Read Time:15 Minute, 24 Second
Berita virus Corona makin lantang terdengar oleh seluruh masyarakat baik di Jabodetabek maupun seluruh Indonesia. Namun, masih ada isu yang diprediksi akan menjadi topik ‘hangat’ selama beberapa bulan ke depan, yaitu Omnibus Law. Belum genap beberapa minggu, masyarakat yang bersistem surveillance di saat berita Omnibus Law naik sejak tahun 2019 akhir, justru sekarang masyarakat bersikap acuh dan lebih memilih COVID-19 sebagai pandemi pembuat panik seluruh aspek. Wajar apabila media-media lebih mengikuti kemauan khalayak, tetapi tidak bagi mereka yang bersimpati terhadap wacana Omnibus Law tersebut.
Orang-orang awam menyebut Omnibus Law sebagai sesuatu yang kejam. Memang apa, sih, Omnibus Law? Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Melansir dari situs The New York Times, Omnibus yaitu kendaraan ramai-ramai yang berarti, segala sesuatu yang sangat luas antar dimensi, wajar apabila semua hal dapat terkena baik efek baik dan buruknya. “For all”, diperkenalkan oleh Jacques Lafitte di Paris tahun 1819-1820, pernah digunakan di London sejak 1829. Maka dari itu, jangan heran kalau Omnibus Law menimbulkan opini dan kecaman dari berbagai pihak. dari Pemerintah dan jajaran, akademisi, kelas menengah meliputi pengusaha, dan kelas-kelas kecil yang dijadikan subjek dalam Omnibus Law. Di dalam kaum-kaum kecil ini, muncul lagi para anak muda yang dikatakan kritis serta bernuansa progresif. Progresif dalam quo budaya perpolitikan Indonesia yang kejam sedari dulu. Istilah “Sosialis Milenial” dipinjam menggantikan sebutan “Bibit-Bibit Komunis”. Jangan salah, mereka yang berani bersuara merupakan kalangan yang berlatar belakang akademik yang baik dan berasal dari tempat-tempat unggul. Sepertinya, bukan lagi menjadi suatu hal yang tabuh untuk dibicarakan mengingat kita sudah di era reformasi. Berarti bebas, dong, untuk kiri-mengkirikan tanpa ancaman layaknya masa-masa Orde Baru?
Selanjutnya, definisi ringan mengenai Omnibus Law bisa dikatakan seperti ini: “Omnibus Law adalah aturan baru yang sengaja dibuat untuk menggantikan aturan-aturan sebelumnya. Omnibus fokus mengurusi satu hal dalam satu undang-undang, disebutlah sebagai Undang-Undang (UU) Sapu Jagat, alias rujukan yang menyapu segalanya (UU sebelumnya)”. Definisi ini memang bersifat umum dan tidak menimbulkan pertentangan. Namun ketika beberapa tokoh yang mewakili suatu kelas berkata, “Omnibus Law merupakan UU yang membuat sengsara”, maka pemahaman umum ini akan terhapus. Tiba-tiba, muncul suatu gerakan #Gejayanmemanggil dan sebagainya. Merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak asal manut dan kritis. Presiden Joko Widodo menyebut istilah Omnibus Law dalam pidato pertama setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019—2024 pada 20 Oktober 2019, bahwa Omnibus Law terdiri atas dua UU besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Jokowi mengatakan, Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Kedua, Omnibus Law tersebut diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Investasi dan daya saing merupakan kata-kata yang digarisbawahi dalam Omnibus Law, tetapi tidak dengan kata-kata “ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global”. Wajar, dong, karena kata-kata yang digarisbawahi lebih memikat motivasi rakyat untuk melihat peran pemerintah dalam membuat kesehjateraan. Bapak Wakil Presiden saat Musyawarah Nasional V di Mataram sudah menyatakan Omnibus sebagai langkah untuk membenahi kompleksitas dan obesitas peraturan, wong negara ini banyak peraturan, kok! Para pemimpin kita sudah sadar. Pernyataan presiden, wapres dan para menteri terkait berlaku sejak belum booming berita terkait Corona. Presiden memberikan tanda bahwa RUU ini akan bersifat problematis, pelik, dan menandakan tidak ada kepastian sampai seratus hari setelah diserahkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, pasca Corona di China telah memberikan pernyataan bahawa pertumbuhan angka 5 persen perekonomian belum bisa dikatakan ‘sempurna’ dalam proses mengajukan RUU Omnibus Law baik Perpajakan dan Cipta Kerja. Alasan utama adalah mengundang investasi dan menstimulasi perekonomian, berarti sudah ada ancang-ancang bahwa pemerintah masih belum bisa memastikan Indonesia terkait Omnibus Law ke depan. Pihak reseh adalah pihak-pihak yang belum memahami konsep RUU Omnibus Law namun sudah memberikan pernyataan, pihak-pihak ini yang justru memperkeruh suasana baik yang mendukung maupun yang berlawanan, terbayang bukan gara-gara mereka satu Indonesia dibuat baper terhadap peran pemerintah dengan problematika sosial-politik ditambah rakyatnya yang sudah kritis? Ada lagi pihak-pihak berlatar akademis yang memberikan pendapat bahwa Omnibus Law merupakan sebuah jawaban dari ketimpangan yang terjadi di Indonesia di era Industri 4.0. Pihak ini juga berisi orang-orang yang memang paham mengenai konsep Omnibus Law, tetapi tidak dapat melakukan apa-apa selain absolutnya penetapan dari pemerintah yang lebih mendengarkan protes kaum-kaum ‘subjek’ dalam Omnibus Law yaitu para buruh. Penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi merupakan jawaban dari para akademisi ternama atas Omnibus Law, menilai bahwa Omnibus Law tepat atas kondisi ekonomi Indonsia saat ini.
Kaum kiri milenial yang kekinian bin kritis mengatakan bahwa Omnibus Law itu kurang ajar, kapitalisme itu berkuasa di Indonesia. Ingat, bahwa kaum ini mendukung buruh, maka aturan ini merugikan karena banyak hak buruh yang hilang. Misalnya, dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, diturunkannya jumlah pesangon, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang bikin terputusnya kontrak kerja. Terlebih lagi, tidak leluasa untuk berserikat karena terus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan, upah berkurang kalau tidak mencapai target. Sistem ini seperti yang diterapkan industri konveksi di Indonesia, yang buruhnya adalah ibu-ibu, kita sebut saja PT. Sistem ini berlaku di China, bahkan di film American Factory sudah digambarkan sedemikan rupa bahwa setiap adegan terkait dengan Omnibus Law itu, “Sempurna karena menyakitkan”. American Factory memberi bukti bahwa para pekerja China itu lebih gesit, terampil, gak merugikan daripada pekerja Amerika. Sama halnya dengan para pekerja di Indonesia, lebih banyak libur namun tidak maksimal dalam bekerja. Wajar, banyak investor lebih tertarik membangun industri di negara-negara dengan gaji buruh rendah lainnya, Thailand serta Vietnam. Dalam hal ini, Ombinibus Law memiliki peran ganda dalam menguntungkan investor, pengusaha, juga pemerintah.
Terus yang diributkan kaum-kaum ‘subjek’ dalam Omnibus Law itu apalagi selain di atas? Jawabanya adalah persaingan suara antara pendukung RUU Omnibus Law dengan penolaknya yaitu kaum buruh dan kaum kiri milenial, kira-kira suara siapa yang bakal didengar petinggi negara? Muncul kaum kiri milenial yang bersuara atas kisruh yang terjadi, yaitu pembentukan demokrasi seluas-luasnya yang berisi pembentukan Dewan Komunal dan diisi oleh kelas pekerja dan komunitas sipil nonswasta. Pemerintah disini sebagai pengawas politik dan ekonomi. Bagaimana? Solusi ini dianggap brilian oleh sebagian kaum muda sisi kiri. Hak-hak buruh menjadi lebih utama karena pengaturnya adalah mereka sendiri. Bahasa halusnya adalah, “Rakyat untuk Rakyat”. Keren, bukan?
Solusi ini terbukti membuat suara pendukung RUU Omnibus Law yang di sini didominasi buzzerRp, kalah suara. Apalagi terkait pernyataan Menteri Muhadjir untuk menikahi orang miskin sebagai solusi, kalah suara dalam satu waktu kali ini. Tetapi, solusi kaum kiri Milenial dianggap tidak berpikir panjang, cenderung buru-buru dan tak paham realita. Mengapa? Yang pertama adalah penerapan solusi tersebut di Uni Soviet, Venezuela dinilai gagal dan lihatlah kedua negara tersebut, ambil contoh Venezuela saat ini. Utopia kaum kiri menganggap penerapan ini berdasarkan pemikiran murni orang-orang terpilih dan berbakat, namun tidak relevan. Utopia lainnya terkait dalam penyiksaan terhadap kapitalis dan penganutnya, dengan penerapan pajak selangit bagi swasta, nasionalisasi Bank, keuangan dan membangun poros kekiri-kirian demi melawan Amerika sebagai penguasa. Impian utama sosialis adalah ‘sama rata’, tidak ada kesenjangan. Bukankah tidak ada sesuatu berati disitulah masalah bersumber? Kita harus realistis bahwa tiap invidu saja berbeda, apalagi kebutuhan baik primer, sekunder dan tersier. Kaum kiri milinial pun pasti diam apabila ditanya, “Kebutuhan kalian apa saja untuk lima tahun ke depan?”, jawabanya berbeda dari setiap invidu, sama rata di sini bersifat omong kosong. Secara logika, solusi atas RUU Omnibus Law dari kaum kiri milenial seperti dua orang rajin kerja membagi penghasilan kepada dua orang pekerja malas, adil dan tidak ada yang lebih maupun kurang. Omnibus Law di sini justru mencabut kedua orang malas tersebut agar siapa yang bekerja maksimal mendapatkan haknya.
Yang kedua adalah, pajak yang tinggi membuat investor malas untuk menanamkan sektor perindustrian di suatu negara, sekelas Amerika pun juga sadar hal ini bersifat celaka. Faktanya, Omnibus Law juga bukan barang baru. Di Amerika Serikat, Omnibus Law sudah kerap kali dipakai sebagai UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Tidak ada di negara ini yang mau melakukan hal tersebut karena berefek besar (lihat definisi Omnibus). efeknya adalah perekonomian yang tidak berjalan dan yang besar adalah para teknorat yang memilih negara lain sebagai tempat paling nyaman untuk hidup. Nasionalisasi dijalankan sebagai perisai akibatnya sepi investor, tetapi apakah masyarakat di sini khususnya Indonesia mengerti dengan konsep dan batasan-batasan ekonomi ?, kaum kiri milenial tidak memikirka hal ini matang-matang. Rakyat sebagai subjek di sini hanya peduli dengan barang murah, semuanya murah. Tidak peduli bagaimana caranya, sampai kapanpun.
Era Presiden Chavez dalam penerapan solusi kaum kiri memang berakibat positif, namun tumbang seiring waktu berjalan. Ingatlah Venezuela ditangguhkan karena minyak, ketika suatu komoditi mulai terganggu disitulah perubahan dan mengakibatkan efek-efek bersifat masif. Masif di sini adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dewan Komunal yang disebut sebagai wakil rakyat dalam perekonomian, lahirnya sifat otoriter merupakan resiko dalam hal ini. Dewan Komunal itu sama seperti halnya sistem monarki, pasti melibatkan oligarki, loh, kenapa ? karena dalam proses pemilihan tersebut pasti membentuk lingkaran setan masing-masing. Baik diawali satu invidu sampai akhirnya membentuk sebuah kelompok besar, atas sebuah kepercayaan maka dibangunlah sebuah oligarki atas nama mewakili rakyat yang sah. Sebut saja Oligarki Sosialisme.
Uni Sovyet, Venezuela, China masa-masa Komunis pimpinan Mao Zedong merupakan contoh penerapan Oligarki Sosialisme. Apa yang lucu? Mereka menjadi apa yang mereka benci sedari dulu. Layaknya siklus, dari seorang pembenci menjadi pelaku yang dibenci. Di Indonesia sendiri, Perdana Menteri Natsir mengganti rugi atau nasionalisasi atas aksi kaum Marhaenis terhadap perusahaan Belanda. Kaum kiri menganggap sistem sosialis di Indonesia gagal karena KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) padahal karena penjarahan orang-orang terkait, para orang asli Indonesia, dan Indo-Belanda. Melihat China sekarang, mereka pun tidak akan menerapkan apa yang diimpikan kaum kiri murni, kapitalisme masih ada walau tidak dominan. Bagi kaum kiri milenial, seharusnya sadar rakyat Indonesia masih menempati minat literasi terendah di dunia, pasal Omnibus Law saja 1.200 Halaman. Saran kecil untuk pemerintah, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, kita bisa melakukannya tanpa harus pakai Omnibus Law, karena jika melihat apa yang terjadi di Indonesia, peningkatan sektor industri itu tidak selamanya sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Buktinya, data yang dirilis BKPM di tahun 2018 yang mana nilai investasi kita lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, penyerapan tenaga kerja hanya 0,8 juta tenaga kerja saja. Padahal di tahun-tahun sebelumnya selalu mencapai angka satu juta, perubahan ini bisa menjadi latar belakang untuk RUU Omnibus Law.
Apabila ingin mengejar investasi, pertumbuhan investasi di Indonesia sudah bisa dikatakan bagus namun belum perfect seperti apa yang dikatakan Ibu Sri Mulyani. Fakta menunjukan bahwa pertumbuhan tersebut lebih tinggi ketimbang Malaysia, Afrika selatan, juga Brazil. Khusus di ASEAN, Indonesia menepati tempat paling tinggi. Begitu juga di kawasan Asia, Indonesia juga jadi negara yang paling diminati investor setelah China dan India. Mengutip pernyataan Faisal Basri, “Seharusnya pemerintah bukan lagi ngotak-ngatik aturan tenaga kerja, tapi melakukan pembenahan regulasi dan melakukan pengelolaan keuangan negara dengan cara yang lebih ketat”. berkaca atas kasus Jiwasraya dan Asabri, menunjukan bahwa permasalah utama ada di aspek pengawasan. Faisal Basri memiliki pandangan berbeda mengenai Omnibus Law. Ia menilai RUU Cipta Lapangan Kerja melemahkan posisi pemerintah daerah dan buruh. “Terjadi shifting, pemerintah pusat dan bisnis akan lebih kuat,”. terbukti dengan penolakan beberapa pejabat daerah contohnya, Walikota Bogor.
Hal selanjutnya, permasalahan yang menimbulkan kontroversi disebabkan oleh pembuatan draf RUU yang berlangsung tertutup dan hanya melibatkan pengusaha, khususnya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Ia juga memprediksi RUU ini bakal lolos dengan mudah di DPR karena 74% anggota DPR adalah partai pendukung pemerintah. Faisal mengatakan, tujuan omnibus law untuk menciptakan lapangan kerja kurang relevan karena angka pengangguran terus menurun. Dari sisi investasi, pertumbuhan investasi juga dinilai tidak terlalu buruk. Apalagi, persepsi investor asing terhadap Indonesia terus membaik.
Bila kita melihat kilas balik, Pemerintah sebenarnya juga memiliki argumen dalam penguatan peran paling lurus dan absolut seperti menyiapkan bukti keseriusan pemerintah dalam menanggapi kesehjateraan buruh yang dipertanyakan oleh penolaknya, Presiden memutuskan untuk menambah program jaminan sosial bagi buruh, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan. Tambahan program jaminan sosial butuh tersebut tertuang dalam Omnibus Law (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah diserahkan kepada DPR, pada Rabu 12 Februari yang lalu. Melansir dari CNN, pemerintah menjelaskan tambahan tersebut pada bagian ketiga tentang Jenis Program Jaminan Sosial. Jokowi mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada Pasal 18 UU Jaminan Sosial Nasional, Jokowi menambahkan jaminan atas kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, terdapat enam jaminan sosial yang diberikan pemerintah dari sebelumnya lima jaminan sosial.Keenam jaminan sosial yang dimaksud meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Kemudian antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan lima pasal. Dalam poin tersebut dijelaskan bahwa pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran. BPJS Ketenagakerjaan akan bertanggung jawab menyelenggarakan jaminan kehilangan pekerjaan. Buruh akan mendapatkan manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa pelatihan dan sertifikasi. Pemerintah juga akan memberikan uang tunai serta memberikan fasilitas penempatan. Presiden juga mengungkap besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebesar persentase tertentu dari upah. Selanjutnya, pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian jaminan kehilangan pekerjaan melalui Peraturan Pemerintah. Presiden Jokowi juga mengubah UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan kerjaan, Jokowi menambahkan jaminan kehilangan pekerjaan sebagai program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Namun dalam perkembangan yang berlangsung, sejak 12 Februari dalam melibatkan DPR, kritik dan protes langsung datang dari kelompok serikat pekerja. Sepertinya, argumen yang diberikan presiden Jokowi masih ditanggapi tidak serius oleh khalayak.
Mereka berpendapat pasal-pasal dalam aturan itu hanya menguntungkan pengusaha, sama seperti tanggapan sejak awal. Tidak ada kesehjateraan pastinya, hal itu membuat kaum serikat buruh panas dan berkata, “Bicara investasi tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh,” ucap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Said Iqbal di sini mungkin mewakili untuk melawan pendukung Omnibus Law. RUU ini juga tidak terlepas dari problematik berbelit-berbelit, peran kaum kiri muda dianggap sebagai pelurusnya. Muncul pertanyaan kembali, apa kesalahan pemerintah sehingga memunculkan protes bahkan solusi dari kaum kiri muda yang selama ini berdiam saja ?, jawabanya adalah dalam proses penyusunannya, pemerintah seakan tertutup. Kaum-kaum yang menjadi subjek ‘Omnibus Law’ hanya tahu pihak pengusaha terlibat dalam menyaring aturan itu, yang dipimpin Kamar Dagang Indonesia atau Kadin. Akibatnya, isi dalam RUU Omnibus Law hanya berisi kepentingan mereka, yaitu para pengusaha, investor, orang-orang kaya bin makmur yang paham ekonomi. Seperti yang diketahui, usaha pemerintah dalam memuluskan pembahasan Omnibus Law akan membentuk Satuan Tugas (Satgas). Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang. Anggota Satgas Omnibus Law terdiri atas perwakilan dari kementerian atau lembaga-lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh masyarakat. Ada nama-nama pengusaha besar yang masuk dalam Satgas tersebut, antara lain CEO Lippo Group James Riady, Komisaris Utama Bosowa Corporation Erwin Aksa, Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk Bobby Gafur Umar, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Kadin Bidang Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Anton J. Supit, Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelia Hartoto, dan Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan. Beberapa kepala daerah juga masuk dalam Satgas ini, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Hal ini menjadi motivasi utama dalam isi solusi kaum kiri muda terhadap Omnibus Law. Tidak ada oligarki itu adalah omong kosong!
Kaum kiri milenial Indonesia juga menyorot terhadap aturan lingkungan hidup dalam Omnibus Law, hal itu telah bermasalah. Berdasarkan pernyataan Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut bahwa RUU Ciptaker dalam Omnibus Law memberikan keistimewaan terhadap korporasi semata tanpa melibatkan keistimewaan lainnya. Ciri khas kaum kiri milenial Indonesia yang serba kritis membuat hal ini dianggap suatu persoalan rumit. Dalam pasal 34 Omnibus Law contohnya, UKL-UPL disampaikan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Kewenangan dalam pemberian Amdal akan berubah akibat RUU tersebut, konsep yang tadinya diatur oleh pemerintah daerah, akan tidak jelas statusnya. RUU Ciptaker pun memberi batasan administrasi mengenai gugatan kegiatan perusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak langsung yang bisa melakukan hal tersebut. Atas dasar itulah, kaum kiri milenial menganggap bahwa pemerintah akan membatasi tuntutan rakyat dalam segala kerusakan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan industri. Kaum kiri menilai bahwa pemerintah tidak pro terhadap aspirasi rakyat, selain dalam aspek pengawasan juga hal-hal penerapan bersifat gampang dilupakan salah satunya, lingkungan.
Suara kaum kiri selanjutnya untuk para pendukung Omnibus Law adalah cacatnya Omnibus Law terhadap Perubahan pasal UU Pers dalam Omnibus Law. Hal ini menuai kritik. Apalagi dalam draf aturan yang baru, pemerintah pusat berhak mengatur pengembangan usaha pers melalui penanaman modal. Aturan yang lama hanya mengatakan penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Omnibus Law itu juga menaikkan pidana denda bagi perusahaan pers yang melanggar aturan. Di UU yang lama dendanya paling banyak Rp500 juta, sementara draf yang baru menyebut Rp2 miliar. Ada pula sanksi administratif yang akan diatur dalam peraturan pemerintah. Kaum kiri memberikan solusi dengan pemebentukan lembaga pers yang hanya berisi rakyat untuk rakyat, padahal kita sadar bahwa profit merupakan alasan utama berkembangnya suatu industri termasuk media pers. Kaum kiri dianggap masih belum sadar kenyataan akan suatu hal yang sudah sering ditemukan. Sektor industri media dianggap sektor paling berpengaruh dan mempengaruhi suatu pemerintahan, di sinilah oligarki sosialisme tidak akan berjalan, kalau prinsipnya saja dari rakyat untuk rakyat. Kembali ke pernyataan bahwa setiap invidu memiliki kebutuhan berbeda satu sama lain.
Bisa diambil kesimpulan, kaum-kaum kiri milenial khas Indonesia belum bisa memberikan solusi jitu dalam kekisruhan Omnibus Law. Dalam hal ini, peran politbiro hanya bersifat memanaskan tanpa sadar realita. Maksudnya, rakyat di sini masih bersifat gagap dengan pemahaman definisi masih amburadul dan gampang terpengaruh pihak-pihak tertentu, lalu dibuatlah solusi untuk rakyat yang tidak tahu paham atau engga untuk menjalankan apa yang dikatakan solusi atas dasar teori Marxisme Komunisme. Tanggapan atas solusi ini adalah tidak relevan namun, kita harus melihat sisi lainnya di mana apresiasi luar biasa terhadap kaum muda Indonesia saat ini yang berani menunjukan sisi kiri-Nya tanpa rasa takut, apalagi berani bersuara, seperti Bung Sutan Sjahrir sebelum berantem dengan Ir. Soekarno. Bagi pendukung Omnibus Law, jangan hanya berargumen tanpa didasari sisi historis dan paparan umum ambigu, berikan juga solusinya agar tidak ada kisruh apalagi bikin chaos, amit-amit!
Rika Salsabila, Mahasiswi Jurnalistik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.
Average Rating