RH
Read Time:2 Minute, 42 Second
Mahasiswa sebagai agen kontrol sosial memiliki peran penting dalam upaya pencegahan radikalisme dan ekstrimisme. Mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam menolak segala paham radikal baik di kalangan pemuda maupun di lingkungan sekitarnya.
Selain itu, sebagai intelektual muda, mahasiswa harus mampu berpikir kritis saat dihadapkan dengan pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan kehidupan ketatanegaraan. Berkembangnya teknologi dan informasi semakin memudahkan para kelompok radikal dalam menjaring massa dengan pelbagai cara terutama di media sosial.
Hal itulah yang melatarbelakangi Dialog Kebangsaan yang dilaksanakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta di Aula Student Center bekerja sama dengan Serve Indonesia, pejabat organisasi ekstra kampus, serta Polisi Resor (Polres) Tangerang Selatan. Dialog ini mengusung tema “Jihad melawan paham radikalisme di dunia kampus”.
Dalam dialog tersebut, Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa, Adi Raharjo mengatakan kampus adalah bibit untuk menyebarnya paham radikal. Dilihat dari perkembangan kampus saat ini, semua paham bisa masuk tanpa adanya penyaringan yang lebih ketat terhadap perkembangan ini. “Apalagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang terkenal dengan paham radikalnya sejak dahulu,” ungkap Adi.
Perwakilan Polres Tangerang Selatan, Wahyu Santoro Saharon mengungkapkan pelaku bom dilakukan oleh seorang anak yang berumur 17 tahun. Oleh karena itu, Polres mengajak mahasiswa untuk menangkal paham radikal. Pihak kepolisian membutuhkan mahasiswa untuk membantu dalam mencegah radikalisme. “Mahasiswa bisa melaporkan ketika ada temannya yang mencurigakan ke polisi.” tambah Wahyu.
Heri Muslin salah satu penggiat organisasi ekstra juga mengatakan hal serupa, bahwa paham radikal mudah terjadi di kampus karena sudah mengakar di dalamnya. Mahasiswa beranggapan selain kuliah, ia menemukan hal-hal baru di kampus. “Hal baru inilah yang menjadi akar permasalahan masuknya paham radikal,” ujar Heri, Selasa (15/5).
Heri menambahkan bahwa organisasi ekstra pun semakin terpinggirkan oleh kampus karena kajian asing tidak bisa disaring oleh mahasiswa itu sendiri. Akibatnya banyak yang terjerumus dalam paham radikal. “Sebanyak 39 % mahasiswa menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tertarik paham radikalisme, angka ini tergolong cukup banyak,” tambah Heri.
Di akhir dialog ini Dewirini Anggraini sebagai pembicara dari Serve Indonesia juga mempertontonkan film dokumenter yang berisi pengakuan dari para ibu dari pelaku terorisme. Di film itu para ibu dari pelaku terorisme mengaku bahwa ia telah gagal mendidik anak-anaknya sehingga terjaring dalam kelompok terorisme. Anak yang menjadi pelaku teror masih umur 17 tahun dan menganggap ibunya hanyalah wanita biasa yang tidak tahu apapun. Air mata peserta tak terbendung ketika menyaksikan film ini.
Mahasiswa harus paham makna radikalisme untuk mengetahui perannya. Salah satu peserta dari Sistem Informasi, Ayu Permata sari mengatakan peran mahasiswa dalam berjihad melawan radikalisme dengan melakukan perkumpulan sosial serta pola pikir mahasiswa harus cerdas dalam menangkap berita. “Radikalisme bisa dicegah dengan cara melakukan forum diskusi antar teman kampus atau organisasi,” ujar Ayu.
Peserta lain dari Hubungan Internasional Annisa Fathia Hanna mengatakan sebagai generasi millennial, mahasiswa memiliki peranan besar dalam upaya penangkalan radikalisme. Jika hari ini kelompok radikal memiliki konten propaganda setiap harinya, maka mahasiswa harus memerangi konten tersebut. “Caranya dengan membuat konten kontra propaganda yang lebih banyak dan masif lagi,” ungkap Annisa, Selasa (15/5).
Dialog ini diselenggarakan di Aula Student Center pada Selasa, 15 Mei 2018 dalam rangka jihad mahasiswa untuk melawan paham radikalisme di dunia kampus. Wakil Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga membacakan pernyataan sikap terhadap tindakan terorisme.
Average Rating