
Mahasiswa FU mengeluhkan atas ketiadaan proyektor di salah satu ruang kelas. Kondisi tersebut membuat proses penyampaian materi kurang efektif. Pihak fakultas menyebut keterbatasan anggaran menjadi kendala utama perbaikan.
Sejak awal semester ganjil 2025, sejumlah mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengeluhkan terkait ketiadaan proyektor pada salah satu kelas, yaitu ruangan 714. Meski dosen dan mahasiswa telah memberikan laporan, hingga kini pihak fakultas belum memenuhinya.
Mahasiswa semester lima Program Studi (Prodi) Aqidah dan Filsafat Islam (AFI), Hasbi—bukan nama sebenarnya, mengatakan bahwa ruang kelas yang ia gunakan tidak memiliki proyektor sejak awal semester. “Kurang efektif banget, mahasiswa kesulitan dalam proses pembelajaran. Dosen pun kadang menyampaikan materi menggunakan PPT, jadi memperlambat karena tidak ada proyektor,” ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp pada Jumat (17/10).
Hasbi menuturkan, dosen dan mahasiswa sudah beberapa kali melaporkan masalah ini kepada pihak fakultas. Namun, hingga enam kali perkuliahan belum ada tindak lanjutnya. Ia juga mengeluh lantaran harus berpindah ke ruangan lain selama dua kali pertemuan lantaran ketiadaan proyektor tersebut. “Sampai sekarang belum ada tanggapan. Dosen juga sudah muak, jadi kami semua pasrah saja kelas tanpa proyektor,” katanya.
Hal serupa turut menimpa Yuli—bukan nama sebenarnya, mahasiswa semester lima Prodi Ilmu Tasawuf (IT) saat menggunakan kelas yang sama. Ia mengaku mengalami kesulitan belajar lantaran ruang kelas yang digunakan tidak memiliki proyektor. “Jujur kurang efektif banget. Saya jadi kurang fokus dan tidak jelas dengan apa yang disampaikan dosen saat presentasi,” keluh Yuli melalui WhatsApp, Sabtu (18/10).
Menurut Yuli, ketiadaan proyektor berdampak terhadap proses penangkapan pelajaran. Ia berpendapat, dengan adanya proyektor, mahasiswa akan lebih fokus dengan materi yang disampaikan dan kelas menjadi lebih hidup dengan diskusi. “Dengan ketiadaan proyektor, mahasiswa jadi sering mengulang pertanyaan karena tidak paham dengan penjelasan yang hanya disampaikan secara lisan,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Dekan (Wadek) II Bidang Administrasi Umum FU, Lilik Ummi Kaltsum menjelaskan bahwa kendala utama terletak pada keterbatasan anggaran belanja modal. Ia menjelaskan, anggaran belanja modal FU hanya dibatasi sepuluh persen dari total Rencana Penggunaan Anggaran (RPA). Ia juga mengungkapkan bahwa RPA terkecil UIN Jakarta berada di FU.
Meskipun beberapa fakultas juga ditetapkan RPA yang kecil, namun fakultas tersebut hanya memiliki satu prodi seperti Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) dan Fakultas Psikologi. Menurutnya, hal itu tidak sebanding dengan FU yang memiliki delapan prodi. “Dana itu harus dibagi ke delapan prodi, sementara sekitar lima puluh persen fasilitas seperti proyektor dan AC sudah rusak,” ujar Lilik dalam audio WhatsApp, Jumat (17/10).
Lilik menambahkan, tahun ini FU mengalami dua kali efisiensi anggaran, sehingga dana yang tersisa hanya sekitar Rp900 juta. “Dengan dana segitu, kami hanya bisa membiayai kebutuhan operasional dasar, belum bisa mengganti semua alat yang rusak,” katanya.
Namun, ia memastikan bahwa pihak rektorat akan memberikan sepuluh unit Smart TV dan dua Smartboard untuk FU. Katanya, FU telah membeli delapan unit Liquid Crystal Display (LCD) namun belum mencukupi kebutuhan pembelajaran di FU. Lantaran dananya tidak mencukupi, maka pihak rektorat ikut membantu. Nantinya, Smart TV tersebut akan menggantikan LCD yang rusak di ruang-ruang kelas. “Surat pengajuan barangnya baru terealisasikan hari ini (Jumat, 17/10) dan sedang diproses,” jelas Lilik.
Lilik juga memaparkan, FU memiliki tautan pengaduan kondisi sarana dan prasarana yang dapat dilihat telah direspon atau belum. “Kami sangat memahami keluhan mahasiswa dan dosen. Tapi memang kemarin tidak ada uangnya, jadi kami mohon pengertian,” tambahnya.
Kata Lilik, FU juga telah mengeluarkan surat resmi permohonan maaf kepada mahasiswa dan dosen atas keterbatasan fasilitas tersebut.
Reporter: Naila Asyifa
Editor: Anggita Rahma Dinasih
