Kristen Ortodoks selalu berpegang teguh pada ajaran asli Yesus Kristus. Tak hanya itu, budaya Timur menjadi ciri khas tersendiri di gereja.
Generasi Literat menyelenggarakan “Hangout Kebhinekaan” di Gereja Ortodox Rusia Santo Thomas Rasul, Jakarta Selatan, pada Sabtu (10/6). Acara ini bertujuan untuk mengenalkan agama Kristen Ortodoks kepada masyarakat serta memperkuat toleransi antarumat beragama. Acara dihadiri oleh peserta dari lintas agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Sikh dan Baha’i.
Pendiri dan Direktur Generasi Literat, Mila Muzakkar (37), mengungkapkan, tema “Hangout Kebhinekaan” bertujuan memberikan kesan santai dan menyenangkan bagi kalangan muda, hal tersebut sesuai dengan target Generasi Literat yang menyasar generasi milenial dan generasi z. “Dalam Hangout Kebhinekaan juga merawat hubungan dengan alumni, hal ini menunjukkan bahwa program ini melibatkan semua orang dan agama,” ungkapnya Sabtu (10/6).
Boris Setyawan, salah satu romo—pemuka agama gereja, menceritakan awal mula berdirinya Gereja Ortodoks di Indonesia. Agama Kristen Ortodoks dibawa masuk ke Indonesia oleh Romo Daniel Byantoro pada tahun 1988 di Solo. Agama ini merupakan agama yang dianggap baru, tetapi agama ini berpegang teguh pada ajaran asli Yesus Kristus.
Boris, lanjut menjelaskan, Kristen Ortodoks memiliki perbedaan dengan Kristen lainnya seperti perbedaan kalender liturgi—tata cara kebaktian yang membuat mereka merasa terisolasi dalam beberapa momen keagamaan—dengan umat kristen pada umumnya. Meskipun demikian, gereja ini tetap teguh dalam pergerakan yang mempertahankan kekunoan dan keasliannya, karena hal itu, gereja ini mendapat dukungan dari pemerintah serta saudara-saudara lintas agama.
Boris juga menjelaskan mengenai sejarah Ortodoks serta Gereja Ortodoks yang ada di Indonesia, dari beberapa yurisdiksi meliputi Rusia, Yunani, dan Koptik (Mesir). Gereja ini dianggap sebagai gaya hidup yang mengajarkan untuk menjalani ajaran-ajaran Tuhan Yesus secara penuh. “Gereja Ortodoks mempertahankan budaya dan praktik awal seperti penggunaan kerudung, puasa serta tradisi beribadah yang tidak memakai kursi,” jelasnya, Sabtu (10/6).
Martin (25), seorang umat katolik yang beralih ke Kristen Ortodoks, menyampaikan ketertarikan dengan Kristen Ortodoks, menurutnya agama ini sungguh-sungguh mempertahankan, mewarisi, dan mengajarkan ajaran Yesus Kristus secara autentik. Ia mempercayai Tuhan Yesus dan orang-orang yang ditunjuk-Nya sebagai rasul.
Lanjut, Ia mengungkapkan, dalam membaca Kitab Suci, interpretasi orang bisa berbeda-beda bahkan ada yang menyatakan Tuhan Yesus bukanlah Tuhan tetapi nabi, atau hanya orang biasa. Oleh karena itu, Martin percaya bahwa untuk melihat makna aslinya, ia perlu merujuk kepada sumber primer yang lebih murni, agar tidak mendapatkan informasi yang bias tentang agama ini. “Hidup itu ibadah, tak hanya ritual formal yang dinilai ibadah tetapi seluruh kehidupan sosial dan perjuangan di luar gereja pun termasuk ibadah”, ungkapya, Sabtu (10/6).
Menurut Martin, Kristen Ortodoks menarik perhatiannya karena memiliki pengaruh budaya Timur yang kental dalam praktik keagamaannya, beda halnya dengan Kristen Protestan dan Katolik yang dipengaruhi oleh budaya Barat. “Kristen Ortodoks menunjukkan kekhasan dengan mempraktikkan budaya Timur seperti penggunaan penutup kepala bagi perempuan dan tradisi ibadah yang tidak menggunakan kursi,” tuturnya.
Seseorang beragama Sikh dari Yayasan Sosial Guru Nanak (YSGN), Carol (24) mengatakan pengalaman pertamanya dalam mengikuti acara lintas agama, ia sangat antusias untuk belajar dan berbagi pengetahuan agama dengan peserta lainnya. Carol berharap agar seseorang yang memiliki pengetahuan akurat dapat disebarluaskan guna memperbaiki perspektif orang agar tercipta kerukunan yang harmonis. “Saya terkesan dengan kegiatan ini. Selain belajar, kami juga saling memahami,” katanya, Sabtu (10/6)
M. Reza Aven Rosyadi, salah satu peserta beragama Islam, mengungkapkan, acara ini menjadi sarana untuk menghilangkan persepsi yang sebelumnya dianggap salah tentang Kristen Ortodoks. Ia merasa mendapatkan manfaat besar yaitu mengubah pola pikir terhadap orang yang memiliki latar belakang berbeda baik itu suku, ras, maupun agama. “Sebelumnya, saya cenderung merasa paling benar, namun setelah mengikuti acara ini, saya sadar, bahwa agama lain juga mengajarkan kebaikan yang sama” ungkapnya, Sabtu (10/6).
Reporter: IHPA
Editor: Muhammad Naufal Waliyyuddin