Mahasiswa Dan Perpolitikan Kampus

Read Time:4 Minute, 51 Second

Oleh: Reynaldi Adi Surya
Dewasa ini bangsa Indonesia seolah-olah krisis kepemimpinan sekaligus krisis akan  negarawan yang jujur dan berintegritas. Banyak perbuatan para politikus yang menyebut diri mereka sebagai pemimpin dan wakil rakyat justru tak berbeda dengan seorang pembegal. Sudah bukan rahasia lagi jika korupsi, suap, nepotisme dan hura-hura telah menjadi image yang menempel pada politikus negeri ini. Seolah politik adalah suatu ladang yang menggiurkan sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengais rezeki.
Seorang yang terjun kedunia politik praktis sebenarnya adalah orang yang mulia. Orang yang mengabdikan hidupnya didunia politik berarti orang yang mau mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan oang banyak. Namun kejadian saat ini justru malah sebaliknya, sebagian orang terjun kedunia politik kini justru bukan merealisasikan idealismenya namun untuk menyambung hidup.
Pasti kita semua mengutuk dan mengecam tingkah laku para politikus-politikus ini. Kita kecewa terhadap orang yang hanya mengumbar janji namun akhirnya malah menghisap darah rakyat. Sayangnya, sikap dan mental politikus tersebut tidak hanya melanda para politisi negeri ini, tetapi juga terjangkit pada mental dan sikap mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang seyogyanya adalah harapan masa depan bangsa sekaligus agent of Change kini juga terjangkit penyakit yang sama dengan para politikus negeri ini.
Kegiatan dan aktivitas ilmiah kampus telah tercemar oleh kegiatan perpolitik kampus. Student goverment yang bertujuan agar mahasiswa diberikan gambaran tentang proses berdemokrasi, justru menjadi ajang perebutan kursi dan proyek. Kampus yang seyogyanya netral telah menjadi sarana politik para politikus kampus agar kampus atau fakultas sesuai dengan warna atau bendera organisasinya.
Dunia ilmiah sudah dikorbankan oleh kegiatan hiruk pikuk politik kampus dan perebutan kekuasaan yang justru merusak citra akademik perguruan tinggi yang bertujuan untuk menciptakan Mahasiswa yang intelek, berpandangan luas dan visioner. Akhirnya mahasiswa yang diciptakan dari kegiatan hiruk pikuk politik kampus hanya mahasiswa  yang fanatik, pandai lobi-lobi, pintar orasi namun miskin konsepsi. Bagi para politisi kampus, tugas mahasiswa kini bukan cuma belajar, namun juga menjaring massa sebanyak-banyaknya untuk mengikuti organisasi mereka dan berusaha memenangkan golongannya di Pemilihan Raya.
Fungsi dari Perguruan Tinggi adalah menciptakan insan-insan cendekia. Manusia yang berpandangan visioner, rasional dan terbuka. Diharapkan melalui perguruan tinggi ini,  para Mahasiswa digembleng untuk dapat merumuskan suatu rencana masa depan yang bermanfaat untuk masa depan bangsa. Dan fungsi daripada organisasi ekstra adalah untuk menggembleng mahasiswa agar menjadi agen pembaruan yang berintegritas. Sayangnya organisasi ekstra dan kampus telah menjadi rusak dan melenceng dari khittah-nya ketika keduanya menjadi wahana perpolitikan kampus.
Menyiapkan Negarawan Masa Depan
Daoed Joesoef, seorang cendekiawan Indonesia sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa percampuran politik dalam dunia akademik dapat merusak citra perguruan tinggi yang menjunjung asas ilmiah dan objektivitas. Kegiatan politik kampus akan menghambat mahasiswa dalam proses akademiknya. Sebab tenaga yang dicurahkan untuk menyusun konsep pembangunan dan gagasan, terhambat oleh kegiatan dan persaingan politik kampus. Ujung-ujungnya mahasiswa yang dihasilkan bukanlah seorang yang mampu membaca persoalan dan memecahkan masalah bangsa.
Namun apakah mahasiswa harus menjauhi politik? Apakah mahasiswa tidak perlu berorganisasi? Jawabannya adalah mahasiswa perlu berpolitik dan mahasiswa perlu berorganisasi. Namun, pmenurut Daoed Joesof politik yang dilakukan oleh mahasiswa bukanlah politik sebagaimana para politikus di parlemen. Kategori politik ada dua: 1. Politik aksi, 2. Politik konsepsi. Politik Aksi adalah politik ala para politikus yaitu yang bermain dalam ranah pemerintahan, sedangkan yang dimaksud politik konsep adalah membaca, menganalisis dan mengkritik suatu kebijakan politik pemerintah.
Mahasiswa, menurut Daoed Joesof harusnya bermain diranah politik konsepsi, sebab sebagai calon pemimpin, mahasiswa harus tetap bersikap independen, kritis, dan mengupayakan untuk melahirkan suatu gagasan cemerlang. Memang bagi mahasiswa yang gemar ‘hore-horean’ dalam perpolitikan kampus, mereka kerap menuduh mahasiswa-mahasiswa yang rajin baca buku dan diskusi sebagai mahasiswa utopis yang hanya pintar berteori. Justru kenyataannya mahasiswa yang pandai berteori serta merancang suatu gagasan adalah calon pemimpin ideal dimasa depan.
Sayangnya mereka yang tenggelam oleh arus politik kampus justru adalah politikus karbitan yang kebanyakan kurang mampu dalam menyusun suatu gagasan dan menganalisis suatu permasalahan secara mendalam, kecuali beretorika dan berorasi. Kita tidak ingin mahasiswa menjadi sosok seperti itu. Kampus dan organisasi seyogyanya didirikan untuk menciptakan seorang mahasiswa yang menjadi pelita bagi negara.
Situasi yang kacau ini harus diubah. Sebelum melakukan perubahan pada tingkat nasional, sistem perguruan tinggi sebagai tempat para abdi bangsa dibina harus dirubah dan dilakukan penyegaran. Kampus harus netral dari kegiatan politik dan menjaga independensi ilmiah. Kampus harus menjadi sarana akademik untuk menggembleng para intelektual muda. Program NKK/BKK yang digagas Daoed Joesoef justru sangat penting dilaksanakan pada masa sekarang ini, dimana bangsa kita tengah mengalami krisis kepemimpinan dan krisis mahasiswa-mahasiswa yang visioner.
NKK/BKK seyogyanya bukan alat Orde Baru untuk membungkam sikap kritis mahasiswa. Daoed Joesoef mwngatakan bahwa kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) bertujuan untuk menjaga netralitas dan stabilitas kampus dari hiruk pikuk politik. Tugas mahasiswa saat ini bukanlah berpolitik, tapi belajar dan menyiapkan diri menjadi negarawan serta merumuskan konsep-konsep pembangunan untuk masa depan. Dan  tugas organisasi adalah membangkitkan kesadaran politik serta menggembleng mahasiswa untuk menjadi calon pemimpin masa depan.
Kegiatan politik yang berusaha hanya menjadi arena perebutan bendera-bendera organisasi dan saling hantam dalam pemilihan raya demi sebuah kursi, harus diubah dan dipertimbangkan ulang. Mahasiswa yang tergabung dalam badan eksekutif atau himpunan jurusan harus merepresentasikan dirinya sebagai wakil jurusan atau fakultas masing-masing, bukan mewakili suatu organisasi atau golongan. Kampus dan organisasi ekstra harus berdiri secara terpisah, keduanya tidak boleh saling mengintervensi dan menganggu. 
Betapa pentingnya peran mahasiswa dalam masyarakat dan sejarah bangsa kita, sehingga ide-ide yang segar, gagasan jitu dan konsep-konsep pembangunan yang jernih sangat dibutuhkan. Dan pembangunan konsep seperti demikian tidak bisa lahir dari mahasiswa yang populis dan mahasiswa terbuai oleh ‘hore-horean’ politik kampus. Peran mahasiswa saat ini sangat mendesak sebagai agent of change dan itu hanya bisa dilaksanakan oleh mahasiswa-mahasiswa yang menjunjung tinggi perannya sebagai konseptor, sebagai man of analysis yang pandai mengagas suatu konsep, bukan sekedar mahasiswa yang pintar berorasi.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Bentek, Miniatur Kebhinnekaan Indonesia
Next post Meluruskan Kesalahpahaman Ijtihad