Saat Pers Menafikan Keberagaman

Read Time:2 Minute, 34 Second

Judul        : Jurnalisme Keberagaman, Sebuah Panduan Peliputan
Penulis     : Ade Armando, Ahmad Junaidi, Budhi Kurniawan, Daniel Awigra, Dewi Candraningrum, Evi    Rahmawati, Luthfi Assyaukanie, Muhammad Hafiz, Tantowi Anwari, Usmn Hamid, dan Usman Kansong
Penerbit    : SEJUK Press
Tahun tertib : 2013
Tebal Buku  : 272 halaman
ISBN        : 978-602-98548-1-7

    Dewasa ini, kehidupan antar umat beragama ditingkahi dengan mengerasnya sikap konservatisme dan intoleransi. Tak jarang isu keberagamaan tersebut menjadi sumbu pendek yang gampang tersulut dan berujung pada aksi-aksi kekerasan. Penyebabnya, tak lain karena makin tergerusnya pendidikan, budaya, serta hilangnya rasa saling menghargai dan menghormati keberagaman di antara pemeluk agama.

    Hal itu diperparah dengan adanya regulasi-regulasi diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah. Media yang merupakan pilar demokrasi keempat pun, tidak tampil kritis dan apalagi menjadi juru damai. Malah, media cenderung memprovokasi dan menghakimi dengan pemberitaan yang menyudutkan kelompok-kelompok minoritas.

    Itulah sebabnnya, sebelas aktivis yang terdiri dari wartawan, penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat, pakar komunikasi dan pengamat media, menerbitkan buku Jurnalisme Keberagamaan: Sebuah Panduan Peliputan.

    Buku ini mengulas ragam pemberitaan pers yang tidak  cover both side, netral, dan objektif yang akhirnya menimbulkan konflik dan peperangaan.  Contohnya pemberitaan tentang buku Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdi yang memantik kerusuhan dan kekerasan umat Islam.

    Tak hanya itu, belasan gedung termasuk keduataan besar dirusak dan dibakar, sejumlah penerbit dan toko buku diserang. Ratusan nyawa melayang. Begitu juga dengan pemberitaan Ahmadiyah, Syi’ah dan Salamullah.

    Lewat buku ini, para penulis mencoba membeberkan `dosa-dosa’ pers seperti dengan gampang memvonis sesat pandangan-pandangan tertentu, melabel seseorang menyimpang, dan amoral. Hal itulah yang kemudian memicu konflik horizontal berlatar belakang agama di masyarakat.

    Celakanya, negara membiarkan kasus-kasus seperti itu dan selalu absen pada banyak konflik yang terjadi di masyarakat. Negara terbukti gagal menjinakkan kelompok-kelompok anarkistis. Kelompok minoritas, jemaat GKI Yasmin atau Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, misalnya, semakin terpojok dan ditempatkan pada pihak yang salah.

    Lebih ironis lagi, tidak sedikit aparat negara justru akrab menjalin kontak dan kerja sama dengan kelompok-kelompok intoleran. Negara, begitu para penulis buku tersebut bersuara, gagal melindungi kelompok minoritas yang ditindas kelompok mainstream. Dalam persoalan seperti ini, pers seharusnya mampu menjadi jembatan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan membawa prinsip jurnalisme damai, bukan jurnaisme perang.
   
    Buku ini tidak muncul dalam tujuan untuk menggurui atau bahkan menghakimi para jurnalis. Buku dengan tebal 272 halaman ini diniatkan sebagai ajakan untuk mendalami materi-materi terkait persoalan HAM, kebebasan beragama serta isu-isu minoritas seksual. Sehingga kehadirannya diharapkan bisa sama-sama membuat pembaca merefleksikan kembali cara pandang terhadap setiap persoalan menyangkut isu-isu tersebut.

    Meskipun isinya berupa bunga rampai (terdiri dari beberapa tulisan), gagasan yang tertuang dalam buku ini tidak lepas-lepas begitu saja. Karya tulis satu dengan yang lain saling melengkapi. Bahkan ada tulisan yang disusun layaknya sebuah reportase jurnalistik. Buku ini juga dilengkapi dengan panduan peliputan terkait isu-isu keberagaman. (Nur Azizah)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Kiprah Perempuan dalam Media
Next post Mitos Si Perawan Tua