Kehadiran Klinik Pratama UIN Jakarta menjadi salah satu bentuk penyediaan fasilitas kesehatan di kampus. Akan tetapi, kurang meratanya sosialisasi membuat beberapa mahasiswa tidak mengetahui fasilitas kesehatan tersebut.
Klinik Pratama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta adalah salah satu fasilitas kesehatan yang resmi berdiri di bawah naungan Rumah Sakit (RS) Syarif Hidayatullah. Klinik tersebut bertempat di wilayah Kampus 3 UIN Jakarta, tepatnya di Jalan Asrama Putera, Pisangan, Ciputat Timur. Klinik ini diperuntukkan untuk civitas academica dan masyarakat sekitar.
Kepala Instalasi Klinik Pratama UIN Jakarta, Buyung Berli mengatakan, saat itu Rektor Dede Rosyada meresmikan Klinik Pratama UIN Jakarta pada tahun 2018. Klinik tersebut berdiri atas kesadaran dan kebutuhan civitas academica akan fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau. Di akhir masa jabatan Dede, klinik tersebut dialihkan menjadi klinik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agar civitas academica UIN Jakarta bisa berobat dengan mudah.
Berli melanjutkan, selain Klinik Pratama UIN Jakarta terdapat Klinik Layanan Home Care—layanan pertolongan pertama—di Kampus 1 UIN Jakarta. Lalu ada dua klinik lainnya, yaitu Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat (KPKM) Renijaya dan KPKM Buaran. “Dua klinik ini adalah klinik untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKes). Dua klinik ini digunakan untuk program magang, kedokteran atau kesehatan masyarakat,” jelasnya, Kamis (9/11).
Berli memaparkan, dalam masa operasinya, Klinik Pratama UIN Jakarta telah menangani lebih dari 500 pasien selama sebulan, kisaran 350 diantaranya adalah mahasiswa. Jumlah tersebut terhitung dari bulan September 2023 dengan jumlah rata-rata 30–40 pasien total per harinya. Peserta BPJS yang sudah terdaftar berjumlah 2.981 pasien, termasuk mahasiswa, pegawai UIN Jakarta, pegawai klinik, dan masyarakat sekitar. “Jumlah tersebut masih jauh dengan target pasien BPJS klinik yaitu 10.000 pasien,” ungkapnya.
Perihal pendanaan klinik, Berli menjelaskan bahwa Klinik Pratama UIN Jakarta mendapat anggaran dari RS Syarif Hidayatullah karena masih di bawah naungannya. Sebelum itu, klinik masih didanai oleh Dana Kesehatan Mahasiswa (DKM) dari pihak kampus. “Sebelum ada UKT, dulu mahasiswa masih membayar DKM tetapi pelayanan kesehatan gratis. Sedangkan saat ini, pihak kampus menyampaikan tidak ada lagi anggaran kesehatan mahasiswa dari UKT,” katanya, Senin (13/11).
Lanjut, Berli mengungkapkan, mahasiswa yang memiliki BPJS bisa berobat gratis. Jika tidak memiliki BPJS, bisa membayar dengan rata-rata harga 60 hingga 100 ribu sekali berobat. Sementara itu, ketentuan diskon mahasiswa hanya berlaku di RS Syarif Hidayatullah untuk pembayaran reguler tanpa BPJS, bukan di klinik. Pihak Klinik UIN Jakarta juga telah melakukan sosialisasi ke mahasiswa baru pada Pengenalan Budaya dan Akademik (PBAK) tahun 2022–2023. “Kita juga mengadakan penyuluhan ke mahasiswa, pegawai maupun masyarakat,” tuturnya.
Berli juga menilai sosialisasi klinik ini berhasil. Pada tahun 2023, prediksi jumlah pasien di Klinik Pratama UIN Jakarta sebanyak 2.000 pasien. “Alhamdulillah, per bulan November 2023 ini, sudah 2.981 pasien terdaftar. Ini membuktikan target sudah dicapai, berarti berhasil,” katanya, Senin (13/11).
Walau begitu, Berli mengungkapkan bahwa tidak ada anggaran yang diperoleh klinik untuk sosialisasi. Sedangkan, dibutuhkan anggaran yang besar untuk menarik peserta sosialisasi seperti pemeriksaan kesehatan serta banyak pihak yang meminta klinik untuk mengadakan sosialisasi. “Mudah-mudahan tahun 2024 kami mendapat anggaran untuk sosialisasi,” harapnya.
Berli menyarankan adanya Klinik Layanan Home Care di tiap wilayah kampus. Berli juga berharap Klinik Pratama UIN Jakarta selalu menjadi tempat tujuan para mahasiswa berobat, agar fasilitas kesehatan ini bisa digunakan oleh civitas academica. “Senang banget kalau mahasiswa berobat ke sini. Fasilitas klinik memang dari UIN dan untuk UIN juga,” ujarnya.
Salah satu Mahasiswa UIN Jakarta, Tiya mengetahui klinik tersebut dari dosen. Ia juga membagikan pengalamannya saat berobat di sana. Dulu, ia pernah terkena tomcat—serangga, tetapi didiagnosis oleh klinik herpes zoster—cacar api. Akhirnya dirinya dirujuk ke RS UIN, ternyata saat dicek hanya serangga. “Saya berharap agar pengalaman saya bisa dijadikan evaluasi pelayanan bagi pihak klinik,” katanya, Kamis (9/11).
Beda halnya dengan Berli dan Tiya, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Komunikasi dan Penyiaran Islam, Akhmad Uli mengaku tidak ingat adanya sosialisasi dari pihak klinik, tetapi ia mengetahui keberadaan klinik tersebut karena pernah melihatnya. “Mungkin, kalo saya sakit, bisa aja lari ke sana,” ucapnya, Jumat (10/11).
Selaras dengan Uli, Mahasiswa Prodi Manajemen Dakwah, Nai Gina Sonia, ia mengaku hanya mengetahui klinik yang ada di Kampus 1. Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak tahu ada sosialisasi dari Klinik Pratama UIN Jakarta. “Sebelumnya saya enggak tau kalau ada klinik di UIN,” ungkapnya, (10/11).
Reporter: IB
Editor: Muhammad Naufal Waliyyuddin