Bias Gender Pemberitaan Perempuan dalam Media

Bias Gender Pemberitaan Perempuan dalam Media

Read Time:3 Minute, 12 Second

Bias Gender Pemberitaan Perempuan dalam Media

Oleh : Firda Amalia Putri

Berbicara berkenaan dengan perempuan memang tidak ada habisnya. Selalu ada hal menarik perihal masalah perempuan. Salah satunya ialah peran media dalam memberitakan perempuan yang menjadikan perempuan sebagai objek untuk keperluan berita.

Media memiliki peran dalam membentuk prespektif masyarakat. Dengan sajian berita yang cenderung mengkelaskan perempuan di kelas bawah, mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat bahwa yang disajikan media tersebut adalah hal yang lumrah. Hingga akhirnya perempuan dijadikan omzet oleh media dengan pemberitaan yang sangat memojokan dan mengobjektifkan perempuan.

Dalam salah satu jurnal Citra Perempuan dalam Media penulis mengatakan, media merupakan salah satu lembaga yang memiliki kekuatan dalam menyebarluaskan pesan-pesan memengaruhi, merefleksi budaya masyarakat, hingga menumbuhkan ideologi gender  kepada masyarakat. Pemahaman bias gender dalam masyarakat terbentuk salah satunya juga melalui media massa yang terus menerus  memproyeksikan peran-peran gender secara stereotip.

Media massa menampilkan perempuan dalam gambaran sebagai individu yang feminin yang secara tegas memiliki perbedaan dengan sosok laki-laki maskulin. Dengan bingkai stereotip gender tersebut media massa berperan turut memperkokoh nilai-nilai budaya patriarki yang telah berlaku sesuai nilai-nilai masyarakat.

Salah satu tajuk pemberitaan yang cukup kontroversial adalah judul berita pada laman rctiplus.com yang berbunyi  Adu Seksi Celine Evangelista dan Georgina Rodriguez Kenakan Dress Ketat, Menggoda Banget! Dalam pemberitaan tersebut dituliskan bahwa Celine Evangelista dan Georgina Rodrigues seorang istri dan  ibu rumah tangga yang memiliki tubuh aduhai nan seksi (15/03/2021). Jelas pemberitaan ini sama sekali tidak bernilai kecuali hanya menjadikan perempuan sebagai komoditas untuk menghasilkan berita-berita murahan. Lalu menjadikan perempuan sebagai korban dari pengobjekan media.

Lain hal dengan berita yang diturunkan oleh Kompas.com  berjudul  Ratna  Sarumpaet: Aku Mau Istirahat Saja Mengurus Cucu, Kapok. Dalam pemberitaan ini seharusnya memberikan gambaran mengenai Ratna yang tersandung kasus penyebaran berita bohong (21/06/2019). Alih-alih menyajikan berita sesuai dengan kasus yang sedang berkembang Kompas justru membelokan pemberitaan yang lebih terkesan pengaitan peranan perempuan dengan urusan domestik. Di mana tempat terbaik perempuan adalah di rumah, berita ini juga  menanamakan nilai patriarki yang mempertegas bahwa publik bukanlah ranah perempuan, melainkan laki-laki.

Selain itu konotasi negatif yang dibuat media untuk perempuan adalah julukan perempuan yang sudah menikah atau memiliki anak atau perempuan ibu rumah tangga dengan julukan emak-emak. Dalam pemberitaan mengenai emak-emak, media mengkontruksikan bahwa emak-emak adalah sosok perempuan yang kurang intelektual. Namun ingin memiliki kedigdayaan di atas laki-laki. Dalam hal ini media sangat gencar menjadikan diksi emak-emak sebagai bahan berita candaan atau justru penghinaan kepada kaum mak.

Baru-baru ini media kembali memframing perempuan dengan sangat bias gender. Julukan ”perawan” kerap kali dipakai oleh beberapa media untuk membungkus berita mengenai perempuan. Seperti pada berita yang dikeluarkan Viva.co.id berjudul Profil Fatimah Calon Istri UAS, Santri Asal Jombang yang Masih Perawan (26/04/2021). Bukannya mencocokan dengan isi berita, Viva justru membuat judul yang sangat mengkomersilkan perempuan hanya untuk menarik pembaca tanpa memikirkan orang yang diberitakannya.

Media juga sangat suka menggunakan kata ”perawan” untuk jenis berita yang berkaitan dengan perempuan, entah apa alasannya tetapi penggunaan kata ”perawan” merupakan sebuah bentuk objektivitas terhadap perempuan. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa kata ”perjaka” tidak banyak digunakan media dalam pemberitaan terhadap laki-laki. Hal ini semakin membuktikan adanya ketimpangan gender terhadap pemberitaan perempuan dalam media massa.

Mengutip salah satu jurnal yang menuliskan bahwa media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender melainkan memperkokoh, melestarikan,bahkan memperburuk segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat. Media melakukan framing melalui pemilihan diksi, bahasa dan konstruksi berita disertai dengan bumbu kata-kata yang bombastis serta kontradiktif (kejam, tega, stres, dan lain-lain) sebagai pengingkaran.

Konstruksi perempuan yang bias oleh media perlu dikoreksi karena media memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas dalam masyarakat. Media perlu didorong menuju sensitif gender dengan cara memfokuskan pemberitaannya dalam sisi-sisi humanis.

 

*penulis merupakan mahasiswa program studi Sejarah Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Kasih Gereja untuk Sesama Previous post Kasih Gereja untuk Sesama
Tasawuf Underground: Pemberdayaan Ekonomi Anak Punk Next post Tasawuf Underground: Pemberdayaan Ekonomi Anak Punk