Kalian anjing-anjingku, serigala-serigalaku. Mendekatlah.
Lagi. Ya lagi dan lagi.
Kedua lelaki itu mendekat kepadaku, dengan tubuh berpeluh keringat, begitu erotis dan sangat menggairahkan. Dalam ruang teater ini aku kamu, dan kau melebur dalam “panas” dan kesakitan yang begitu nikmat.
Inne masih terus berfantasi tentang kedua lelaki yang mulai melucuti bajunya satu per satu. Kami yang melihat fantasinya pun ikut-ikutan panas, gerah, dan berkeringat. Namun Inne terus mengerang, lagi, dan lagi.
Salihara, Kamis, (13/6) mendadak memanas. Lalu bulir-bulir keringat itu mulai menjalari tubuh-tubuh kami. Sebuah fatamorgana membayangi Inne dan kedua lelaki yang masih saling menindih satu sama lain, kepala dengan kaki, bahu dengan kaki, tangan dengan tangan, dan tangan dengan tubuh.
Teater sirkus “Warm” merepresentasikan segala aspek fantasi seorang perempuan yang selama ini kurang terjamah lantaran sisi tabu yang masih terus ditanam oleh masyarakat Indonesia.
“Aku cukup kesulitan untuk menghafal kalimat-kalimat sebanyak tujuh belas halaman itu, dan sempat gila karenanya,” ungkap Inne yang mengaku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih bersama kedua lelaki pemain teater sirkus tersebut.
Sedangkan kedua lelaki sirkus mengaku tidak terlalu memiliki kesulitan yang berarti ketika harus pentas di Indonesia dengan suhu udara yang panas dan tidak sebaanding dengan Eropa, ya, karena ternyata mereka berasal dari Columbia.
Lalu untuk masalah kolaborasi tubuh satu sama lain pun mereka sudah melakukan latihan yang sama berpuluh bahkan mungkin beribu kali. Mereka adalah partner kerja selama belasan tahun.
Pada awalnya, naskah “Warm” dipentaskan di berbagai negara Eropa dan terakhir kali di Prancis baru kemudian Indonesia menjadi kunjungan selanjutnya. David, sang sutradara mengaku senang bekerja sama dengan orang Indonesia, khususnya Inne dalam pementasan ini.
Karena menurutnya Inne memiliki sisi magis dan mampu memerankan sang perempuan dengan dialog yang berhasil dibawakannya dengan tidak vulgar. “Saya mau sisi panas dan erotisnya bukan datang dari dialog yang Inne sampaikan tapi dari imajinasi para penonton yang melihat efek visual panas dari lampu,” tuturnya dengan bahasa Prancis yang sudah diterjemahkan.
Salah seorang penonton menyeletuk pada David apakah ia memperhatikan sisi kesehatan para pemainnya ketika tersengat lampu yang begitu panas. David hanya berkelakar, “Saya pernah menanyakannya pada dokter, namun jika semua dikembalikan pada kata bahaya sudah pasti tidak ada teater sirkus.”
Namun dari pertunjukan yang hampir berjalan selama dua jam ini, Bambang Priyanto salah seorang penonton menuturkan kekecewaan. Menurutnya Inne dan kedua lelaki akrobatik tidak bersinergi, seolah-olah seperti berjalan sendiri-sendiri antara dialog dan gerakan lelaki, “Saya lebih suka ketika Inne berjalan dan mendekati kedua lelaki, seperti lebih hidup dan menyatu,” kritiknya. (Tya)
Average Rating