Berjibaku Lahan Sengketa

Read Time:3 Minute, 23 Second

Putusan Mahkamah Agung menolak gugatan dari masyarakat atas kepemilikan tanah. Alhasil ganti rugi pun tak mereka dapatkan.    

Kisruh sengketa lahan warga di Jalan Puri Intan Raya RT 04 RW 17 Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan telah berlangsung lama dan menjadi polemik dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. UIN Jakarta sendiri telah membeli tanah di daerah Kertamukti pada 1977 melalui Kementerian Agama (Kemenag).  

Kemudian tanah tersebut diserahkan kepada Yayasan Pembangunan Madrasah Islam Ihsan (YPMII) untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Namun pada 1981 tanah tersebut dihibahkan kepada warga oleh Wakil ketua YPMII Syarief Sugirwo. Ia pun terjerat kasus tindak pidana korupsi karena melakukan jual beli tanah hibah sejak 1979.

Menurut pihak UIN Jakarta, tanah hibah yang diberikan oleh YPMII kepada masyarakat merupakan jenis jual beli yang melanggar hukum. Dengan dalih hibah pengurus YPMII menjual tanah tersebut dengan imbalan bahwa masyarakat harus membayar sumbangan pendidikan sebesar 1,5 juta rupiah. “Kemenag saat itu tidak boleh membeli tanah dari masyarakat secara langsung maka diserahkanlah kepada pengurus YPMII untuk mengelolanya,” ungkap Kepala Bagian (Kabag) Umum Encep Dimyati saat ditemui di ruangannya lantai dua. Rabu (29/11).

Lebih lanjut, Encep mengatakan pada akhirnya terjadi perseteruan sengketa lahan antara UIN Jakarta dan masyarakat lantaran saling mengaku berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Kisruh tersebut bermula antara Kemenag dengan YPMII. Kasus ini pun berujung pada dipenjaranya para petinggi yayasan akibat tindak kasus korupsi pada tahun 1990-an. Alhasil tanah tersebut kembali diambil alih oleh Kemenag dan dikembalikan wewenangnya pada UIN Jakarta,” kenangnya.

Pada 1994 masyarakat melakukan gugatan kepada pengadilan dan sampai tingkatan ke Mahkamah Agung (MA). Alhasil gugatan tersebut ditolak oleh MA. Kemudian MA pun mengeluarkan putusan bahwa lahan tersebut harus segera dikosongkan dan masyarakat harus pindah dari tempat yang mereka huni. “Seharusnya setelah terjadi putusan tersebut tanah sengketa harus segera dieksekusi,” tutur Encep. Rabu (29/11).

Lanjut Encep, UIN Jakarta pun selalu diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena harus segera menyelesaikan sengketa lahan. Pihak negara meminta ganti rugi dengan besaran biaya per ukuran satu meter sebesar 5 juta. Apalagi jumlah tanah sengketa mencapai 300 meter persegi. “Kita pun kebingungan untuk mendapatkan uang sebesar itu, kalau dikalikan itu mencapai 1,5 miliyar,’’ cetusnya. Rabu (29/11).

Namun hal ini berbeda penuturan dari salah seorang warga yang tergugat eksekusi pembebasan lahan bernama Masniar Tanjung. Ia mengaku telah menempati tempat tersebut selama 36 tahun. Ia pun mengatakan jika keluarganya telah mempunyai hak atas kepemilikan tanah tersebut. Pasalnya setiap bulan Ia selalu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Pajaknya yang saya bayarkan sekitar 700 ribu per tahun,” keluh Mantan Staf Bagian Akademik Fakultas Ushuluddin, Kamis (30/11).

Saat itu Masniar mendapatkan surat tanah hibah dari YPMII. Tanah itu pun diberikan kepadanya lantaran jasa pengabdiannya yang telah bekerja di UIN Jakarta selama 28 tahun. “Dulu sempat mau diberikan rumah daerah komplek dosen, namun sudah penuh. Akhirnya dicarikan lagi tanah di daerah Kertamukti. Tanah itu pun dikelola oleh YPMII,” tuturnya, Kamis (30/11).

Lebih lanjut Masniar pun telah meminta bantuan kepada Layanan Bantuan Hukum (LBH) yang berada di Jakarta terkait permasalahan ini. Hasilnya LBH mengusulkan agar masalah tersebut didiskusikan kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).  Menurutnya Komnas HAM telah memberikan surat kepada Rektor UIN Jakarta. Isi surat himbauan tersebut untuk menunda eksekusi pembebasan lahan.

Namun pihak UIN Jakarta membantah telah menerima surat edaran tersebut. Melalui  Kuasa Hukum UIN Jakarta Hilman Fidyansah mengungkapkan surat himbauan dari Komnas HAM tersebut bukan merupakan surat resmi. Dengan dalih Ia mengatakan Komnas HAM tidak akan mengabaikan kepentingan orang banyak hanya untuk segelintir orang. Apalagi sebelumnya tidak ada perundingan tentang masalah ini antara UIN Jakarta dan Komnas HAM.

Alhasil pembebasan lahan pun tetap dilaksanakan oleh UIN Jakarta tanpa memedulikan surat himbauan dari Komnas HAM. Pembebasan lahan tersebut bertujuan untuk pengembangan pendidikan sarana dan prasarana. Lebih lanjut peminat calon mahasiswa UIN Jakarta setiap tahun meningkat. “Untuk dapat menampung mahasisa nantinya diperlukan pembangunan infrastruktur UIN Jakarta yang lebih baik,” ujar Hilman ketika ditemui di ruangan rapat Kabag Umum, Kamis (30/11).

Jumri, Muhammad Rifqi Ibnu Masy,  dan Hidayat Salam

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Tabloid Institut Edisi November 2017

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Lagi! Tergusur
Next post Pasang Surut Mahasiswa Asing