Read Time:2 Minute, 29 Second
Oleh: Jaffry Prabu Prakoso*
Mulai minggu ketiga di bulan Mei hingga 50 hari ke depan, Indonesia akan disuguhi hingar bingar pesta demokrasi. Dari situ, para calon presiden dan calon wakil presiden akan sering tampil di hadapan publik. Tujuan utamanya untuk mendapat suara dari seluruh rakyat Indonesia agar mereka terpilih sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Salah satu yang mereka lakukan ialah memberikan janji-janji jika terpilih sebagai presiden nanti. Saking semangatnya mencalonkan diri, politikus yang menganggap dirinya layak sebagai pemimpin ini sudah mempromosikan dirinya setahun sebelum pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dibuka.
Dengan percaya diri mereka bilang berasal dari calon presiden suatu partai dan mewakili masyarakat Indonesia. Bahkan, ada satu partai yang sudah menentukan ketua dan wakilnya di pemilihan presiden nanti. Partai tersebut sangat yakin akan memenuhi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dan mendapatkan perolehan suara yang banyak dari rakyat.
Dari semua ini sebenarnya ada yang salah. Tapi di mana salahnya? Masyarakat tidak menyadari, bahkan media massa nasional pun tak merasakan keganjilan itu. Saat penulis menyaksikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Senin (19/5) lalu, terpampang spanduk besar yang bertuliskan, “Selamat datang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.”
KPU menganggap politikus yang datang untuk mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden adalah para bakal calon. Undang-undang nomor 23 tahun 2003 pasal 6 sangat jelas membahas syarat-syarat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Akan tetapi syarat tersebut tidak akan dipaparkan pada tulisan ini karena akan habis pada penjelasan undang-undang tersebut.
Intinya adalah politikus yang mengaku sebagai calon presiden dan calon wakil presiden masih belum berhak menyandang kata ‘calon’. Mereka masih disebut ‘bakal calon.’ Setelah melengkapi persyaratan kepada KPU, mereka baru layak disebut sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Itu pun masih harus diverifikasi lagi oleh KPU.
Para politikus yang menganggap diri mereka calon ini bisa diibaratkan seperti sepasang kekasih yang mengatakan pada tetangganya sudah menikah. Mereka mengumbar status tersebut tapi belum menjalani syarat-syarat pernikahan. Kalau hal demikian terjadi, di saat sepasang ini tinggal dalam satu rumah berhari-hari bisa disebut kumpul kebo.
Lalu bagaimana dengan kasus politikus yang percaya diri tersebut? Kata apa yang cocok selain disebut sedang kumpul kebo? Apa bisa disebut juga telah melakukan perzinahan politik? Sayangnya dunia politik belum mengenal istilah seperti itu.
Sesungguhnya hal yang sangat disa-yangkan adalah media massa yang juga ikut-ikutan menganggap politikus ini sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Beberapa media nasional di Jakarta yang penulis amati, mungkin hanya kompas.commenulis politikus dengan kata ‘bakal calon’. Meski demikian, beberapa kali masih ditemukan pada media cyber tersebut mengatakan ‘calon’.
Media massa yang seharusnya memiliki fungsi mencerdaskan bangsa, malah menjerumuskan rakyat dengan penyebutan status yang mungkin sepele ini. Wartawan memang seharusnya lebih pintar dalam kasus seperti ini. Kalau saja pers yang di-sebut pilar keempat demokrasi memiliki pemahaman yang dangkal, betapa kasihannya negara ini memiliki tambahan masalah.
*Penulis adalah bagian dari Forum Alumni Jurnalistik UIN Jakarta
Average Rating