UIN Jakarta dan Diskriminasi Mahasiswa Rantau

UIN Jakarta dan Diskriminasi Mahasiswa Rantau

Read Time:3 Minute, 11 Second

UIN Jakarta dan Diskriminasi Mahasiswa Rantau
Isu rasisme dan diskriminasi masih saja bergulir. Tak hanya mahasiswa Papua, mahasiswa rantau lain pun ikut merasakannya.
Masih segar dalam ingatan kita, insiden penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada Jumat (16/8). Berdasarkan data yang dihimpun CNN Indonesia, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta menjelaskan, awal mula pengepungan disebabkan oleh perusakan Bendera Pusaka yang terletak di depan asrama. Pihak aparat keamananmenduga perusakan tersebut dilakukan oleh oknum mahasiswa di asrama. 
Menurut keterangan Surya, saat melakukan aksi penyerangan, aparat keamanantidak melakukan investigasi mendalam terlebih dahulu terkait perusakan Bendera Pusaka. Selain itu, mereka juga membiarkan ormas tak dikenalmenjadi kian reaksioner. Ormas tersebut juga turut melakukan pengepungan beserta makian rasis terhadap mahasiswa Papua. Penembakan gas air mata berkali-kali serta perusakan fasilitas asrama membuat 43 mahasiswa asal Papua terjebak dalam asrama. Mereka bertahan dan mengamankan diri dalam asrama tanpa makan semalaman. Peristiwa yang kental dengan nuansa isu SARA ini membuat sejumlah pihak turun tangan.
Nasib Mahasiswa Papua di UIN Jakarta
Menanggapi hal tersebut, salah seorang Mahasiswa UIN Jakarta asal Papua Rizky Chuan menggelar aksi di depan Halte UIN pada selasa (20/8). Hal ini dilakukan demi menyikapi kejadian di Surabaya yang santer dibicarakan media sejak satu bulan lalu. Selain itu, aksi ini juga sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap mahasiswa Papua lainnya. Dalam aksinya, lelaki yang kerap disapa Chuan ini memiliki beberapa tuntutan. Baginya, siapapun  yang mengeluarkan kalimat-kalimat rasis itu harus diadili.
Saat membicarakan tentang diskriminasi yang didapat oleh mahasiswa Papua, ia turut menceritakan apa yang ia alami beserta kawan-kawannya selaku mahasiswa Papua yang menuntut ilmu di Jakarta. Contohnya saat di jalan, ada beberapa masyarakat sekitar yang tiba-tiba langsung menutup hidung saat melihat ada orang Papua. Chuan mengatakan, mungkin mereka merasa bahwa orang Papua itu bau, hitam. 
Menurut Chuan, diskriminasi itu bisa dalam bentuk apa saja. Seperti dalam cara pandang, mahasiswa Papua sering kali dipandang orang kelas dua. Negara ini sudah lebih dari 70 tahun merdeka. Namun masih banyak masyarakat yang punya cara pandang seperti itu. “Negara ini memiliki multikultur yang berbeda-beda, tapi itu justru tidak dipahami sebagian besar orang Indonesia,” tegasnya saat ditemui di Sekretariat Mahasiswa Papua, Rabu (18/9).
Merantau Demi Pendidikan
Seperti yang dikatakan Chuan sebelumnya bahwa diskriminasi itu bisa dalam bentuk apapun. Tak hanya mahasiswa Papua saja, mahasiswa rantau lain pun mengalaminya. Seorang mahasiswa asal Bima, Nusa Tenggara Barat Iranto mengungkapkan, ia dan teman-teman sedaerahnya pernah mendapat ejekan lantaran logat mereka. Padahal, saat berbicara mereka sudah berusaha menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Logat kita masih sering ditertawakan. Kalau masalah logat ya memang pembawaan, tapi mau tidak mau kita harus terima,” keluh Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tersebut, Rabu (18/9).
Lain halnya dengan Iranto, mahasiswa rantau lain asal Makassar, Sulawesi Selatan Asma Dwi juga sempat merasa khawatir dan takut akan Kota Jakarta. Namun ia menceritakan suatu hal yang membuat perasaan takutnya hilang terhadap Kota Jakarta. Saat itu Asma yang dalam keadaan sakit memaksakan diri untuk membeli makan, namun di tengah perjalanan ia tak sadarkan diri, saat terbangun ia melihat ada seorang perempuan paruh baya yang telah menolongnya. “Ternyata, masih ada orang-orang baik di Jakarta, tidak seburuk yang saya pikirkan sebelumnya,” jelas Asma, Rabu (18/9). 
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Periode 2012-2017 Hafid Abbas menyarankan agar semua walikota atau gubernur terutama di kota-kota pelajar di Indonesia haruslah mendukung Perguruan Tinggi untuk tidak membiarkan anak-anak daerah memperoleh pelayanan pendidikan kualitas rendah. 
Menurutnya, jika ada pelayanan akademik yang bagus, maka tindakan mengganggu mahasiswa rantau, apalagi sampai menyentuh masalah rasisme tidak akan terjadi. Ia juga menyayangkan pengalaman rasis yang dialami oleh mahasiswa Papua. “Mahasiswa Papua sama seperti mahasiswa lainnya, jadi jangan mau kalah. Kalau ada kasus-kasus seperti itu anggaplah sebagai pemicu untuk terus lebih maju lagi,” tutupnya, Rabu (18/9).

Sefi Rafiani

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Mengenal Jurnalisme Ala Milenial Previous post Mengenal Jurnalisme Ala Milenial
Hari Santri Nasional Bukan Sekadar Slogan Next post Hari Santri Nasional Bukan Sekadar Slogan