Anak mudah mendapatkan informasi dengan cepat melalui gadget. Namun, gadget dapat mempengaruhi perkembangan anak seperti sulit bersosialisasi hingga agresif.
Generasi alpha merupakan anak yang lahir pada rentang tahun 2013—2025. Generasi alpha kerap disebut generasi digital karena mereka yang lahir pada kisaran waktu tersebut sudah berdampingan dengan teknologi digital. Menurut Jurnal Literasiologi Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’arif Jambi, pemakaian gadget dapat membuat anak ketergantungan, sulit berkonsentrasi, enggan bersosialisasi hingga malas beraktivitas.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra menjelaskan, gadget bermanfaat bagi anak untuk mendapat informasi dengan cepat. Akan tetapi, apabila terlalu sering bermain gadget, anak akan mengalami kesepian seperti tidak mau bercerita ataupun bersosialisasi. “Pengasuhan anak tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada gadget, tetap harus ada pengawasan dari orang terdekatnya,” terangnya, Senin (8/1).
Jasra kembali mengungkapkan, belum ada penelitian mengenai perbedaan anak yang menggunakan gadget dan bukan pengguna gadget. Menurutnya, anak akan memiliki keteraturan dalam mengakses gadget apabila memiliki aturan yang konsisten dan diawasi oleh orang tua. “Kami tidak merekomendasikan anak di bawah tiga belas tahun untuk mengakses gadget. Apabila ingin diberikan gadget, harus dengan pengawasan dan jangka waktu tertentu,” ungkapnya.
Salah satu orang tua, Nurita mengatakan, anaknya berusia sepuluh tahun diberikan gadget semenjak masuk Sekolah Dasar (SD) karena tuntutan belajar. Jika bertemu teman, anaknya dilarang untuk menggunakan gadget. “Kita memantau apa yang si anak lakukan di gadget tersebut seperti melihat apa yang sedang anak saya tonton,” ungkapnya, Minggu (7/1).
Nurita kembali mengatakan, anaknya tidak terpengaruh informasi yang tersedia melalui media. Anaknya hanya mengikuti perkembangan trend di media sosial. “Saya pasti menemani anak ketika dia mau melihat klakson basuri—model klakson yang mengeluarkan sejumlah nada,” pungkasnya.
Orang tua lain, Ajeng Pufelawaty menuturkan, ia tidak memberikan gadget pada anaknya yang berusia dua tahun. Alasannya agar anak tidak kecanduan dan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitar, seperti memakan es krim atau sekedar bernyanyi bersama. “Kalau si anak sedang ingin main gadget biasa kita alihin dengan mengajaknya bermain bareng temannya, dan anak tidak menolak,” ungkapnya, Selasa (9/1).
Pakar Psikologi Anak Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rachmat Mulyono menjelaskan, anak mudah meniru hal yang dilihat di media sosial. Selain itu, anak menjadi malas untuk bermain di luar rumah dan cenderung agresif—bernafsu menyerang—ketika terlalu sering bermain gadget. “Jika anak sudah dikenalkan gadget sejak usia dua tahun, dapat menghambat perkembangan bahasanya,” ujarnya, Jumat (29/12).
Rachmat kembali memaparkan, anak berusia nol hingga dua tahun sebaiknya distimulasi dengan hal-hal yang sifatnya sensor motorik—pergerakan tubuh manusia, penglihatan, daya tangkap, indera perasa, sentuhan. Ia menambahkan, anak yang berusia tiga hingga lima tahun boleh dikenalkan gadget dengan batas maksimum penggunaan gadget satu jam dalam sehari. “Gadget akan bermanfaat jika sesuai dengan waktu yang digunakan sesuai dengan tahap pengembangan anak,” jelasnya.
Reporter: HUC
Editor: Shaumi Diah Chairani