Potret Mbah Tentrem, Muslim yang rumahnya dipugar oleh Gereja Ganjuran, Selasa (6/4). Pemugaran dilakukan pada Januari 2021. (Sumber: Rafika Wahyu A.)
“Maka, yang dibicarakan bukan soal agama, melainkan kemanusiaan dan kesejahteraan.” Itulah yang disampaikan oleh Romo Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus—biasa disebut Gereja Ganjuran—Krisno Handoyo saat ditemui pada Minggu (4/4) lalu. Ia dan beberapa jemaat lain sedang sibuk menghias gereja untuk menyambut peringatan Hari Raya Paskah.
Ornamen yang digunakan untuk menghias gereja sangat beragam. Mereka berusaha menyatukan ragam kekhasan agama dan etnisitas antara Hindu, Budha, dan Jawa.
Sama seperti umat Kristiani lainnya, bagi Gereja Ganjuran, Misa Paskah tahun ini terasa cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Situasi pandemi membuat mereka bekerja ekstra memikirkan ragam cara agar jemaat tetap nyaman beribadah.
Penerapan protokol kesehatan—seperti terbatasnya jumlah jemaat dan waktu pelaksanaan Misa—tak sama sekali memudarkan niat hati jemaat. Suasana sukacita dan khidmatperibadatan tampak tak terusik oleh pandemi.
Beberapa petugas menyambut jemaat yang datang sebelum menuju ke pendopo megah. Panitia Paskah mengarahkan jemaat untuk menempati kursi-kursi yang sudah diatur sedemikian rupa agar berjarak satu sama lain. Begitupun dengan Aldilla, salah seorang jemaat Gereja Ganjuran yang duduk di sana. Ia bersama para jemaat lain tampak larut dalam suasana Paskah di gereja yang sudah berdiri hampir satu abad ini.
“Misa Paskah tahun ini terasa lebih khusyuk walau harus dilaksanakan di tengah pandemi. Mungkin, karena jemaat yang ikut lebih sedikit,” cerita Aldilla, Selasa (6/4) lalu.
Sedang di luar gereja, para pedagang sibuk menjajakan jualan demi mengais rezeki di hari suci. Meskipun tak turut merayakan, mereka melayani pembeli dengan senyum yang merekah, seakan turut berbahagia atas Paskah. Setidaknya menurut Romo Krisno, Gereja Ganjuran memang dikenal karena karya-karya sosial dan kebaikannya untuk sesama.
Asal usul berdirinya gereja yang menaungi enam kapanewonan di Bantul ini menjadi alasanberagamnya kegiatan peningkatan kesejahteraan. Gereja Ganjuran berawal dari karya sosial oleh keluarga pemilik Pabrik Gula Gondang Lipuro—Keluarga Smutcher—pada 1912 untuk menyejahterakan buruh. Mereka kemudian mendirikan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Hingga pada titik yang lebih jauh, perihal kebutuhan rohani atau keimanan pun menjadi perbincangan.
Maka dari itu, masyarakat sekitar pun merespon positif ketika gereja hendak dibangun, begitu pula dengan pemerintah yang memberikan dukungan penuh. “Respon tersebut timbul karena berbagai karya sosial yang sebelumnya telah berjalan,” ujar Romo Krisno.
Adalah Jaminan Hidup (Jadup) dan Pemugaran Rumah merupakan dua dari beberapa karya sosial yang dilakukan Gereja Ganjuran. Memiliki prinsip ‘untuk semua’, keduanya berdampak cukup besar bagi mereka yang tidak mampu. Hingga saat ini, terdapat 180—200 keluarga penerima Jadup. Sedangkan untuk Pemugaran Rumah dilaksanakan ketika ada warga yang membutuhkan dan dana yang memadai.
Seperti halnya Tentrem, seorang muslim yang rumahnya dipugar belum lama ini. Tak ada kata lain selain syukur yang dapat ia ungkapkan. Wanita yang akrab disapa Mbah Tentrem itu tidak pernah menyangka akan mendapatkan bantuan dari pihak Gereja Ganjuran. “Dalam menerima maupun memberi bantuan, tidak perlu memandang agama,” ujar Mbah Tentrem ketika ditemui di sela-sela pekerjaannya mencari gayam dan melinjo untuk bertahan hidup, Selasa (6/4).
Untuk menghindari pemberian bantuan yang salah sasaran, terdapat Tim Jakaritatip yang memantau dan melaporkan keluarga mana saja yang layak untuk dibantu. Walau adabeberapa syarat bagi orang yang bisa mendapatkan bantuan, Gereja Ganjuran tak pernah sekalipun menetapkan kriteria agama.
“Kami membantu tidak pandang agama, tetapi ada pula di antara mereka yang takut kalau diajak menjadi umat gereja. Padahal bukan begitu,” ujar salah seorang anggota Tim Jakaritatip, Sri, saat ditemui di kediamannya pada Minggu (4/4).
Selain itu, terdapat pula Pasar Murah Sembako yang diadakan oleh salah satu organisasi Gereja ganjuran—Wanita Katolik—setiap tahunnya. Dana yang digunakan takberasal dari gereja, melainkan uang kas dan iuran anggota. Menurut Sri, tak perlu mencari yang jauh untuk dibantu ketika masih banyak orang yang membutuhkan di sekitar kita.
Menolong tak pandang agama. Itu adalah prinsip yang tak hanya dipegang teguh oleh Gereja Ganjuran, tetapi juga Gereja Kristen Jawa Manahan yang berdiri kokoh di Surakarta, Jawa Tengah. Gereja Manahan memang telah lama dikenal dalam menghidupi kegiatan-kegiatan yang mengembangkan kerukunan antar umat beragama.
Setiap Ramadan pada 1998—2009 silam, terdapat program Nasi Murah untuk masyarakat tidak mampu yang kerap lalu-lalang di jalan besar tempat gereja berdiri, seperti pemulung, ojek, dan tukang becak.
Saat ini, Gereja Manahan masih mengadakan program Lumbung Pangan serta Makan Siang dan Malam untuk Sahabat. Lumbung Pangan merupakan inisiatif pembagian paket sembako ke jemaat gereja ataupun warga sekitar yang terdampak pandemi. Sedang Program Makan Siang dan Malam untuk Sahabat adalah program pembagian nasi bungkus kepada masyakarat.
“Sebenarnya serupa dengan Nasi Murah, tetapi dengan nama berbeda dan beberapa pengembangan,” ujar Pendeta Retno Ratih Suryaning Handayani, Minggu (21/3).
Masih Ada Stigma
Menanam kebaikan takselalu bermakna sama di mata orang lain, pun takselalu membuahkan hasil yang manis. Seringkali beredarnarasi tidak menyenangkan yang menyalahtafsirkan kebaikan gereja sebagai aksi katolikisasi atau kristenisasi. Baik Romo Krisno maupun Pendeta Retno sepakat akan hal tersebut. Stigma masyarakat terkadang menghambat pemberian bantuan kepada orang yang benar-benar membutuhkan.
“Padahal, orang beragama, kan, enggak bisa dibendung keinginannya untuk melakukan kebaikan,” tutur Pendeta Retno.
Baik Gereja Ganjuran atau Gereja Manahan pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan. Pada 2009, sekelompok orang mendatangi Gereja Manahan dan memaksa gereja untuk menghentikan kegiatan Nasi Murah. Hal tersebutmembuat Gereja Manahan memilih untuk mengalah dan meniadakan kegiatan tersebut kala itu.
Sedangkandi Gereja Ganjuran, saat erupsi Gunung Merapi pada 2010,serombongan orang mendatangi gereja dan meminta pengungsi muslim untuk keluar. Aksi penolakan tersebut lahir dari sebuah kesalahpahaman atas rasa khawatir.
Untuk meminimalisir kesalahpahaman tersebut di masa kini, jika ada orang yang bukan umat Katolik meminta bantuan pada Gereja Ganjuran, mereka wajib melapor terlebih dahulu ke tempat ibadah atau pemuka agamanya. Dengan begitu, sulutapi kebencian pun tak perlu dikhawatirkan terjadi. “Mau bagaimanapun, tetaplah berbuat baik,” nasihat Romo Krisno terkait stigma masyarakat.
Toleransi Dimulai dengan Dialog
Baik Gereja Ganjuran atau Gereja Manahan memiliki berbagai kegiatan dialog lintas iman yang membingkai keberagaman dan meningkatkan toleransi. Romo Krisno menyarankan untuk mengadakan dialog budaya atau dialog karya sebab kedua hal tersebut tak menyinggungagama.
Seperti halnya Genduren Lintas Iman, sejumlah tokoh agama Kristen, Islam, Katolik, dan Hindu berkumpul dan bercengkerama dalam bingkai keberagaman. Kegiatan tersebut rutin diadakan Gereja Ganjuran dalam empat tahun terakhir. Dihadiri sekitar 400—500 orang dari enam kepanewon, pemerintah setempat seperti bupati dan wakil bupati pun turut ikut serta. Selain melalui Genduren, Romo Krisno juga rutin mengikuti kegiatan sosial di lingkup Rukun Tetangga sebagai suatu dialog karya untuk meminimalisir kesalahpahaman antar umat.
Rupanya,kegiatan lintas iman seperti itu juga terjadi di Gereja Manahan, tetapidengan sasaran yang berbeda. Apabila Gereja Ganjuran mengumpulkan sejumlah tokoh agama dan masyarakat dewasa, maka Gereja Manahan mengumpulkan anak-anak hingga remaja dalam sebuah kegiatan yang disebut Sobat Lintas Iman. Dalam Sobat Lintas Iman, mereka belajar untuk menghargai budaya dan tradisi agama lain sambil bermain.
Bagi Pendeta Retno, pertemuan-pertemuan menjadi sebuah proses belajar saling menghargai budaya dan tradisi agama satu sama lain. Pun dialog selalu didorong agar menjadi inklusif.
“Toleransi harus ditanamkan sejak dini, mempertemukan mereka merupakan salah satu solusi menghapus kesalahpahaman. Bersahabatlah sebanyak-banyaknya dengan teman yang berbeda agama, suku, atau golongan serta jalin komunikasi sebaik-baiknya,” tutupPendeta Retno.
Oleh: Rafika Wahyu Andani
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Average Rating