Semenjak rektor mengeluarkan SK tentang Tarif Layanan Penunjang Akademik Badan Layanan Umum (BLU), beberapa mahasiswa mulai mengeluh. Selain itu, tidak adanya diskusi antara pihak rektorat dan mahasiswa membuat mahasiswa mengkritik kebijakan tersebut.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta—Asep Saepudin Jahar mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 1398 a Tahun 2023 tentang Tarif Layanan Penunjang Akademik Badan Layanan Umum (BLU) UIN Syarif Hidayatullah pada Kamis, (31/8). Setelah SK tersebut keluar, civitas academica mulai ramai membincangkan dan mengeluhkannya.
Kebijakan dalam SK Rektor tersebut berisi tentang tarif lahan, ruangan, gedung, sarana transportasi, layanan kesehatan, laboratorium, pendidikan, dan pelatihan di UIN Jakarta. Harga yang tertera di SK tersebut pun beragam, mulai dari Rp5.000 sampai Rp3.500.000 per jam.
Melansir dari Instagram @uinjktofficial, Rektor UIN Jakarta menuturkan, penerapan tarif layanan penunjang sudah dilakukan dengan memperhatikan regulasi yang berlaku. Ia juga menegaskan, penerapan tarif ini juga tidak akan memberi beban baru yang harus ditanggung oleh unit internal maupun mahasiswa UIN Jakarta melalui berbagai organisasi intra kampus masing-masing.
Menurut Asep, penentuan tarifnya dilakukan dengan mempertimbangkan pengkajian dan penilaian harga pasar. Tarif layanan ini menjadi acuan untuk setiap lingkup pekerjaan atau pelayanan di lingkungan UIN Jakarta serta berlaku sejak tanggal ditetapkannya SK Rektor tersebut.
Lebih lanjut, Rektor menyebutkan, pengenaan tarif dilakukan sebagai bagian pendisiplinan penggunaan sarana universitas dari kepentingan pribadi maupun kegiatan mahasiswa dengan dukungan pihak sponsor. “Setiap penerimaan dari layanan ini menjadi bagian dari pendapatan yang diperuntukkan kembali menjadi sumber pembiayaan kegiatan akademik UIN Jakarta,” katanya, Kamis (21/9).
Ketua Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Muhammad Ansorullah, mengaku sudah mengetahui latar belakang sejak ditetapkannya SK tersebut. Di mana UIN Jakarta ingin menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). “Ini merupakan bagian dari simulasi untuk UIN menjadi PTN-BH,” ujar Ansorullah, Senin (18/9).
Meski begitu, Ansorullah menyayangkan pihak kampus tidak mengadakan sosialisasi kepada mahasiswa terutama untuk Organisasi Mahasiswa (Ormawa) maupun UKM. Justru, mahasiswa mendapatkan SK Rektor tersebut bukan dari pimpinan atau kemahasiswaan, melainkan dapat dari orang di luar pimpinan. “Seharusnya ada sosialisasi kepada kami (mahasiswa), sehingga kami paham apa alasan ditetapkannya SK Rektor tersebut,” jelas Ansorullah, Senin (18/9).
Ansorullah berharap, ke depannya mahasiswa lebih dilibatkan lagi dalam urusan kampus, terutama saat membuat kebijakan yang memiliki dampak bagi mahasiswa. “Jadi ke depannya, setiap keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat, teman-teman mahasiswa itu sudah tahu, sudah siap-siap terkait hal itu,” katanya, Senin (18/9).
Muhammad Abid Al-Akbar, selaku Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) mengatakan, ditetapkannya SK Rektor tentang biaya layanan penunjang akademik menjadi sesuatu yang baru bagi kampus. Sebelumnya tidak berbayar, sekarang meminjam fasilitas menjadi berbayar.
Namun, yang disayangkan adalah keterlibatan mahasiswa yang tidak diikutsertakan dalam pembahasan biaya layanan tersebut. Tentunya hal tersebut dapat merugikan mahasiswa terutama saat ingin mengadakan acara. “Sangat disayangkan mahasiswa tidak diajak berdiskusi oleh pihak kampus terkait kebijakan ini,” kata Abid, Selasa (19/9).
Lanjut, Abid juga mengungkapkan ketidaksetujuan dirinya terhadap SK tersebut. Meskipun ia sadar bahwa, wajar jika kampus memiliki aset-aset yang dapat menghasilkan uang. “Mungkin kita bisa saja setuju, asal ada diskusi dua arah, antara kita (mahasiswa) dan pihak rektorat,” ungkap Abid, Selasa (19/9).
Selain Abid, perwakilan Dema Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Sabilul Aslam mengaku sangat keberatan dengan adanya biaya layanan penunjang akademik. Ia mengatakan, mahasiswa sudah membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk membantu biaya operasional dan lainnya. Namun, dengan adanya biaya penunjang lainnya tentunya memberatkan mahasiswa khususnya Ormawa.
“Oke, tidak apa-apa jika kampus ingin menjadi PTN-BH, tapi lihat dulu, sampai mana UIN Jakarta mampu mengelola kampusnya sendiri, sedangkan dari fasilitas yang ada belum layak,” ujarnya, Senin (18/9).
Rizky Arfian, perwakilan Dema Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKom) mengatakan, belum waktunya pihak kampus merealisasikan biaya tersebut. Sebab masih banyak kekurangan di dalam layanan yang ada. Ia juga menjelaskan, jika SK Rektor tersebut diberlakukan, bukanlah solusi terbaik dan tentunya memberatkan setiap mahasiswa maupun Ormawa yang akan mengadakan acara. “Tentunya itu memberatkan mahasiswa. Mereka harus mengeluarkan biaya untuk tempat yang di mana sebelumnya tidak dipungut biaya,” jelas Arfian, Selasa (19/9).
Daffa Rizqulloh Yorga, selaku Ketua Dema Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) mengungkapkan pendapatnya. Ia menyayangkan bahwa, fasilitas kampus yang seharusnya bisa digunakan oleh para elemen yang ada di internal UIN, harus melakukan pembayaran untuk menggunakannya. Ditambah, tidak adanya sosialisasi secara resmi dari pihak kampus ke mahasiswa terkait SK Rektor tersebut.
Lanjut, Daffa juga mengutarakan di mana setiap tahunnya dana UKT naik, tetapi justru dilakukan pembiayaan sewa saat melaksanakan acara. Ia juga menuturkan, seharusnya dana UKT harus dilakukan pengelolaannya secara maksimal. “Ada banyak cara untuk memaksimalkan pemasukan dana kampus tanpa harus membebankan biaya sewa kepada internal UIN, khususnya mahasiswa,” tutur Daffa, Rabu (20/9).
Mohammad Ali Irfan, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan mengatakan, SK Rektor tersebut berhubungan dengan UIN Jakarta yang akan menjadi PTN-BH. Ia sendiri mempertanyakan, apakah UIN Jakarta sudah siap menjadi PTN-BH? Apakah UIN sudah punya kapasitas untuk menjadi PTN-BH? Kalau memang belum, ucapnya, untuk apa dipaksakan.
Ali melanjutkan, dampak dari PTN-BH yang paling dirasakan yaitu naiknya biaya pendidikan—UKT. Tambahnya, persyaratan menjadi PTN-BH cukup banyak. Selain kapasitas dari segi akademik, adapun kapasitas dari segi finansial. “Kemampuan kita untuk membiayai diri sendiri harus diukur betul. Apa kita memang bisa membiayai diri sendiri?,” kata Ali, Senin (25/9).
Ali juga mengucapkan, banyak yang khawatir dengan ditetapkannya SK Rektor tersebut. Pasalnya, SK Rektor itu dapat membebani mahasiswa yang akan menggunakan fasilitas di kampus. Menurutnya, akan lebih baik jika SK ini didiskusikan secara publik di UIN Jakarta, bukan hanya sepihak. Jika memang SK Rektor itu disiapkan untuk menjadi PTN-BH, maka semua persiapan yang diperlukan harus dibicarakan secara terbuka. “Idealnya, sebelum dikeluarkannya SK, ada diskusi dengan banyak pihak. Sehingga sesuai yang diharapkan, serta tidak muncul penolakan-penolakan ke depannya,” ucap Ali, Senin (25/9).
Lanjut, Ali mengatakan, perlu adanya diskusi terkait poin pembayaran bagi mahasiswa bersponsor. Pihak rektorat dapat membuka ruang dan berdiskusi dengan mahasiswa. “Agar kebijakan yang dibuat tidak memberatkan, harus ada diskusi antara mahasiswa dan rektorat,” kata Ali, Senin (25/9).
Terakhir, Ali mengharapkan agar keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh rektor bisa dilakukan secara transparan. Tentunya dengan mengajak diskusi banyak pihak supaya kebijakan-kebijakan yang diambil berjalan maksimal dan tidak mengalami penolakan. “Jadi penting bagaimana proses itu dilakukan. Semakin transparan, maka semakin besar peluang untuk berhasil,” pungkasnya, Senin (25/9).
Reporter: Desy Rahayu
Editor: Muhammad Naufal Waliyyuddin