Read Time:4 Minute, 35 Second
Bidang Kemahasiswaan menjadi salah satu bahasan pada Rakerpim setiap tahunnya. Pada 2019 ini, beberapa persoalan kembali muncul bergesekan langsung dengan mahasiswa.
Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) 2019 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah digelar pada Jumat–Minggu (29–31/3) lalu di Bandung, Jawa Barat. Rakerpim dihadiri oleh rektor, wakil rektor, dekan, kepala biro, dan segenap civitas academica lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas rencana program kerja UIN Jakarta satu tahun ke depan.
Beragam aspek menjadi fokus dalam Rakerpim yang dipimpin oleh Ketua Biro Perencanaan dan Keuangan UIN Jakarta Khairunnas. Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis membuka Rakerpim dengan menyampaikan arah dan kebijakan program kerjanya satu tahun ke depan, 2019–2020. Para wakil rektor yang menghadiri Rakerpim dibagi menjadi empat komisi, termasuk Komisi Bidang Kemahasiswaan.
Pemangkasan Dana Delegasi
Topik pembahasan Rakerpim 2019 tidak terlepas dari tata kelola dana delegasi mahasiswa yang kian mengalami pemangkasan. Dilansir dari Tabloid Institut Edisi LVII/Oktober 2018, anggaran dana delegasi sebelumnya tercatat mencapai Rp 1 miliar pada 2017. Kemudian, mengalami penurunan hingga Rp 600 juta di tahun berikutnya. Tidak sampai di situ, kini di 2019 dana delegasi mencapai titik yang lebih rendah lagi yakni Rp 225 juta.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta Masri Mansoer mengatakan, kemerosotan dana delegasi diakibatkan oleh adanya pemangkasan dana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) oleh Kementertian Agama (Kemenag). Kebijakan ini berdampak kepada PTKI yang dapat dikatakan lebih berkembang, salah satunya UIN Jakarta. Dalam hal ini, Kemenag mengalihkan dana tersebut kepada PTKI yang berada pada masa pengembangan dan masih perlu dibina.
Penyusutan dana dari Kemenag bukanlah satu-satunya alasan. Keikutsertaan UIN Jakarta dalam Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) IX se-PTKI pun turut mempengaruhi pemangkasan dana delegasi. Menurut Masri, Pionir yang dijadwalkan akan terlaksana pada Juli 2019 di Malang, Jawa Timur menguras dana yang cukup banyak. “Sekitar setengah miliar,” ujarnya, Senin (15/4).
Namun pada empat periode Pionir terakhir, sejatinya UIN Jakarta tidak pernah menjadi juara umum dalam ajang unjuk bakat mahasiswa dua tahunan ini. Menelisik Pionir VIII pada 2017, Futsal Putra yang diwakili oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) harus tersisih di babak 16 besar. Menurut Ketua Divisi Futsal Forsa Rizal Asy’ari, hal tersebut terjadi karena jadwal pertandingan yang begitu padat. “Juga perbedaan ukuran lapangan, berpengaruh pada teknis permainan,” ujarnya, Senin (15/4).
Sama halnya dengan bidang olahraga, kurangnya persiapan berujung pada kekalahan di bidang seni. Perlombaan Tilawatil Quran, Syarhil Quran, dan Kaligrafi yang didelegasikan oleh UKM Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa (Hiqma) belum dapat membuahkan hasil karena latihan yang kurang matang. “Baru diumumkan satu bulan sebelumnya, sedangkan harus melakukan seleksi peserta,” ujar Ketua Hiqma Ahmad Rifai, Rabu (13/4).
Padahal, Pionir bukanlah satu-satunya alternatif mahasiswa untuk berprestasi di bidang nonakademik. Dengan semakin dipangkasnya anggaran dana delegasi tahun ini, kesempatan untuk mendapat kucuran dana bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan di luar Pionir pun semakin terkikis.Seperti yang tercantum dalam Tabloid Institut Edisi LVII/Oktober 2018, dengan total dana delegasi sebesar Rp 600 juta, Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Andi Febriansyah hanya mendapatkan Rp 4 juta dari keperluan Rp 10 juta untuk konferensi tingkat nasional dan internasional.
Kejadian serupa kembali terjadi pada Maret lalu. Mahasiswa Hubungan Internasional Ardelia Bayu Merdekawati Setiardi tak mendapat banyak kucuran dana dari kemahasiswaan untuk kegiatan Maltepe University International Student Congress. Ia mengajukan permohonan dana sebesar Rp 18 juta untuk visa dan tiket pesawat.
Nahas, Ardelia hanya mendapat persetujuan dana sebesar Rp 2 juta yang masih belum cair hingga saat ini. Dukungan dari pihak kampus tidak ia rasakan. Menurutnya, hal tersebut menjadi hambatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan soft skills mereka. “Bagaimana mau meningkatkan status UIN Jakarta di kancah Internasional jika masalah seperti ini tidak di-support,” ungkap Ardelia via Instagram, Kamis (18/4).
Menanggapi hal itu, Amany mengaku akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung berjalannya Pionir IX kali ini maupun kegiatan-kegiatan nonakademik mahasiswa lainnya. “Sudah menjadi tanggung jawab saya untuk memberi dorongan dalam bentuk kebutuhan apa pun,” ujar Amany saat ditemui di Gedung Rektorat Lantai 2, Senin (8/4).
Batas Semester Calon Ketua Ormawa
Pengelolaan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) pun menjadi aspek yang akan dirumuskan pada tahun ini. Dalam kesempatan wawancara dengan Institut pada Rabu (13/3), Amany mengatakan, ia hanya akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa semester lima untuk dapat menjadi calon ketua Ormawa. Himbauan ketetapan tersebut akan disosialisasikan kepada pengurus Ormawa periode 2019 setelah seluruh rangkaian musyawarah mahasiswa usai.
Rencana ketetapan terkait tata kelola Ormawa ini dilatarbelakangi oleh banyaknya mahasiswa UIN Jakarta yang lulus ketika menginjak semester sebelas. Menurutnya, molornya masa studi mahasiswa disebabkan oleh masa kepemimpinan pada organisasi. Karena itu, dengan diubahnya peraturan semester untuk calon ketua Ormawa, Amany mengharapkan mahasiswa dapat menyelesaikan masa studinya dengan tepat waktu.
Meskipun begitu, ketetapan pembatasan semester untuk calon ketua Ormawa yang dicanangkan Amany berbeda dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan. Pada Poin I mengenai Syarat dan Tata Cara Pemilihan, tertulis bahwa mahasiswa semester lima dan tujuh berhak untuk menjadi calon ketua Ormawa. Wacana ini pun menuai tanggapan dari Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta Sultan Rivandi.
Sultan mengaku sempat mendengar rencana kebijakan pembatasan semester untuk calon ketua Ormawa. Menurutnya, kampus sebagai ruang demokrasi mahasiswa seharusnya terbuka bagi kepemimpinan baik mahasiswa semester lima maupun tujuh. Sebab, kepemimpinan merupakan pengalaman yang tidak didapatkan mahasiswa di dalam kelas perkuliahan.
Maka dari itu, ia mewanti-wanti pihak kampus agar dapat memberikan alasan dan rasionalisasi yang tepat atas kebijakan yang dibuat. “Agar tidak menuai kontra dan ketidakadilan di kalangan mahasiswa terutama semester tujuh,” ungkap Sultan, Senin (8/4).
MUHAMMAD SILVANSYAH SYAHDI MUHARRAM
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating