengingat kebebasan berpendapat merupakan sebuah hak-hak individu yang dijamin oleh Undang-Undang. Sebagaimana telah diketahui, otonomi atau kemandirian adalah salah satu ciri mahasiswa sebagai institusi yang menjadi kontrol sosial. Mahasiswa memiliki otonomi nya sendiri, baik terhadap pengaruh dan intervensi manapun termasuk lembaga-lembaga tinggi negara. Otonomi dalam pengertian politik adalah tingkat kebebasan tertentu yang dimiliki oleh sebuah organisasi atau kelompok tertentu terhadap kontrol yang dilakukan oleh pihak lain. Menurut JJ Schrieke, salah satu inti pengertian otonomi adalah menjadi tuan atas diri sendiri.
Setiap hari kita melihat dan mendengar pertikaian elit politik, pengerahan masa untuk demonstrasi atas kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang sering kali berujung pada bentrokan antar kelompok dan dengan aparat keamanan, kelangkaan kebutuhan pokok yang diikuti meningkatnya harga, kebijakan pemerintah yang malah mendatangkan masalah baru, dan lain sebagainya. Mungkin pertanyaan besar di benak kita, mengapa diskusi-diskusi menjadi hal yang sangat penting? Sudah barang tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melek dengan kondisi disekitar kita, atau sebagian jawabannya ada diatas pertanyaan tersebut.
Bukan saja penting atau tidak yang kita persoalkan, yang perlu lebih kita persoalkan, melainkan apakah kita akan terus-terusan menyadarkan diri kepada politik dengan basis massa sebagai faktor penentu? sementara kita mempunyai orang yang ditunjuk sebagai wakil politik, dimana letak hakekat demokrasi perwakilan (representative democrasy). Atau ini adalah bukti nyata dari cara-cara berpolitik yang mempergunakan kekuatan fisik yakni momentum aksi massa dan memobilisasi emosi massa sebagai kekuatan politik, bukan argumentasi logis dan rasionalisasi? sebagaimana yang sempat dikatakan oleh prof. Dr. Hamdi Muluk (2010).
Menurut KBBI pengertian diskusi adalah bertukar pikiran mengenai suatu masalah yang dilakukan secara ilmiah. Diskusi merupakan kegiatan yang wajar dilakukan seseorang dalam memecahkan suatu masalah, sebab diskusi merupakan dasar dari buah pikir sesorang dalam melakukan suatu tindakan aksi. Diskusi bukan saja menjadi agenda mahasiswa untuk menggugurkan kewajiban saja, melainkan untuk mencari titik terang dari berbagai isu dan permasalahan yang ada. Jangan sampai seperti istilah memakan buah simalakama, semua tindakan yang kita lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut seperti tidak berujung pada terpecahkannya masalah, justru yang kita temui lagi adalah hal yang sama, yakni masalah baru.
Bagi mahasiswa Ciputat, penulis menyebutnya begitu sebab banyak kampus-kampus didalamnya dan tidak sedikit pula kaum intelektual yang mempunyai pemikiran-pemikiran politik tertentu, bahkan santer beredar kabar ciputat mendapat julukan bak pemikiran tersendiri dengan istilah “mazhab ciputat”. Oleh karenanya diskusi sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, boleh jadi ciputat adalah gudangnya berbagai tempat forum-forum diskusi, mulai dari diskusi gender, lingkungan, sosial, ekonomi, politik, sastra, pemikiran tokoh-tokoh sampai pada kebudayaan. Ada pun beberapa mahasiswa yang berbeda pandangan bukan persoalan, melainkan kekayaan interpretasi seseorang dalam menafsirkan ilmunya.
Banyak panggung diskusi-diskusi yang disajikan oleh para geliat diskusi, mengingat adanya maba untuk sumber pengetahuan selain bangku perkuliahan. Layaknya pengamat dan aktivis, sebetulnya mahasiswa berada diantara keduanya. Mahasiswa wajib memahami isu dan permasalahan yang sedang dibahas, jangan sampai ada ketimpangan informasi dan pengetahuan sehingga terjadi kesalahan dalam bertindak. Dikatakan pengamat ketika mahasiswa mampu menganalisis dan menyajikan data secara objektif, sehingga mahasiswa tidak sembarangan melempar isu ke public. Begitu pun kala menjadi aktivis, mahasiswa dituntut jujur segala sesuatunya adalah murni untuk kepentingan rakyat, sebagaimana Tan Malaka mengatakan bahwa kekayaan yang dimiliki mahasiswa adalah idealisme.
Perlu dipahami menjadi “mahasiswa” sudah trend dikalangan masyarakat saat ini, banyak masyarakat yang menempuh pendidikan tingkat universitas hanya sekedar berharap mendapat kerja yang mapan. Padahal bukan persoalan yang mudah ketika diri seseorang disematkan menjadi mahasiswa, ada pertanggungjawaban moral yang harus ia kerjakan. Seperti nilai-nilai Tri Darma Tinggi yang harus segera dibangun kembali, hingga bukan saja menjadi cirri khas mahasiswa tetapi menjadi proses mahasiswa menjadi penerus bangsa selanjutnya.
*Pegiat forum kajian diskusi Lingkar Studi Tangerang Selatan (LiNTAS)
Average Rating