Perubahan Iklim yang Responsif Gender

Perubahan Iklim yang Responsif Gender

Read Time:3 Minute, 15 Second

Perubahan Iklim yang Responsif Gender

 

Oleh: Firda Amalia Putri*

Perhelatan perubahan iklim yang akan mengumpulkan ratusan pemimpin dunia (COP26) di Glasgow sedang berlangsung, pertemuan ini menjadi agenda penting untuk penetapan target pengurangan emisi. Perubahan iklim merupakan isu global yang seharusnya mendapatkan perhatian masyarakat luas. Hal ini dikarenakan bencana iklim dapat mempengaruhi keberlanjutan hidup manusia di berbagai belahan bumi. Darurat iklim merupakan alarm besar untuk meningkatkan kesadaran bahwa kondisi bumi semakin memburuk.  

Tanggal 10 Agustus lalu  Intergovernmental Panel  on Climate Change (IPCC ) melaporkan bahwa kondisi iklim dunia kian memburuk. Pasalnya, aktivitas manusia semakin banyak sehingga meningkatkan pemanasan bumi secara bertahap lebih dari 1,1 derajat celcius. Bencana iklim ini mendatangkan malapetaka besar dan ketakutan akan keberlanjutan bumi    di masa yang akan datang. 

Berdasarkan laporan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan dalam kajian pembiayaan perubahan iklim yang responsif gender  mengatakan bahwa, pihak-pihak yang mendapatkan dampak terbesar dari adanya perubahan iklim salah satunya adalah perempuan. Perempuan menjadi korban yang paling besar dengan adanya perubahan iklim. Hal ini dikarenakan perempuan lebih sedikit memiliki akses untuk mendapatkan edukasi mengenai mitigasi bencana, sehingga ketika terjadi bencana banyak perempuan yang tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.

Selain itu dalam buku Inisiatif Perempuan Menghadapi Kebijakan Iklim yang diterbitkan oleh Solidaritas Perempuan, mengatakan bahwa faktor lainnya adalah tidak dilibatkannya perempuan dalam diskusi dan pengambilan keputusan terkait urusan lingkungan. Budaya patriarki masih mentabukan perempuan dalam hal mengambil keputusan, sehingga berakibat semakin berkurangnya partisipasi perempuan dalam urusan lingkungan dan perubahan iklim. Apabila perempuan dilibatkan untuk berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim bisa saja kondisi bumi akan jauh lebih baik.

Buku tersebut juga menjelaskan bahwa perubahan iklim mengharuskan perempuan lebih keras bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  Seperti yang dialami oleh perempuan nelayan di Kampung Bambu dan Gang BS, Kec. Cilincing, Jakarta, jika kondisi alam tidak bersahabat maka akan sangat mempengaruhi pekerjaannya. Bahkan ketika cuaca ekstrem perempuan nelayan tidak mendapatkan penghasilan sama sekali.

Hal ini membuat mereka harus mencari pekerjaan alternatif seperti, kuli nyuci, berdagang atau pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perempuan telah melakukan berbagai upaya, tetapi belum ada pengakuan dari negara maupun masyarakat atas apa yang telah perempuan lakukan.

Ketidakadilan gender dalam perubahan iklim dan bencana alam dapat terlihat mulai dari kesiapan bencana alam, pencegahan dan pemulihan. Situasi bencana alam ini membuat perempuan dihadapkan dengan beban ganda yaitu memenuhi kebutuhan keluarga, menjaga aset keluarga, dan naluri perempuan yang selalu ingin mengutamakan keselamatan keluarga terlebih anak dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Dalam laporan mengenai perempuan dan perubahan iklim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa bencana tsunami di Aceh, sebanyak 55-70% korban meninggal adalah perempuan.

 Bahkan di beberapa negara maju juga menunjukkan trend yang sama. Ketika terjadi bencana gelombang panas di Perancis pada tahun 2003 perempuan merupakan 70% dari 15,000 korban meninggal. Selain itu, korban badai Katrina di Amerika Serikat (AS) adalah mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di AS.

Berbagai fakta telah menunjukan bahwa perempuan memang menjadi korban paling rentan akibat perubahan iklim. Namun sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan kebijakan yang responsif gender, sehingga perempuan lagi dan lagi menjadi korban ketidakadilan gender dalam perubahan iklim. Padahal perempuan adalah penyumbang paling sedikit emisi ketimbang laki-laki.

Emisi yang dihasilkan  laki-laki jauh lebih banyak karena laki-laki yang lebih sering keluar rumah baik menggunakan transportasi pribadi maupun umum. Dalam hal konsumsi laki-laki juga mengkonsumsi produk-produk pabrik seperti minuman kaleng, rokok, dan senjata.

Keadilan iklim yang berkeadilan gender merupakan visi yang sudah semestinya didukung. Perempuan sudah saatnya dilibatkan bukan hanya dalam diskusi lingkungan tetapi juga dalam mengambil keputusan. Sudah bukan saatnya lagi menjadikan gender sebagai alasan untuk meminggirkan kontribusi perempuan.

Perubahan iklim erat sekali kaitannya dengan kehidupan perempuan. Jika perempuan tidak memiliki kapasitas untuk menangani bencana alam baik pencegahan maupun pemulihan maka ketidakadilan gender dalam perubahan iklim akan terus menjadi penyakit peradaban.


*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Nasib Pengusaha Fotokopi Saat Pandemi Previous post Nasib Pengusaha Fotokopi Saat Pandemi
Boyong Dua Penghargaan Lomba Esai Nasional Next post Boyong Dua Penghargaan Lomba Esai Nasional