SARA Tahun Politik

Read Time:4 Minute, 2 Second


Oleh: Alfarisi Maulana

Kebanjiran informasi membuat perkara benar dan palsu sulit dibedakan. Dalam realita, informasi palsu atau biasa disebut hoaxmenjadi masalah utama di pelbagai negara demokrasi. Parahnya lagi, informasi hoaxsangat mudah tersebar luas dalam hitungan detik dan menit. Di Indonesia masalah ini sangat akut karena hoax menjadi senjata ampuh propaganda politik berbalut isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Informasi hoax berkonten SARA dimanfaatkan untuk memengaruhi opini publik dalam kepentingan politik. Dalam sebuah survei yang dikeluarkan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 13 Februari 2017  tentang Wabah Hoax Nasional menyatakan, sebanyak 91,8 persen responden mengaku menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan.

Tak hanya itu, isu SARA pun terpaut di posisi kedua dengan angka 88,6 persen. Komposisi isu politik dan SARA lazim dikaitkan antara satu dengan lainnya. Pelbagai Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah berbentuk teks sebanyak 62,1 persen. Kemudian bentuk gambar sebanyak 37,5 persen lalu video 0,4 persen.

Informasi yang disebarkan tak lagi faktual. Survei yang dikeluarkan Mastel ini laiknya notulen dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu. Arena pertarungan media sosial dengan segala informasi hoaxbertebaran secara brutal. Wajar saja, bagi banyak partai politik momen ini adalah “start” menuju bursa presiden 2019.

Penyakit Akut

Era media sosial membuat orang gemar menyebar informasi hoax. Fakta di lapangan, ketika melihat judul tulisan, tanpa membaca isi tulisan dengan copyatau forward langsung dibagikan ke khalayak. Di sisi lain, hoaxmarak karena masyarakat tak lagi bisa membedakan informasi benar dan palsu. Pada akhirnya, informasi hoax yang datang beruntun memunculkan paradigma kebenaran, membenarkan informasi yang diterima begitu saja.

Penyakit akut ini adalah keengganan. Dalam hal ini, sikap enggan tampaknya linear dengan rendahnya minat baca yang sedikit. Hal ini menjadi salah satu penyebab  penyebaran hoax di tengah masyarakat. Dalam riset The World’s Most Literate Nation pada April 2017 menunjukkan, dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang membaca buku per tahun, dengan jumlah 1 buku.

Kenyataan itu tidak bisa ditutupi. Masyarakat Indonesia cenderung menutup mata terhadap kebenaran dari informasi yang berkembang. Dewasa ini, masyarakat lebih gandrung terhadap urusan selebritas dan popularitas. Tak jarang, di media sosial informasi yang viral pun banyak yang melemahkan mental, sekadar kesenangan dan dagelan. Sehingga, ketika ada informasi yang diterima, hasrat “memviralkan” pun dilakukan tanpa mempertimbangkan benar atau tidak.
SARA Dalam Politik   

Konflik Pilkada dengan balutan hoax ibarat dua mata pisau. Dalam perspektif teori konflik , Sosiolog Konflik Amerika Lewis Coser (1913-2003) memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Karena di dalam konflik, ada proses memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya.

Lebih lanjut, Coser membedakan dua tipe dasar konflik yang realistik dan nonrealistik. Pertama, konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material. Dalam konteks ini, jabatan menjadi material dalam perebutan kursi Pilkada.

Kedua, konflik nonrealistik didorong oleh ambisi irasional yang bersifat ideologis. Konflik ini sangat rentan jika sudah menggunggat resolusi perdamaian, dalam hal ini mencederai kebinekaan. Konflik yang berasal dari isu agama, etnik, kepercayaan teramat sulit disembuhkan. Konflik nonrealistik akan membuat luka dalam yang menumpuk, kapan saja bisa meledak.

Isu SARA memang mudah ‘membakar’ massa, terutama dalam aspek psikologis seseorang yang membuat keputusan berdasarkan pertimbangan kesamaan agama, suku, ras, dan golongan. Syahdan, berawal dari hal tersebut, hoax, hate speech pun terkonsolidasikan secara masif di media sosial.

Dalam meredam tensi di pilkada akibat gesekan yang buas, maka diperlukan peran stakeholder dari kalangan mereka. Tak hanya itu, pencegahan pun melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan para stakeholder terkait lainnya.  

Penyerangan pernyataan tentu sangat wajar selama yang disampaikan menggunakan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.  Jika ada pihak yang merasa baiknya membawa hal tersebut ke ranah hukum. Sehingga, pertikaian antara kedua belah pihak dapat diselesaikan dengan beradu di meja hijau. Jika ada pihak yang menyebarkan informasi hoax maka dapat dijatuhkan sanksi sesuai persidangan.

Penyebar hoax akan dijerat dengan pasal 28 ayat 1 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sesuai ketentuan pasal tersebut, setiap orang dilarang untuk menyebarkan berita bohong. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Lebih lanjut, dalam ayat kedua pada pasal yang sama terdapat larangan bagi masyarakat untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian.

Pasal 45 atau 2 UU ITE berbunyi setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 28 ayat 1 atau ayat 2 maka dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar. Selain pasal 28, penyebar hoax juga bisa dijerat dengan UU Nomor 1 Tahun 1946.

Pada akhirnya, semua pihak harus menempatkan isu SARA yang rentan terhadap perpecahan kebinekaan dengan bijak. Terlebih, dalam konteks kejadian luar biasa belakangan ini, agama sangat diperlukan untuk mendamaikan bukan untuk membakar. Perdebatan selera memilih boleh saja dilakukan namun jangan mengkerdilkan diri dengan menggunakan isu SARA.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Misi Sosial Berbentuk Cek Kesehatan
Next post Kenalkan Saham dengan Stocklab