Catatan Revisi Undang-Undang MD3

Read Time:2 Minute, 24 Second


Oleh:  Ach. Wasila Amin
Sejak dibahas dan disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018, revisi UU ini mengundang kontroversi karena berpotensi menjadikan anggota DPR kebal hukum. Padahal dalam adagium hukum menegaskan bahwa seseorang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan hal ini dikenal dengan asas (equality before the law).

Hasil revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) terus menuai polemik karena dengan berlakunya undang-undang ini, sudah tidak ada kebebasan lagi bagi kita untuk mengawasi kinerja para anggota DPR hal ini menunjukkan merosotnya kinerja anggota DPR, bahkan dalam isi revisi uu MD3 menyebutkan secara jelas kritik terhadap anggota DPR akan berpotensi besar dipidana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 ayat 2, rancangan undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari, sejak disetujui bersama DPR dan Presiden, sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan, hal ini berdasarkan ketentuan konstitusi “Ketika Presiden diam saja, setelah 30 hari, RUU itu menjadi UU dan wajib diundangkan.,” Undang-Undang MD3 memuat setidaknya tiga pasal kontroversi.

Pertama, pasal 73 yang memberikan kewenangan pada DPR untuk meminta polisi memanggil paksa seseorang jika mangkir dari panggilan lembaga legislative. Undang-undang sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi “membantu” memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa Polisi “wajib” memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa. “Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Kedua, Pasal 122 huruf k yang mengatur soal kehormatan DPR dan anggota DPR. Dalam pasal 122 huruf k yang berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang “merendahkan” kehormatan DPR dan anggota DPR.

Pasal ini sangat berbahaya dan dapat mengancam kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak konstitusionalnya dalam mengawasi wakil rakyat karena Kata ‘merendahkan’ di dalam pasal tersebut memiliki makna multitafsir sehingga pasal tersebut dapat digunakan untuk membungkam daya kritis masyarakat pada masa demokrasi yang tujuannya untuk membatasi kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Ketiga, Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR. Pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana harus ada pertimbangan MKD sebelum DPR “memberi izin.”  Padahal pada tahun 2015 MK sudah memutuskan bahwa pemeriksaan harus dengan seizin presiden, bukan lagi MKD. “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Indikasi ini dapat terlihat, dimana mereka sengaja mengeluarkan undang-undang yang dapat melindungi mereka dalam jeratan kasus hukum. Padahal, seharusnya semua orang itu memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. “Sehingga dari awal mereka membentengi dirinya sendiri, dengan cara membuat pasal-pasal yang tentu mereka tidak mudah dikenakan proses hukum,”

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Lipu Gelar Sarjana
Next post Mahasiswa UIN Jakarta yang Tidak Bisa Membaca