Read Time:3 Minute, 23 Second
Oleh Emha S. Asror*
Masih ingatkah kita dengan “kerusuhan” di Tanjung Balai yang melibatkan warga keturunan China dan masayarakat lokal beberapa bulan silam? Atau masih ingatkah kita dengan penghinaan berbau rasis yang dilakukan oleh Rizieq Syihab terhadap Basuki Tjahaya Purnama beberapa waktu lalu? Ya, peristiwa itu mengingatkan kita bahwa kekerasan anti-China masih ada dan terus dilanggengkan oleh sebagian pihak.
Sederet peristiwa di atas sebenarnya hanyalah “puncak gunung es”. Jika kita sudi menengok sejarah kekerasan anti-China di Indonesia sejatinya amatlah banyak dan lebih parahnya seringkali justru melibatkan negara, bukan agama. Bagan Siapiapi, Tanggerang, Jawa Barat dan Tengah, bahkan kejadian di awal kemerdekaan Indonesia adalah sebagian rentetan peristiwa besar kekerasan anti-China yang mengikutsertakan negara sebagai aktor utama seperti yang ditulis oleh Remco Raben di dalam artikel Anti-China Violence in The Indonesian Revolution.
Seradikal apapun, sedikit sekali agama dijadikan landasan kekerasan anti-China di Indonesia kecuali oleh aktor agama yang memiliki kepentingan tertentu, baik kepentingan politik atau ekonomi. Dengan kata lain, tanpa kepentingan tertentu agama luput dijadikan faktor kekerasan anti-China di Indonesia seperti dijelaskan oleh Ariel Haryanto (2014).
Rentetan Kekerasan Anti-China
Mungkin kita juga tidak mengira bahwa kemerdekaan Indonesia juga diwarnai dengan kekerasan terhadap penduduk Indonesia keturunan China, walaupun peristiwa ini tidak terjadi di bulan tepat diumumkannya kemerdekaan republik Indonesia, yakni kekerasan itu dimulai setelah beberapa bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu, Agustus-November 1945, setelah beberapa bulan proklamasi kemerdekaan, di hari ketika Hatta dan Sukarno “diculik” oleh Sukarni dan Wikana dibawa ke Rengasdenklok, Hatta mengingat dia melihat rumah-rumah warga keturunan China terbakar. Sukarni dan Wikana mengaku kepada Hatta telah membunuh warga Ambon dan membakar banyak properti warga keturunan China dengan alasan kurang bisa dipahami. Sementara pihak militer atau aparat keamanan yang lain pada saat itu tampak tidak mempedulikan.
Kejadian lain yang tak kalah masuk akalnya hanya gara-gara merayakan hari kematian Sun Yat Sen, ALRI (sekarang TNI-AL) dan TRI (sekarang TNI-AD) pada Maret-Oktober 1946, kira-kira berjumlah 1000 personil, melancarkan serangan ke Bagan Siapi-api dengan memakan korban sekitar 200 warga keturunan China tewas. Selain itu, serangan juga disertai dengan perampasan berbagai barang milik warga, bahkan menurut saksi mata “selimut anak saya” pun diambil oleh ALRI dan TRI (Remco Raben, Anti-China Violence in The Indonesian Revolution).
Sebenarnya banyak sekali rentetan peristiwa kekerasan anti-China ini yang lebih memilukan, namun karena keterbatasan tempat saya hanya menuliskan beberapa seperti di atas. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah kenapa warga keturunan China ini menjadi target kekerasan? Jika alasannya, pada saat itu, karena sebagian dari mereka tidak tidak memihak pada republik Indonesia, bukankah banyak juga dari mereka yang mendukung bahkan ikut bertempur demi kemerdekaan Indonesia? Bahkan kekerasan terhadap warga keurunan China terus berlanjut hingga setelah reformasi tidak memperlihatkan penurunan berarti.
Faktor-faktor Umum
Namun demikian, beberapa pengamat kekerasan etnik membedakan faktor umum kekerasan di tahun-tahun awal abad 20 dan akhir abad itu hingga menjelang dan sesudah Era Reformasi. Semisal kekerasan anti-China yang terjadi di awal abad 20an, menurut beberapa pengamat seperti Mary Somers, disebabkan oleh para pembuat onar (troublemakers) yang kebanyakan dari kelompok Islam radikal atau disebabkan perbedaan ekonomi antara warga lokal dan keturunan China.
Akan tetapi, menurut Remco Raben, penjelasan itu tidak cukup karena jika disebabkan oleh kelompok Islam radikal kenapa teror Juli 1947 mereka tidak terlibat kekerasan, dan jika disebabkan kecemburuan ekonomi mengapa di Pekanbaru 1946 justru banyak korban dari kuli keturunan China?
Masih menurut Remco Raben, ada banyak faktor pada saat itu. Selain karena stigma negatif terhadap warga China seperti mendapatkan akses ekonomi yang lebih mudah dibanding dengan pribumi, faktor-faktor yang bersifat temporal juga menentukan pada saat itu semisal semangat kebangsaan yang membutakan para pejuang, termasuk tentara Indonesia, sehingga melihat siapapun selain yang dianggap mereka pribumi pantas untuk “dilenyapkan” (ibid).
Sedangkan faktor umum yang bisa menjelaskan kekerasan anti-China menjelang dan sesudah Era Reformasi lebih disebabkan oleh pengalihan isu yang selalu mengarah pada etnis China yang sering digunakan oleh pihak pemerintah ketika mereka diprotes oleh banyak pihak untuk “turun-lengser” karena gagal terhadap beberapa kebijakannya, dan juga karena lemahnya hukum (Yuhki Tajima, 2008).
*Imam Besar Forum Mahasiswa Ciputat
Average Rating