Meninjau Ulang Eksistensi Pers Mahasiswa

Read Time:7 Minute, 7 Second


Oleh : Nanang Syaikhu*

Seringkali kita mendengar ada istilah pers mahasiswa, pers kampus, penerbitan mahasiswa atau penerbitan pers mahasiswa. Istilah tersebut dalam pers nasional sebetulnya tidak ada atau tidak dikenal. Demikian pula dengan istilah “pers Islam”. Pers nasional hanya menyebut bahwa media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah pers dengan ciri-ciri tertentu.
Penggunaan berbagai istilah di luar peristilahan yang dipakai pers nasional sekadar untuk menyebutkan bahwa penerbitan tersebut berbeda dengan pers pada umumnya. Ini selain menyangkut masalah orientasi juga menyangkut pada hal-hal yang sifatnya teknis seperti distribusi, pengelolaan, dan pembiayaan. Demikian pula peristilahan yang dipakai bagi sebuah penerbitan kampus dewasa ini lebih dikenal dengan “pers mahasiswa” dan “pers kampus”. Penambahan “mahasiswa” dan “kampus” di belakang pers menunjukkan bahwa penerbitan itu bukanlah termasuk dalam kategori pers umum sebagaimana yang kita kenal, tapi penerbitan khusus dengan ciri-ciri tertentu pula. Secara umum dan teknis dapat dibedakan antara pers mahasiswa dengan pers kampus. Pers mahasiswa adalah pers yang terbit di dalam kampus dan dikelola oleh kebanyakan mahasiswa, baik yang menyangkut bidang redaksional maupun bidang tata usaha. Sementara pers kampus adalah pers yang terbit di dalam kampus serta dikelola bukan saja oleh mahasiswa, tetapi juga oleh unsur birokrasi kampus, dalam hal ini karyawan atau dosen. Dalam tulisan ini selanjutnya saya hanya akan menggunakan istilah pers mahasiswa atau disingkat Persma.
Problem Persma
Mengamati perkembangan Persma belakangan ini boleh dikatakan telah banyak mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Perubahan mana ditandai selain karena faktor internal juga eksternal. Secara eksternal perubahan di antaranya menyangkut soal visi dan misi serta orientasi, termasuk di dalamnya manajemen pengelolaan. Ada kecenderungan bahwa Persma di hampir seluruh perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi terkemuka seperti UI dan UGM, saat ini seperti kehilangan energi (untuk tidak mengatakan mati suri). Masalahnya memang tidak sederhana, selain menyangkut manajemen pengelolaan juga—yang kerap dikeluhkan—adalah yang berkaitan dengan masalah pendanaan. Dari sisi manajemen Persma umumnya masih dikelola secara tradisional dan konvensional. Hal ini dapat dimaklumi karena pengelola Persma umumnya adalah para mahasiswa yang tengah menuntut ilmu. Apa yang disebut profesionalisme pers, jika kita mengambil kasus Persma, maka jangan harap itu bisa diperoleh (paling tidak untuk sementara ini). Namun tidak berarti para pengelola Persma tak memiliki kemampuan untuk bersikap profesional. Mereka yang aktif dan mau belajar secara serius dalam pengelolaan Persma, baik di bidang redaksional maupun manajerial, sangat mungkin menjadi pengelola pers profesional sebagaimana halnya mereka yang aktif dalam pers umum.
Waktu buat para pengelola Persma terkadang juga sering menjadi kendala untuk menekuni Persma. Selain dihadapkan oleh tugas-tugas perkuliahan, mereka juga umumnya ada yang aktif dalam kegiatan lain seperti organisasi intra dan ekstra kampus. Selain itu para pengelola Persma sejauh ini tak sedikit di antaranya yang fokus pada bidang tugas yang ditekuninya. Ada misalnya seorang pemred, selain mengurusi masalah redaksional juga merangkap sebagai kepala tata usaha. Seorang reporter merangkap sebagai sekretaris atau marketing/promosi dan sebagainya.
Sementara itu, eksistensi Persma tak lepas dari kendala eksternal, baik yang diciptakan oleh birokrasi kampus sendiri maupun situasi di luar kampus. Birokrasi kampus yang kaku seringkali membuat para pengelola Persma tak punya “nyali” untuk bergerak secara dinamis, meski misalnya sekarang ini terkesan agak “longgar” dalam mengontrol Persma. Kendala yang sering dihadapi oleh birokrasi kampus adanya sejumlah “rambu” larangan bagi aktivis Persma untuk bekerja hingga larut malam di dalam kampus. Padahal pekerjaan seorang jurnalis umumnya membutuhkan keleluasaan dari segi waktu. Apalagi bagi penerbitan yang secara berkala dicetak harian atau mingguan. Lebih dari itu dukungan terhadap penyediaan fasilitas (di luar pendanaan, yang juga sering menjadi persoalan klasik) sangat tidak banyak diharapkan. Sering terjadi ada ruang redaksi yang masih menumpang pada lembaga lain atau satu komputer digunakan secara keroyokan, yakni untuk semua bidang kerja.
Kendala eksternal lain adanya sejumlah rambu yang dibuat oleh “pemegang otoritas pers”. Situasi yang agak “mengekang” terhadap kebebasan Persma dalam sejarah terjadi ketika Pemerintah Orde Baru masih berkuasa dan hidupnya Departemen Penerangan. Sebagaimana diketahui, departemen inilah yang banyak memiliki kewenangan dalam mengatur kehidupan pers, baik pers umum maupun pers khusus seperti Persma. Pada masa Orde Baru dulu Persma—yang dikategorikan sebagai Penerbitan Khusus—diatur sedemikian rupa. Peraturan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Penerangan No.01/Per/MENPEN/1975 tentang Ketentuan-ketentuan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan Khusus. Beberapa pasal diantaranya menyebutkan bahwa Persma harus memiliki Surat Tanda Terdaftar (STT) dan kemudian Surat Izin Terbit (SIT). Bahwa Persma termasuk dalam kategori khusus, menurut SK tersebut, dicirikan sebagai berikut: 1) Persma harus berfungsi sebagai media penerangan, penyuluhan dan pendidikan, yang isinya tidak memuat pemberitaan, pembahasan, atau pengolahan yang bersifat politik praktis (Pasal 1 ayat 2); 2) diterbitkan oleh organisasi, badan atau lembaga tertentu (Pasal 2 ayat 1 dan 2); 3) sasaran pembaca terbatas pada kalangan tertentu (ayat 4); 4) semata-mata mementingkan segi idiil dan tidak merupakan usaha komersial (ayat 5); 5) penerbitan khusus tidak dijual secara umum (ayat 6); dan 6) pemuatan iklan tidak melebihi ketentuan (cukup untuk memenuhi ongkos cetak).
Namun, sejak Orde Baru tumbang dan dimulainya era reformasi, Persma—lebih-lebih pers umum—seperti menemui kegairahannya kembali. Euforia untuk menerbitkan berbagai media pun menjamur di mana-mana, baik yang menempuh jalur lunak, keras (dan kadang sedikit ekstrem) maupun yang senang ber-esek-esek ria. Ibaratnya, sejak reformasi bergulir, semua jenis dan orientasi pers ada di sini. Bagaimana dengan Persma? Persma sejauh ini tetap digelayuti oleh kendala, meski misalnya Departemen Penerangan telah mati yang dibarengi dihapusnya lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Kendala itu misalnya masih sulitnya Persma dijual ke khalayak umum. Padahal, peluang Persma untuk menjadi “pers umum” itu sebenarnya ada. Hanya saja, pembaca sekarang juga tidak lagi bisa dirajuk. Pembaca kita sekarang lebih selektif dan mulai memilih pada penerbitan berjenis profesi atau hobi, bahkan ada juga yang senang dengan dunia mistik dan esek-esek. Sementara Persma, jika akan mengambil lahan umum, jelas akan kalah dulu sebelum bertempur. Toh koran umum saat ini jumlahnya sudah sulit lagi dihitung dengan jari. Demikian pula majalah, tabloid, dan buletin “jalanan”. Jadi, kendala eksternal sekarang bukan lagi persoalan politik melainkan kultur. Berbeda misalnya ketika awal-awal Orde Baru lahir hingga akhir 70-an. Persma, juga pers kampus, justru telah mengukir sejarah cemerlang dengan kemampuannya untuk bersaing dengan pers umum. Koran seperti Salemba (UI), Harian Kami (KAMMI), Mahasiswa Indonesia (Angkatan ‘66), Gelora Mahasiswa (IPB), Kampus (UGM), pada zamannya adalah koran-koran mahasiswa yang banyak ditunggu pembaca. Situasi yang mendukung eksisnya koran mahasiswa pada waktu itu di antaranya adalah masih longgarnya “aturan main” terhadap pers bahkan ada di antaranya yang—secara ideologis—berhaluan sebagai penyokong Orde Baru seperti Mahasiswa Indonesia (Francois Raillon, 1985).
Persma sekarang: bagaimana bersikap?
Untuk kembali mengulang sejarah kegemilangan Persma mungkin masih butuh waktu. Pasalnya, yaitu tadi, banyak kendala yang dihadapi. Namun, untuk sekadar tetap eksis Persma—termasuk para pengelola Persma—perlu kembali meninjau secara jernih mengenai apa yang menjadi dasar pendirian Persma. Bagi mahasiswa sebagai unsur utama pengelolaan Persma, Persma tak lebih sebagai wadah aktivitas peminat jurnaliatik/pers. Mereka yang ingin menjadikan Persma sebagai lahan pengembangan dan peningkatan profesi tadi seyogyanya tidak dulu berpikir bahwa Persma akan banyak dibaca orang dan berkembang secara wajar sebagaimana yang terjadi pada pers umum.
Aktivis Persma adalah juga kader jurnalis, yang dengannya kelak akan menekuni bidang itu sebagai profesi selepas kuliah. Bagi yang meminati profesi jurnalis, idealisme untuk sementara boleh dulu ditanggalkan. Demikian pula mimpi akan menerima gaji atas keterlibatannya dalam kegiatan Persma. Yang penting saat ini dilakukan adalah di samping menjadikan lembaga Persma sebagai wadah persemaian dan pelatihan profesi (jurnalis), juga sarana yang tepat untuk mengasah otak menjadi penulis yang terampil. Aktifis Persma juga jangan bermimpi dulu dengan harapan akan datangnya “lampu aladin” yang dalam sekejap bisa mengubah wajah Persma menjadi koran alternatif yang beroplah besar. Meski gagasan ini kedengarannya kurang populer, namun dengan langkah dan sikap yang ditempuh oleh para aktivis Persma tampaknya sah-sah saja untuk dilakukan. Ini, sekali lagi, mengingat waktu yang tersedia buat mahasiswa selain terbatas, juga dukungan finansial serta kultur dan karakteristik pembaca sekarang belum memungkinkan untuk Persma berkembang baik. Hanya saja yang paling penting disiasati adalah bagaimana para aktivis Persma memiliki keberanian untuk mengubah orientasi dari Persma yang bersifat umum menjadi bersifat khusus. Atau sekurang-kurangnya porsi isi Persma harus lebih besar pada bidang kekhususan, misalnya yang menyangkut eksistensi di mana Persma itu diterbitkan, apakah di jurusan, fakultas, ataukah universitas.
Dengan perubahan orientasi isi, ditambah dengan sisi tampilan yang bagus, bukan mustahil Persma akan menjadi media yang dicari pembaca, meskipun terbatas di kalangan mahasiswa. Perubahan ini saya kira sudah saatnya dilakukan jika Persma akan terus eksis. Di samping itu para pengelola Persma harus terus menerus meningkatkan keterampilan dan profesionalismenya dengan, misalnya, mengadakan inhouse training secara berkala dalam bidang jurnalistik seraya mengundang para pakar dan praktisi jurnalistik.

*Mantan Aktivis Pers Mahasiswa INSTITUT IAIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Revolusi Mental Para Passenger
Next post Mahasiswa Diantara Pengamat dan Aktivis