*Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir, FU, UIN Jakarta
Read Time:4 Minute, 6 Second
Oleh Thohirin*
Masyarakat kita selalu dihadapkan dengan pilihan sulit dalam setiap momentum elektoral di negeri ini: pilpres, pilgub, maupun pileg. Bukan, saya tidak sedang membahasa pilgub DKI yang sedang riuh sedan belakangan ini. Saya tak punya kepentingan dengan itu, lagipula saya juga bukan warga Jakarta. Namun justru di saat seperti inilah kadang akal sehat kita kerap kali ‘kedororan’ tanpa sadar, sehingga melihat semuanya tak jernih.
Situasi itu berkebalikan dengan jargon berpikir adil (yang kerap mengutip dari Pram) yang nyatanya sudah seperti manunggal dengan urat nadi kalangan intelektual kita, tak terkecuali bagi mahasiswa.
Ingatkah bagaimana isu yang berhembus menjelang pilpres 2014 silam? Perbincangan SARA yang ditujukan untuk kedua calon presiden kala itu, mungkin sudah melebihi kadar makan kita dalam sehari atau durasi jam belajar kita sebagai mahasiswa di dalam dan di luar kelas.
Momentum elektoral pilgub DKI sedang berada pada tensi tinggi. Sebagai pengguna aktif media sosial, keadaan belakangan ini tak jauh beda dengan dua tahun lalu saat pilpres 2014. Melihat kasta DKI, kondisi yang terjadi barangkali tak aneh. Level DKI mungkin hanya berada satu tingkat di bawah momentum pilpres.
Wajar saja, momentum ini bukan hanya menarik warga Jakarta, bahkan mungkin menjadi magnet bagi seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Kadarnya mungkin telah mengalihkan perhatian kita pada sidang Sisca di isu kopi Mirna yang sama menyebalkannya itu.
Namun, itulah masyarakat kita. Gumunan. Ikut-ikutan. Mudah terbawa isu. Perbedaan politik itu sudah menjadi kepastian. Namun, membawa perbincangan SARA dalam politik, tentu di luar hal lumrah, meski nyatanya itu kerap dianggap wajar.
Berapa jam kah kita berselancar di internet atau media sosial dalam sehari? Sepanjang itu pulalah kita dicekoki tanpa sadar oleh berbagai kabar politik yang kita lihat, baca, dan dengar. Sialnya, tak banyak masyarakat kita yang dapat memfilter deras arus informasi itu. Menimbangnya dengan bijak. Walhasil, itulah yang kita yakini dan juga perbincangkan dengan teman, sanak saudara, maupun keluarga di dunia nyata.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada 2014 mencatat Indonesia berada di posisi delapan sebagai pengguna internet terbanyak di dunia dengan angka 82 juta pengguna. Pada 2015, We Are Social, sebuah lembaga agensi marketing sosial, angka itu naik menjadi 88,1 juta. Dari jumlah itu, Jawa menempat posisi terbanyak sebagai pengguna internet terbanyak di Indonesia dengan angka 52 juta. Disusul Sumatera (18,6 juta), Sulawesi (7,3 juta), Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku (5,9 juta), dan Kalimantan (4,2 juta).
Dari total angka itu, sebanyak 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial. Dan Indonesia berada di posisi empat sebagai pengguna media sosial Facebook terbanyak di dunia dengan angka 65 juta pengguna aktif. Posisi itu berada di bawah USA, Brazil, dan India.
Itu baru internet dan media sosial. Belum lagi, dengan sebagian mayarakat yang belum lepas dari televisi atau radio. Persoalannya, sebagian besar televisi swasta kita hari ini adalah televisi jakartasentris. Saya pernah mendengar keluhan salah seorang pemateri dalam sebuah diskusi. Betapa tidak pentingnya informasi yang disajikan televisi swasta kita terhadap masyarakat di luar Jakarta. Dengan tensi politik Jakarta yang tengah memanas belakangan, sudah barang tentu perhatian masyarakat kita hari ini sedang terambil alih.
Kembali ke bahasan awal. Sialnya, kondisi gumunan itu tak hanya menimpa terhadap isu politik, bahkan terhadap semua isu yang menjadi tren di internet dan lini media sosial. Ingat bagaimana perhatian kita teralih di berita bom Sarinah? Kabar kematian Suyono, warga Yogyakarta tertuduh teroris oleh militer dan diamini media kita? Atau isu-isu terorisme lain yang termonopoli oleh instansi militer kita.
Berita-berita yang bahkan kita tak tahu validasinya itu, kita percayai dan kemudian kita sebarkan begitu saja hingga membentuk opini publik.
Soal terorisme, imaji kita pun dibentuk dengan orang-orang bercelana cingkrang, berjanggut, atau berjidat hitam. Setiap bertemu dengan orang-orang seperti itu di jalan atau bahkan mereka adalah keluarga dekat kita sendiri, kita walhasil mengambil jarak, mewaspadai, lebih-lebih membentuk sekat dengan mereka. Kita bahkan tak berpikir lebih jauh. Seolah-olah media atau semua informasi yang kita peroleh di internet dan media sosial sama kastanya dengan kitab suci.
Betapa sesungguhnya imaji-imaji perspektif kita telah dibentuk dengan simbol-simbol: politik, agama, maupun sosial. Bahkan kita hanya bisa menertawai orang-orang dengan berbeda pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan kita. Mengambil jarak, kemudian memusuhinya.
Yang paling sederhana, di dunia akademis atau di luar, sebagian masyarakat kita juga masih teraimaji, bahwa laki-laki bertato, bercelana sobek, atau berambut gondrong adalah kelompok manusia dengan status sosial yang rendah. Bahkan mungkin, tak selayaknya berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang beradab.
Mereka membentuk standar-standar berdasarkan ukuran yang mereka buat sendiri. Seolah-olah mereka yang mayoritas sudah pasti kebenarannya. Dan mereka yang minoritas sudah pasti salah. Dan berhak untuk ditindas. Simbol memang melenakkan. Melupakan. Namun juga menghancurkan.
“Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman (Jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut, jangan mudah manja),” begitu pesan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Average Rating