Read Time:2 Minute, 55 Second
Berwisata alam sembari mempelajari nilai keberagaman mempunyai daya tarik tersendiri. Desa Bentek di Lombok Utara menyajika kebhinnekaan unik dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Ketika berkunjung ke Pulau Lombok, kebanyakan orang hanya menjelajahi pelbagai destinasi wisata alamnya yang indah. Padahal di Lombok, pengunjung juga dapat mengunjungi sebuah desa yang erat akan tradisi dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Salah satunya Desa Bentek di Kabupaten Lombok Utara, sebuah miniatur kebhinnekaan Indonesia.
Label miniatur kebhinnekaan yang melekat pada Desa Bentek tidak serta-merta ada, melainkan cerminan dari keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Kepala Desa Bentek Warna Wijaya, bahwa penduduk Desa Bentek mempunyai latar belakang agama dan budaya berbeda. Sedangkan persentase penduduk Desa Bentek berdasarkan agama tahun 2017 di kantor kelurahan tercatat, Islam 45%, Buddha 45%, Hindu 9,6%, dan Kristen 0,04%. Populasi penduduk Kristiani menurut keterangan Wijaya merupakan bagian kecil pendatang.
Desa Bentek mempunyai keunikan tersendiri dalam merawat kebhinnekaan, terlihat dari cara mereka berinteraksi sosial. Semua penduduk terlihat sama, baik itu umat Muslim, Buddha, Hindu, dan Kristiani memakai busana yang sama dan saling berbaur tanpa ada batasan agama. Perbedaan hanya terlihat dalam ritual dan peribadatan saja, bukan dalam ranah kehidupan sosial.
Ada pelajaran menarik dari pola kehidupan masyarakat Desa Bentek, dalam keragamannya mereka mejunjung tinggi nilai gotong royong. Semua umat beragama harus turut andil dalam pembangunan rumah peribadatan. Apabila umat Buddha hendak membangun wihara, maka harus melibatkan seluruh warga Desa Bentek dari lintas kepercayaan. Begitupun umat Muslim jika hendak membangun masjid, maka seluruh masyarat Desa Bentek dari lintas agama harus ikut andil.
Masyarakat Desa Bentek sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dalam kehidupannya, mereka tidak lagi mempersoalkan toleransi antar sesama. Menurut keterangan salah satu tokoh agama Budha Mekha Wahdi, mereka sudah tidak menjumpai perselisihan dan konflik antas dasar perbedaan agama dan kepercayaan. “Derajat kami di atas toleransi, yaitu kekeluargaan,” tutur Wahhi Rabu (25/01).
Persoalan hukum di Desa Bentek berada di bawah peraturan adat, manyarakat lebih menaati peraturan yang dibuat tokoh dari masing-masing agama. Jika terjadi suatu konflik, maka penyelesaian dilakukan melalui jalur perundingan yang dihadiri masing-masing tokoh agama. Karena peraturan adat disusun oleh tokoh-tokoh yang mewakili agama dan kepercayaan di Desa Bentek, maka peraturan tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.
Untuk menuju Desa Bentek, pengunjung dapat mengunakan jalur transportasi udara melalui Bandara Internasional Lombok. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju pusat kotamadya Mataram dengan menggunakan angkutan umum Bus Damri bandara. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat menggunakan jasa travel dengan menempuh waktu kurang lebih satu jam tiga puluh menit lamanya.
Dari kotamadya Mataram menuju Desa Benteng menempuh perjalanan 35,6 km, dengan estimasi waktu perjalanan hingga satu jam. Selain itu, di wilayah tersebut tidak tersedia transportasi umum seperti angkutan kota dan sejenisnya ke tempat tujuan. Sehingga wisatawan dapat menyewa transportasi untuk mempermudah perjalanan.
Selama perjalanan menuju Desa Benteng, wisatawan akan dimanjakan pandangannya oleh panorama pantai yang membentang di sepanjang jalan. Sesampainya di Desa Bentek, wisatawan akan disambut penduduk dengan ramah tamah, tak jarang mereka mengenakan pakaian adat suku Sasak. Tepat di tengah-tengah pemungkiman desa, terdapat pelbagai bangunan peribadatan yang saling berdekatan.
Seorang wisatawan asal Jakarta Manapiah Anadiroh mengatakan, berwisata ke Pulau Lombok memberikan wawasan baru akan pentingnya toleransi. Pelajaran berharga mengenai toleransi Ia dapatkan, salah satunya walau mereka terdiri dari berbagai umat beragama, namun tetap saling menghargai. Keharmonisan yang mereka tunjukan baik itu dari budayanya mereka masing-masing, serta ritual keagamaan juga sangat erat. “Antar umat beragama mereka saling toleransi,” ungkap Ana Rabu (25/01).
M. Rifqi Ibnu Masy
Average Rating