Read Time:5 Minute, 16 Second
Oleh Andikey Kristianto*
Setiap perguruan tinggi umumnya memiliki Organissi/ Lembaga Kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Mahasiswa (DEMA), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) atau Senat Mahasiswa (SEMA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada di bawah naungan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan (untuk HMJ).
Organisasi tersebut didirikan untuk mewadahi aspirasi, minat, bakat, dan hobi bagi mahasiswanya. Lembaga Kemahasiswaan seperti DEMA atau SEMA merupakan lembaga yang mengorganisir kebutuhan dan kegiatan mahasiswa secara umum. Sedangkan UKM lebih fokus pada bidang keterampilan khusus yang diikhtiarkan untuk menambah kapasitas diri dan keterampilan hidup anggota yang menunjang dirinya paska merampungkan studi S-1.
Seiring perjalanannya, setiap Lembaga Kemahasiswaan berusaha melakukan kaderisasi dan reorganisasi minimal setahun sekali. Namun, persoalan klasik seringkali menghantui Lembaga Kemahasiswaan, antara lain kepemimpinan yang tidak muncul/tidak membumi dari Pimpinan Lembaga, sehingga pengurus maupun anggotanya menjadi kurang percaya diri, bahkan cenderung mengabaikan fungsi pimpinan, dana kegiatan yang kurang memadai, kaderisasi macet, kepengurusan yang kurang maksimal, konflik kepentingan antar pengurus yang mungkin dipicu masalah pribadi, konstalasi politik kampus dan sebagainya.
Bila dipahami seksama, Lembaga Kemahasiswaan memiliki manfaat yang luar biasa. Hal tersebut biasanya baru dapat dirasakan manakala kita sudah menjadi sarjana atau berstatus mahasiswa non aktif. Bila kita jujur, maka kita akan mengakui efek positif sebagai anggota atau pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Kampus.
Sejak dilahirkan, manusia sudah diperkenalkan dengan organisasi, bahkan sampai seseorang meninggal dunia dan dimakamkan, organisasi masih berperan atas diri seseorang. Sehingga dapat dikatakan, bahwa manusia sulit untuk –dan sepertinya tidak mungkin- hidup sendiri tanpa keterlibatan orang lain dan tanpa adanya peranan organisasi.
Mengapa Berorganisasi? Pertanyaan ini, sepertinya lebih tepat jika diajukan kepada Kita yang pernah atau masih menjadi anggota sebuah organisasi formal tertentu. Karena Kita lebih mengerti dan memahami alasan yang mendasari Kita masuk menjadi anggota sebuah organisasi (baik dengan alasan yang positif maupun negatif), dan apapun alasan Kita, pastilah dilandasi oleh suatu kepentingan atau kebutuhan tertentu yang menyangkut/berpengaruh terhadap diri Kita sendiri.
Sejahat atau semulia apapun tujuan seseorang menjadi anggota sebuah organisasi tertentu, kita tidak akan panjang lebar membahas mengapa seseorang memiliki tujuan jahat atau mulia dalam berorganisasi. Akan tetapi kita akan membahas bagaimana kita membangun sebuah organisasi yang ideal.
Apakah sebuah organisasi itu ideal atau tidak, ukurannya sangat relatif, biasanya tergantung pada sesuai atau tidaknya realitas di lapangan atas pelaksanaan kegiatan dan pengejawantahan visi-misi serta tujuan utama organisasi tersebut didirikan. Mungkin saja organisasi yang ideal bagi seseorang adalah organisasi yang memiliki sistem kerja dan koordinasi yang baik antar pengurus dan anggotanya dalam mewujudkan tujuan organisasi, memiliki struktur dan tim kerja yang jelas, kuat dan solid.
Ditambah, Kreatif dan sukses ketika mengadakan dan melaksanakan suatu program kegiatan organisasi, diisi oleh para anggota maupun pengurus yang baik budi pekertinya, yang loyal-bertanggung jawab serta memiliki komitmen kerja yang kuat terhadap organisasi, dan senantiasa beritikad untuk terus mengembangkan serta memajukan organisasinya, dan adanya sistem pengawasan dan pertahanan organisasi yang menutup kemungkinan masuknya inflitrasi (penyusupan) maupun spionase (tindakan memata-matai) dari pihak (di dalam dan luar organisasi) yang memiliki kepentingan yang dapat merugikan organisasi tersebut.
Setiap orang memiliki pandangan maupun kesan terhadap suatu organisasi tertentu, sehingga hal tersebut dapat memengaruhi dirinya untuk menentukan organisasi apa yang akan ia masuki atau ia geluti.
Zaman Berkembang Pembaharuan Teknologi Semakin Cepat. Kesadaran mengembangkan diri sebagai pegiat Lembaga Kemahasiswaan perlu diimbangi dengan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang up to date. Bila kita ingin transformasi nilai-nilai dan berbagi pengalaman organisasi tercurahkan secara komunikatif, maka kita harus membuka serta mengembangkan saluran informasi teknologi yang ada. Hal dimaksud dapat melalui website maupun blog yang tersedia gratisan.
Lembaga Kemahasiswaan yang notabene digawangi dan dikembangkan oleh mahasiswa harus menjadi pusat transformasi sosial yang efektif. Karena bila kita kembali mengurai fungsi sosial sebagai mahasiswa, maka tugas sebagai agent of changeadalah status utama yang ditanamkan saat kita menjalani Orientasi Mahasiswa Baru -dan sejenisnya.
Bedanya mahasiswa yang aktif di Lembaga Kemahasiswaan dan yang hanya kuliah belaka adalah hubungan jangka panjangnya. Hampir setiap Lembaga Kemahasiswaan (khususnya UKM) di manapun memiliki status keanggotaan seumur hidup, sehingga meski sudah tua dan bertahun-tahun meninggalkan kampus, dirinya punya keluarga di UKM. Hubungan abadi biasa terjadi di UKM.
Mungkin, hal penting yang harus dikembangkan oleh pegiat Lembaga Kemahasiswaan di mana pun berada adalah membangun kultur pembelajaran yang lebih aktif serta interaktif dengan dukungan pola komunikasi yang pro aktif dari seluruh pengurus-anggotanya.
Sebagai contekan, setiap kali saya terlibat obrolan panjang tentang kondisi Lembaga Kemahasiswaan di kampus saya, ujung-ujungnya masalah KOMUNIKASI yang jadi problem mendasar atas mandegnya aktivitas kelembagaan.
Keadaaan yang mandeg karena hambatan komunikasi menjadi pemicu macetnya kreatifitas dan antusiasme anggota/pengurus Lembaga, hal ini patut diwaspadai oleh Pimpinan Lembaga juga senioren-senioren yang memang masih turun ke lapangan.
Agar dapat bergerak keluar, maka Lembaga Kemahasiswaan harus selesai dulu menangani problem internalnya. Jika tidak, alamat semakin terpuruklah organisasi tercinta kita.
Umur Organisasi Kemahasiswaan yang ada mungkin berbeda-beda, boleh jadi para pendirinya pun sudah jauh berada nun jauh dimana. Tinggal kita yang sekarang menjadi pengurus dan anggota aktif harus terus menghidupi nyala api aktifitas Lembaga Kemahasiswaan. Beberapa yang harus diperhatikan para Pegiat Lembaga Kemahasiswaan, di antaranyameninjau kembali visi-misi organisasi sehingga setiap anggota khususnya dan civitas akademika lainnya dapat memahami dan benar-benar mendapatkan kejelasan tentang gambaran besar alasan mendasar berdirinya organisasi. Minimal setiap anggota paham kenapa dan bagaimana mereka seharusnya sebagai anggota organisasi.
Meninjau kembali Pedoman Organisasi: Visi, Misi, Sistem Rekrutmen Anggota, Sistem Keanggotaan, Sistem Kepengurusan, Kekuasaan Tertinggi organisasi, Hak dan Kewajiban Anggota, Hak dan Kewajiban Pengurus, Sistem Pengelolaan Keuangan organisasi, Pelanggaran dan sanksinya, dan Sebagainya. Hal tersebut tadi jadi media utama dan rujukan awal bilamana organisasi mendapatkan kendala kelembagaan, selebihnya bila belum ada maka konsensus menjadi cara lain mengatasi problem.
Meninjau ulang atau membuat ketetapan-ketetapan organisasiyang mencakup: detil proses rekrutmen anggota, kode etik anggota, ikrar pelantikan buat anggota baru/ pengurus, Dewan Kehormatan (Pengawas) Organisasi, sistem administrasi kesekretariatan, sistem laporan keuangan-kegiatan organisasi, dan sebagainya.
Membuat database anggota dari angkatan pertama hingga terkini, dan meng-update infonya setiap saat. Kalau perlu setiap anggota punya nomor anggota yang harus dihapal oleh masing-masing anggota.
Masih banyak hal yang lainnya, dan menurut penulis, hal-hal yang tercantum tersebut di atas mungkin bagian yang paling butuh perhatian. Mungkin saja tidak semua organisasi membutuhkan peninjuan ulang. Semuanya kembali kepada realitas sesungguhnya pada diri organisasi yang saat ini kita hidupi dan kita kembangkan.
*Tim Pembina Lembaga Kemahasiswaan UIN Jakarta
Average Rating