Pertunjukan “HAH”, Refleksi Sosial Putu Wijaya

Read Time:3 Minute, 3 Second
Para pemain Teater Mandiri dalam pementasan HAH, di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Sabtu (14/12). Fakta sosial yang seringkali diabaikan.


Wanita itu tengah menyisir rambut panjangnya ketika anak perempuannya menghampiri seorang hansip, mengajak berbuat mesum. Wanita itu terdiam, terus menyisir rambutnya, menjadi pendengar atas kata-kata manis dan rayuan hansip terhadap anak perempuannya itu.

Wanita itu bernama Warni. Warni adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki keluarga tidak harmonis. Suaminya, Pian kabur dan menjadi pengedar narkoba. Anak-anak tirinya sering keluar malam dan menjadi wanita tuna susila. Warni sendirian mengasuh anak kandungnya yang masih bayi. Ia hanya dapat pasrah menghadapi kehidupannya yang berantakan.

Warni membiarkan anak tirinya bekerja sebagai tuna susila karena faktor lingkungan dan ekonomi. Ia tinggal dalam lingkungan berpendidikan rendah sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi  nakal.

Konflik batin yang dialami Warni ditambah dengan gunjingan tetangga yang kian hari kian menghantuinya. Para tetangga yang sok bermoral menghina dan menekan Warni agar pindah dari kampung itu karena pekerjaan anaknya. Wati menolak. “Kalo gue nggak ngebiarin mereka kerja, gue nggak bisa makan!” teriak Warni sambil menggendong bayinya.

Para tetangga geram dan terus menerus memojokkan Warni. Merasa sendirian karena ditinggal suami dan harus mengurus tiga anak tiri, Warni putus asa, ia berniat bunuh diri. Ia naik ke atas meja dan mengalungkan tali di lehernya.

Ketika Warni akan mengikat tali di lehernya, tiba-tiba tukang kredit yang biasa menagih hutang pada Warni, si Pincang, beranjak masuk ke dalam rumah. Ia mengabarkan kalau suaminya, mendapat lotere satu milyar. Warni kaget mendengar kabar tersebut. ia pun urung bunuh diri.

Kabar mengenai lotere yang didapat Pian menyebar di seluruh kampung. Sikap para tetangga terlihat mulai berubah. Mereka kini sering memuji Warni dan menyapa ibu mertuanya dengan sapaan bunda putri, padahal awalnya mereka biasa memanggil dengan sebutan nenek tua. Ibu Pian yang sudah tuapun  mulai mencari-cari anak lelakinya karena mendengar lotere satu milyar yang didapat anaknya.

Keesokan harinya, tim sukses dari partai daerah meminta Warni agar naik menjadi lurah di kampung itu. Mereka menjanjikan proyek senilai Rp60 milyar kepada Warni jika menjadi lurah. Warni menolak rayuan tersebut setelah mendiskusikan dengan anak-anaknya. Selain itu karena Warni mengetahui ada politik uang dalam proyek itu.

Setelah begitu banyak kejadian pahit yang dialaminya, Warni memutuskan pindah dari rumah kumuhnya. Ia ingin mengubah nasib dan meninggalkan kenangan buruk keluarganya. Ia juga tidak lagi menyuruh anak tirinya bekerja sebagai wanita Pekerja Seks Komersial (PSK).

Ketika Warni dan keluarganya akan meninggalkan rumah, Pian tiba-tiba muncul dan meminta maaf atas semua yang sudah ia lakukan. Suaminya juga menyesal telah meninggalkan Warni dengan tiga anak tiri, seorang bayi hasil buah cintanya dengan Wati, dan ibu kandungnya. Ia juga membantah pernah memenangkan lotere.

Warni memaafkan Pian dan mereka berjanji akan meninggalkan kehidupannya yang lalu. Mereka akan membangun keluarga yang baik. Ketika dialog mereka belum usai, layar tiba-tiba tertutup. “Kami belum selesai! Jangan dulu kalian tutup layarnya!” ujar para pemain serempak.

Kisah kehidupan Warni yang belum selesai itu menjadi penutup dalam pementasan Teater Mandiri HAH di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Pementasan teater pada Sabtu, (14/12) ini disutradarai langsung oleh Putu Wijaya, seniman  dan sastrawan yang telah menghasilkan banyak karya seperti naskah drama, cerpen, dan novel.

Putu mengaku pementasan teater ini didasarkan pada pandangannya mengenai kehidupan sosial di Indonesia yang kini makin kompleks. Adanya narkoba, pencabulan, dan kekerasan yang ditampilkan dalam teater ini menjadi suatu gambaran kehidupan di Indonesia.

Selain itu, Putu menjelaskan mengapa layar tiba-tiba tertutup pada adegan terakhir. “Hal ini menandakan bahwa kita seringkali tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk berubah. Ini juga menghimbau penonton supaya sadar bahwa ada perubahan yang mereka (orang pinggiran) lakukan,”  jelasnya, Sabtu (14/12).

(Nur Hamidah)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post “Pulp Fiction” Tawarkan Sensasi Dunia Fantasi
Next post Simulasi Sidang PBB Cari Solusi LGBT