Selain mempunyai faktor keindahan, menurut Didin kaligrafi juga mempunyai unsur dakwah di dalamnya dan disetiap tulisan kaligrafi itu biasanya mengandung makna tertentu seperti tulisan Allah, Nabi ataupun ayat-ayat suci Al’Quran. “Berdakwah kan tak selamanya harus dimimbar dengan goresan tinta pun bisa berdakwah,” tutupnya.
Lia Esdwi Yani Syam Arif
Read Time:3 Minute, 3 Second
Didin siarkan pesan agama lewat lukisan. Karena berdakwah tak selamanya di atas mimbar.
Kesukaan pada seni lukis telah mendarah daging dalam diri Didin Sirojudin, terbukti sederet penghargaan miliknya telah diakui tingkat nasional hingga internasional. Beberapa buku karangannya pun seperti Seni Kaligrafi Islam dan Pelajaran Kaligrafi dipakai sebagai rujukan mata kuliah khot. Tak banyak yang tahu jatuh bangun ia dalam meniti karir di dalam seni lukis arab.
Awalnya, kegagalan dalam berkompetisi pernah ia rasakan sewaktu duduk dibangku kuliah. Ketika itu Didin mengikuti lomba kaligrafi di Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional 1981 di Aceh, namun tak satu pun nominasi yang ia juarai.
Walaupun mengalami kekalahan Didin tak menyerah, ia malah lebih bersemangat mengasah hobi kesukaannya itu. Hingga pada MTQ tahun 1983 di Padang, Didin berhasil tembus, bukan lagi sebagai pemenang akan tetapi sebagai dewan hakim perlombaan kaligrafi yang berlanjut hingga sekarang.
Pria kelahiran 15 Juli 1997 ini bercerita, bahwa kesukaannya diseni lukis bukan tanpa latihan yang tekun. Sedari kecil ia sering menggambar dengan cara mencoreti dinding rumah dengan pewarna alami yang ia buat dari bunga dan buahan dihaluskan. ”Dulu saya belum kenal cat air dan kanvas jadi saya menggunakan alat yang seadanya saja” ungkapnya, Kamis(15/9).
Setelah lulus Sekolah Dasar (SD), Didin yang melanjutkan sekolah di Pondok Pesantren Darussalam Gontor merasa bakat seninya dapat tersalurkan karena ia mendapatkan ilmu seni baru yaitu ilmu kaligrafi. Sejak itu, Didin mulai mendalami teknik kaligrafi hingga menghasilkan banyak karya. Kemudian, pada tahun 1974 ia berhasil mendirikan Sanggar yang diberi nama Sanggar Pelukis Darusalam.
Karena telah berhasil mendirikan sanggar pelukis di lingkungan Pesantren, Didin yang pada saat itu masih menjadi santri mulai bermimpi untuk mendirikan sebuah lembaga kaligrafi di Indonesia. “Saya mau kaligrafi itu dikenal seluruh masyarakat bukan hanya dikalangan pesantren saja.” tutur pria asli Kuningan ini.
Sayangnya, niat Didin untuk mendalami ilmu seni lukis selepas tamat pesantren tak mendapat respon baik dari keluarga. Terbukti, ayahnya tak mengizinkan Didin masuk Akedemi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, sekolah yang ia impikan sejak dulu.” Walau tak kuliah di akademi seni saya yakin bakat saya masih bisa tersalurkan” ungkapnya.
Ketika melanjutkan kuliah di Institut Agama Islam (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1976 Didin mengisi waktu sengangnya dengan ikut bergabung di Sanggar Garajas yang terletak di Bulungan Jakarta Selatan. Selain itu, ia pun rutin menghandiri pentas kesenian disekitaran Jakarta.
Bagai memancing di air keruh, tak lama setelah mendapatkan gelar S1 maka Didin mewujudkan cita-citanya. Ia berhasil mendirikan sebuah lembaga kaligrafi pada1985, Lembaga tersebut diberi nama Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka). Kemudian, selang tiga belas tahun Didin juga mendirikan sebuah pesantren Lemka di Sukabumi.
Karena kepedulian Didin yang tinggi terhadap perkembangan kaligrafi di Indonesia, maka ia bersedia bolak balik Jakarta-Sukabumi hingga tiga kali dalam satu minggu. Hal tersebut dilakukan agar ia bisa memantau dua lembaga kaligrafi milikinya secara langsung.
Berkat ketekunannya dalam kaligrafi sudah banyak penghargaan ia terima semenjak 1987 mendapat Juara I Peraduan Menulis Khat ASEAN di Brunei Darussalam 2001, ia mewakili Indonesia dalam The 9th International Exhibition of The Holy Qur’an di Teheran, Iran. Tahun 2009, ia mengisi pameran dan diskusi seni kaligrafi Arab di Islamabad dan Lahore Pakistan, dan masih banyak lagi.
Average Rating