Oleh: Rizka Id’ha Nuraini*
Seksisme menjadi fenomena yang mengakar dalam masyarakat, menciptakan batasan yang membedakan peran, hak, dan peluang antara masing-masing jenis kelamin. Di Indonesia, seksisme masih menciptakan sistem yang tidak adil dan kerap membatasi perempuan dalam berbagai aspek. Akibatnya, perempuan masih terpinggirkan dari berbagai kesempatan yang mereka butuhkan untuk berdaya.
Berdasarkan buku Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan? karya Andiri Rizki Utami, seksisme merupakan sebuah prasangka, sikap dan perilaku yang diskriminatif berdasarkan jenis kelamin atau gender tertentu. Perilaku diskriminatif ini kerap ditujukan untuk perempuan. Biasanya, pelaku menyadari atau bahkan tidak sadar dengan ucapan atau perilaku yang menjurus pada seksisme.
Belum lama ini, Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Banten, Dimyati Natakusumah menuai banyak kritik karena dianggap merendahkan perempuan dalam Debat Pilkada 2024. Melansir dari detik.com, Dimyati menjawab pertanyaan mengenai angka kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Banten.
Dengan percaya diri, Dimyati menyarankan agar wanita tidak terlalu diberikan beban yang berat. “Apalagi jadi gubernur itu berat, lho. Luar biasa. Maka sebab itu laki-lakilah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.”
Lalu, Dimyati juga menambahkan pernyataan yang memandang sebelah mata kaum perempuan. “Kalau tidak memuliakan wanita, wanita disuruh bekerja terlalu berat, keras, menjadi seorang pemimpin, maka kasihan wanita tersebut.” Pernyataan tersebut menuai kontroversi di masyarakat, seolah-olah ia ingin menyindir lawannya, Airin Rachmy Diany sebagai Calon Gubernur (Cagub) Banten.
Sudut pandang Dimyati secara tidak langsung memperkuat stereotip perempuan kurang mampu untuk posisi dengan tanggung jawab tinggi di pemerintahan. Stereotip ini tidak hanya menghambat kemajuan karir perempuan, tetapi juga menghalangi keterwakilan perempuan yang lebih seimbang di dalam pemerintahan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pemerintahan, khususnya parlemen di Indonesia hanya mencapai 22,14 persen. Angka ini sangat mencerminkan ketimpangan dalam representasi gender di arena politik. Ketidakseimbangan ini merupakan cerminan dari pandangan sosial bahwa perempuan tidak mampu memegang posisi strategis dalam pemerintahan. Selain itu, perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam kebijakan publik.
Di sisi lain, jajaran pimpinan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang menaungi bidang Agama, Sosial, Perempuan, dan Anak justru tidak berisikan perempuan satu pun. Ironisnya, meski salah satu fokus utamanya isu-isu terkait perempuan, dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan justru menghilangkan suara dan perspektif perempuan yang sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Sebanding dengan kenyataan tersebut, berdasarkan data BPS, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) pada tahun 2023 mengalami penurunan sampai berada di angka 0.447. Angka tersebut menyusut jika dibandingkan angka 0.499 di tahun 2018.
Padahal, Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa pendirian dan pembentukan Partai Politik harus menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Namun, tidak semua partai politik telah memenuhi jumlah minimal 30 persen perempuan untuk setiap daerah pemilihan.
Menurut penulis, untuk mengatasi seksisme yang mengakar, dibutuhkan perubahan mendasar dalam pola pikir masyarakat. Walaupun saat ini sudah banyak gerakan perempuan yang aktif menyuarakan hak-hak perempuan, penyelesaian masalah tersebut masih menjadi harapan.
Seksisme di Indonesia memang masih menjadi tantangan besar dalam mencapai kesetaraan gender. Ketidaktahuan masyarakat terhadap seksisme menjadi salah satu faktornya. Edukasi gender dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Masyarakat akan memahami bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan potensi sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan kepemimpinan.
Tindakan seksisme juga kerap dibungkus dengan candaan yang dilontarkan pelaku. Tanpa disadari, tindakan tersebut dapat merendahkan gender tertentu. Untuk itu, masyarakat sangat perlu berpartisipasi aktif dalam diskusi kesetaraan gender. Pengenalan isu kesetaraan gender sudah mulai banyak dilakukan di media sosial yang dapat mengubah stigma negatif terhadap gender.
Selain itu, penting bagi pemerintah dan lembaga politik untuk menerapkan dan menegakkan aturan yang mewajibkan keterwakilan perempuan, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2008. Upaya ini harus dilakukan secara konsisten agar perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dalam pengambilan keputusan pemerintahan.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.