Sepenggal Cerita Mahasiswa Penghabisan

Read Time:4 Minute, 24 Second
Oleh: Martin*
Pagi baru beranjak dan embun baru saja menghilang. Itu terjadi di salah satu belahan bumi yang kemudian, entah kesepakatan siapa,  kita menyebutnya Ciputat. Seorang lelaki bertelanjang dada telah siap dengan persenjataannya, segelas kopi dan sebungkus rokok “basa-basi”. Tapi di pagi yang cerah itu, tidak nampak lelaki itu hanya sekadar mau menemani pagi. Di tangannya, tergenggam pena dan sebuah buku catatan harian yang tak boleh dibilang baru.
Tampak raut wajahnya menyimpan pikiran keras. Gejolak batin harus segera ditumpahkan pagi itu. Benar saja, dia lalu memulai sebuah kalimat pembuka: “Belakangan ini hari-hariku di kampus berjalan tak seriang dulu.”
Kemegahan dan kebesaran kampus UIN, yang dulu mampu memukauku, menggerakkan seulas senyum di bibir dan menggodaku dengan harapan-harapan indah masa depan. Kini rasanya bagiku, bayangan itu terlampau jauh. Bayangan-bayangan itu tetaplah bukan kenyataan dan tidak mampu memulihkan suasana kejiwaanku di sisa-sisa penghabisan masa perkuliahan.”
Apa yang tampak di depan mata hari ini adalah bagaimana secepat mungkin menyusul teman-temanku yang telah hilang entah kemana. Suatu harapan yang lebih realistis ketimbang godaan-godaan keindahan tiga tahun silam.” Lelaki itu terhenti sejenak. Ada yang terlupa, dia belum menyulut rokoknya. Pena digenggamannya terpaksa diistirahatkan. Lalu dia masuk ke dalam kamar mencari-cari korek api, lupa tempat menaruhnya semalam.
Tak lama dia keluar lagi. “Memang kondisi fisik lingkungan dan bangunan kampusku telah banyak berubah,” tulisnya setelah satu hisapan rokok dan satu seruputan kopi. “Beberapa gedung memang telah mendapat pembenahan secukupnya. Aku sendiri sudah terbiasa merasakan gedung yang berbeda-beda. Pernah kuliah di gedung psikologi, farmasi, dan terakhir gedung perpustakaan pasca sarjana sebelum akhirnya memakai gedung FISIP yang baru.”
Aku pun juga telah merasakan berbagai perubahan kebijakan kampus. Misalnya, soal kebijakan parkir yang mulai berbayar meski sempat beberapa kali memperoleh protes dari mahasiswa –(sekarang ganti lagi kebijakan baru; tiket berlaku sekali masuk meski juga tak mencegah adanya kehilangan), serta kebijakan-kebijakan kampus lainnya.”
Lelaki itu terhenti. Matanya memperhatikan kalimat demi kalimat yang baru saja meluncur bebas dari pikirannya. Matanya terhenti pada kalimat soal kebijakan parkir. Kini dia bimbang antara meneruskan atau me-ngubah kalimat bernuansa sindiran itu. Ah, desahnya, apa boleh buat. Aku menulis kenyataan apa adanya, tidak mengurangi atau melebih-lebihkan. Setelah merasa cukup, dia melanjutkan lagi,
Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku. Melainkan jadwal perkuliahan masih begitu padat. Kenyataan ini memaksaku menghabiskan hari-hari untuk bangun pagi, ke kampus, mengikuti perkuliahan dari pagi sampai sore, pulang ke kosan, mengerjakan tugas, main-main sebentar dan mengambil istirahat secukupnya untuk  menghemat energi demi kuliah di hari berikutnya.”
Kenyataan dalam penggalan-penggalan paragraf itu mungkin terasa lumrah. Tiga tahun lalu, waktu dia menyandang gelar mahasiswa baru. Ketika itu, orang-orang yang dia temui ialah teman-teman seangkatannya. Mereka memanggil namanya dengan lepas, dan tak terasa jarak kaku antara mereka. Tapi, suasana perasaan menjadi berbeda ketika itu terjadi saat ini.
Pada saat mana?”, tulisnya. “Kawan-kawanku bergiliran menghilang. Satu persatu sibuk dengan proposal dan skripsi. Sesaat tampak di kampus untuk sekadar bimbingan secukupnya, kemudian sidang. Lantas hilang lagi entah ke mana. Sampai tiba hari di mana aku harus mengucapkan selamat. Dengan senyuman, kesabaran, dan menikam gejolak perasaan: selamat kawanku, kau telah diwisuda. Sekarang  kau sarjana.”
Laki-laki itu memberi tekanan khusus pada kalimat terakhir. Dia tahu impiannya sekarang tertuju pada kata terakhir itu, dia harus cepat-cepat lulus. “Sementara aku terus bergelut dengan rutinitas kampus, aku harus berpapasan dan berinteraksi dengan mahasiswa baru. Setiap kali berpapasan, mereka memanggilku “bang” atau “abang”. Sebuah nama baru yang melekat padaku belakangan ini. Bagi mereka, mungkin itu sapaan terbaik pada senior dari seorang yang merasa dirinya junior. Tapi bagiku, itu terasa semakin menegaskan kenyataan aku sudah terlalu tua di kampus.”
Pikirannya kini terlempar pada tiga tahun lalu, masa awal perkuliahan. Seorang anak lelaki polos masuk kelas, datang tepat waktu meski tidak jarang datang terlambat. Dia mengambil tempat di bagian depan, kadang tengah atau belakang, tanpa peduli menjadi pusat perhatian atau tidak sama sekali. Lalu dia bertanya lepas dan penuh percaya diri, dan tak jarang mengundang tawa seisi kelas karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol. Berdebat dengan dosen demi menunjukkan eksistensi  meskipun “ngelantur”, jauh dari pokok pembahasan atau mengutip teori yang keliru. Laki-laki itu tak peduli. Bahkan baginya, pengalaman itu memiliki kesan dan keindahan tersendiri.
Itu terjadi kurang lebih tiga tahun lalu. Namun sekarang, di sisa penghabisan kuliah ini, di kelas yang tak lagi duduk berdampingan dengan teman-teman seangkatannya –melainkan dengan adik kelas, kejadian itu tak perlu terulang lagi, pikirnya. Cukuplah itu jadi masa lalu yang indah dan mengesankan.
Sekarang” tulisnya, “aku harus masuk kelas tepat waktu agar tak menjadi pusat perhatian karena datang terlambat. Aku harus memilih pertanyaan yang lebih terdengar berkualitas dan elegan, atau diam. Aku juga harus memilih tempat tertentu, agar tak terlalu menjadi pusat perhatian dosen. Tetapi sekali terlihat dosen atau ditunjuk untuk memberi argumen, tak ada tindakan yang lebih baik kecuali memberikan argumen terbaik dan penuh kehati-hatian. Karena itu, aku harus meluangkan waktu beberapa menit untuk membaca sebelum masuk kelas.”
Dua batang rokok telah habis. Secangkir kopi telah kehilangan aroma hangatnya dinikmati udara pagi yang dari tadi mengintipnya. Matahari kini beranjak makin tinggi dan menyengat kulit legam lelaki itu. Aku mengerti, ucapnya sunyi. Dia mengajakku untuk mengakhiri cerita yang mungkin menjadi panjang bila aku diamkan.
Ciputat, 17 April 2014

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Hukuman Kebiri untuk Predator Anak
Next post ‘One Health’ Atasi Masalah Kesehatan