Read Time:4 Minute, 0 Second
Oleh Fahmi Fauzi Abdillah*
Masih hangat dalam ingatan masyarakat Indonesia, tepat Rabu 21 September, negeri ini kembali dihebohkan oleh isu penipuan berkedok agama. Kehebohan itu datang dari Probolinggo, Jawa Timur. Tokoh agama, Kanjeng Dimas Taat Pribadi diciduk polisi karena kasus penipuan dengan modus menggandakan uang. Ratusan orang di Jawa dan luar Jawa menjadi korbannya. Mulai dari petani, nelayan, pengusaha, politisi, dan cendekiawan pun mampu ia taklukkan.
Ironis, dalam menjalankan aksinya, korban diiming-imingi bahwa uangnya akan berlipat ganda. Sebagai persyaratan, korban harus terlebih dahulu menyetorkan uang mahar. Jumlahnya pun berkisar Rp100 ribu hingga Rp100-an juta. Alih-alih untung, kebanyakan korbannya buntung. Uang yang ditunggu tak kunjung berlipat ganda. Lebih lanjut, Kanjeng Dimas pun didakwa membunuh dua orang pengikutnya yang ingin membongkar kejahatan Sang Guru.
Ini merupakan salah satu kasus dari serangkaian kasus penipuan berkedok guru spiritual, dukun, bahkan kiayi palsu. Hal ini tercermin dari beberapa kasus, seperti dukun palsu Anton alias Aji tahun 2016 dengan modus menggandakan emas batangan, kiayi palsu Tri Sugeng Budiyono 2015 dengan modus menggandakan uang, Abdul Muhjib 2016 dengan modus menawarkan masuk surga berbayar dan Gatot Brajamusti dengan modus berperan sebagai guru spititual. (Sumber: Koran Tempo (6/10)).
Maraknya kasus penipuan berkedok agama, tak terlepas dari sikap masyarakat yang terlalu mengkultuskan individu dalam strata sosial. Penghormatan berlebihan terhadap kiayi, dukun, dan guru spiritual tanpa melihat backgroundnya. Padahal tokoh tersebut belum tentu memiliki aspek moral dan etika yang pantas untuk dijadikan suri tauladan.
Menurut Azyumardi Azra dalam Koran Tempoedisi Kamis (6/10), budaya masyarakat kita yang masih berkeinginan untuk menempuh jalan instan dalam menyelesaikan masalah seperti utang piutang, ambisi politik, dan jabatan. Kondisi tersebut dimanfaatkan para penipu dengan menciptakan kultus dengan membangun karisma menggunakan kedok agama.
Penghormatan secara berlebihan terhadap seseorang yang memiliki derajat tinggi di masyarakat merupakan penyebab terjadinya serangkaian peristiwa di atas. Dalam masyarakat kita masih berakar kuat anggapan bahwa orang-orang dengan identitas dan peran sosial tertentu wajib dihormati. Penilaian masyarakat secara umum itu lebih kepada penampilan fisik, seperi orang yang mengenakan jubah dengan gaya agamis lebih dihormati dibanding orang yang berpakaian apa adanya. Pandangan semacam inilah yang memberikan ruang pada para penipu untuk berpenampilan sebaik mungkin sehingga mendapat derajat yang tinggi di masyarakat. Setelah itu mereka menggunakan status mereka untuk melakukan tipu daya kepada khalayak.
Para peneliti pun mencoba menganalisa fenomena yang cukup akut di masyarakat ini. Dalam kesimpulannya, Steven Hassan, mengatakan pengkultusan sebagai suatu yang bersifat destruktif daripada positif. Pengarang buku Combating Cult Mind Control ini, mendefinisikan pengkultusan ibarat piramida dalam bentuk rezim otoriter dengan seseorang atau kelompok orang yang memiliki kontrol sewenang-wenang. Orang-orang yang dikultuskan tersebut pada tahap selanjutnya cenderung berlaku kebablasan tanpa kontrol. Kondisi seperti ini tercermin dari beberapa kasus para penipu berkedok agama di Indonesia.
Lebih lanjut, di era modern terdapat kecenderungan masyarakat bersikap instan. Segala sesuatu ingin diperoleh dengan gampang tanpa usaha ekstra. Penyakit ini menjamur hingga cendekiawan. Pada akhirnya mereka menghalalkan berbagai cara bahkan melalui jalan yang dilarang dalam agama, seperti menggandakan uang. Padahal jelas-jelas itu bukan merupakan jalan yang legal untuk dicapai.
Gaya hidup masyarakat yang ingin mendapatkan sesuatu secara instan ditambah masalah yang semakin kompleks secara tidak langsung membuat masyarakat mulai dari kalangan tak berpendidikan tinggi, selebritis hingga cendekiawan tak dapat berpikir rasional. Pada akhirnya mereka menghalalkan berbagai cara bahkan melalui jalan yang dilarang dalam agama, seperti menggandakan uang.
Melihat maraknya kasus semacam itu, tampaknya perlu diajarkan kembali pemahaman agama kepada masyarakat secara rasional. Sebagaimana yang dikatakan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog agama dalam The Elementary Form of Religious Life (1915)menjelaskan mengenai dasar-dasar agama pada poin pertama bahwa agama seharusnya memisahkan antara yang profane(kotor) dengan yang suci. Namun pada beberapa kasus yang terjadi, agama justru menggabungkan antara dua hal yang bertentangan itu.
Kedua, di bidang ekonomi, masyarakat seyogyanya tidak menggunakan cara instan, namun bekerja keras untuk mendapatkan materi yang mereka harapkan. Ketiga, di bidang sosial, sikap mengkultuskan sebaiknya dikurangi. Pasalnya sikap mengkultuskan itulah yang memberi kesempatan kepada para penipu untuk kembali melakukan aksinya.
Ini jelas telah membuat dasar agama telah melenceng dari apa yang seharusnya menjadi landasan. Hal profane yang dimaksud adalah sikap menghalalkan segala cara termasuk dengan menipu orang lain, sedangkan hal suci seperti amalan dan zikir te rtentu menjadi kedok para penipu untuk memuluskan aksinya.
Berkaca pada kasus-kasus tersebut maka perlu adanya solusi dalam memecahkan kasus-kasus tersebut. Pertama, di bidang agama sebaiknya masyarakat diberikan pemahaman agama secara komprehensif sehingga mereka dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Ini tercermin dalam fungsi agama yang kedua menurut Durkheim yakni sebagai alat kontrol sosial.
Kedua, di bidang ekonomi dan pemikiran, masyarakat seyogyanya bersikap rasional, tidak menggunakan cara instan, namun bekerja keras untuk mendapatkan materi yang mereka harapkan. Ketiga, di bidang sosial, sikap mengkultuskan sedikit demi sedikit dikurangi menjadi menghormati.
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta
Average Rating