Pria berusia 19 tahun itu tengah membuka laman Academic Information System (AIS) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kendati sudah dibantu alat pembaca layar atau screen reader, mahasiswa yang duduk di bangku kuliah semester tiga ini tetap kesulitan untuk melihat dan membaca gegara tulisan di AIS tidak dapat terdeteksi. Kejadian seperti ini, saban-saban membuat dirinya masygul.
Pria bernama Awan Aditya itu, merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, mengalami disabilitas netra—tidak dapat melihat—lantaran faktor genetik yang didapatinya sejak masih anak-anak, tepatnya usia empat tahun. Hal ini membuat Awan berkawan baik dengan screen reader lantaran telah memudahkannya dalam berkegiatan sehari-hari.
Menurut Awan, fasilitas di UIN Jakarta tidak ramah untuk disabilitas. Selain AIS yang tak terdeteksi screen reader, ketidakadaan penunjuk jalan khusus untuk disabilitas netra turut menjadi keluhan bagi Awan. Alhasil, bukannya merasa senang ketika mengelilingi area kampus, Awan malah mendapati kesulitan untuk menentukan arah jalan. “Mungkin perangkat e-learningnya yang harus diperbarui agar terbaca screen reader. Dan semoga disediakan fasilitas jalur penunjuk jalan,” ucap Awan, Selasa (30/11).
Selama pandemi Covid-19 yang membuat perkuliahan dilakukan secara daring, Awan dibantu oleh tiga perangkat kesayangannya: screen reader, reglet dan stylus (alat tulis khusus untuk disabilitas netra). Perangkat tersebut setia menemani dan mendukung Awan belajar di rumah. Ia amat bersyukur lantaran hidup di era kiwari yang teknologinya kian canggih. “Masalah kesulitan sebenarnya tergantung (pada ketersediaan fasilitas),” tuturnya.
Awan mengatakan bila ada yang ingin membantu dirinya, dengan sangat senang hati Ia akan menerimanya. Tak perlu sungkan, kata dia, untuk menawarkan bantuan. “Saya sangat membuka pintu selebar-lebarnya untuk teman-teman yang ingin membantu.” ucap Awan.
***
Jihan, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hanya bisa melihat cahaya hitam dan putih dalam pandangannya. Sedangkan cahaya warna-warni yang ada di kehidupan ini, tak mampu ditangkap oleh kedua mata Jihan. Ketika beranjak usia dua belas tahun, matanya mulai mengalami kondisi tersebut. Kian hari kian tak terlihat bagaimana rupa warna di dunia ini. Sejak saat itu, Jihan menjadi seorang disabilitas netra.
Selama proses kuliah semester tiga ini, Jihan melakukan pembelajaran daring. Begitupun screen reader yang sudah menjadi teman karib Jihan selama perkuliahan berlangsung. Menurutnya perangkat screen reader saat ini sudah cukup baik dalam membantu aktivitasnya sehari-hari: membaca surel dan pesan masuk pada ponsel pintar dan laptop. “Screen reader untuk saat ini sudah sangat membantu,” tutur Jihan, Selasa (30/11).
Kendati demikian, tetap saja Jihan dihadapkan pada perkara sulit yang membuatnya masygul. Hal ini terjadi ketika Ia mendapatkan tautan tugas yang tidak dapat terbaca oleh screen reader melalui gawai maupun laptop. “Ya, itu sulit bagi Saya. Mau tidak mau Saya pastinya meminta bantuan ke teman-teman,” ucap Jihan.
Jihan juga mengalami kesulitan yang serupa dengan Awan: akses AIS yang tak terbaca oleh screen reader. Hal ini membuat dirinya segan kepada teman-temannya lantaran terlalu sering meminta bantuan. Jihan pun meminta pihak kampus untuk segera memperbaiki sistem AIS. “Tolong segera perbaiki Perangkat AIS, karena tidak mungkin selamanya Saya minta bantuan ke teman-teman.” tuturnya.
Lebih lanjut, Jihan mengatakan jangan pernah memandang lemah orang-orang disabilitas karena semua manusia itu setara satu sama lain. Termasuk dalam hal beraktivitas sehari-hari. “Bantulah Saya bukan karena kasihan, dan jangan pernah menganggap kami ini lemah,” pungkas Jihan.
AC
Average Rating