Buka Sejak Dulu, UIN Tak Fasilitasi Mahasiswa Difabel

Read Time:3 Minute, 13 Second

Air mata keluar dari pria bertubuh gempal itu.  Ia diam. Mulutnya membisu. Tak kuasa untuk melanjutkan pembicaraannya. “Rekamannya tolong dimatiin dulu aja mas,” katanya terbata-bata. Tak lama, ia lantas melanjutkan ceritanya. Masih dengan keadaan yang sama. Namun kali ini ia lebih bisa mengontrol emosinya agar tak mengeluarkan air mata.

Pria itu Juanda Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu pendidikan (FITK), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Air mata Juanda tak terbendung ketika INSTITUT menanyakan perihal suka dukanya menjadi mahasiswa different abilities pe­ople (difabel) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. “Yah, mau gimana lagi mas, dijalani aja kalo udah kayak gini mah,” ujarnya, Minggu (5/7).

Sejak diterima menjadi mahasiswa UIN Jakarta pada 2011 silam, Juanda  harus menjalani hari-harinya dengan penuh perjuangan karena penglihatannya bermasalah. Lantaran hal itu, sejak duduk di semester satu, ia harus menggunakan alat perekam untuk memahami materi kuliah yang disampaikan dosen maupun temannya ketika presentasi di kelas.

Tak hanya itu, mahasiswa yang kini menginjak semester tujuh itu juga terpaksa menyewa jasa ketik untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Dalam sebulan, Juanda bisa mengeluarkan kocek setidaknya Rp100 ribu untuk membayar jasa ketik.

Kepada INSTITUT, anak kelima dari tujuh bersaudara ini sangat berharap, pihak kampus setidaknya menyediakan fasilitas yang bisa menunjang belajarnya di kelas. Juanda mengaku, tak adanya buku braille-lah yang selama ini membuatnya susah belajar di kelas. “Terus dari buku, ya Allah, kesuitan banget,” keluhnya.

Sesuai UUD 1945 Pasal 28 C ayat 1 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, setiap warga negara berhak memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Namun, UU tersebut tak sepenuhnya dilaksanakan UIN Jakarta.

Meski terhitung sudah lama menerima pendaftaran bagi mahasiswa difabel, UIN Jakarta hingga kini belum sama sekali menyediakan sarana dan prasarana bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. “Kita akui, memang kampus ini belum memfasilitasi mereka (mahasiswa difabel),” ujar Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar, Sabtu (30/6).

Amsal meyakini, tak adanya fasilitas di hampir semua gedung disebabkan kelalaian pihak kampus. “Mungkin lupa, waktu itu enggak ada yang mengingatkan untuk menyediakan fasilitas bagi difabel,” lanjutnya. Meski begitu, Amsal mengatakan pihaknya sudah berencana untuk menyediakan semua fasilitas bagi para mahasiswa difabel di gedung-gedung baru yang masuk dalam master plan UIN Jakarta.

Berbeda dengan Amsal, Warek I Bidang Akademik, Muhamad Matsna mengatakan, terkait fasilitas khususnya di bidang akademik, pihak kampus tak bisa sepenuhnya memfasilitasi. Hal itu, kata Matsna, selain UIN Jakarta belum banyak menerima mahasiswa difabel, juga karena faktor biaya. “Silahkan kuliah di sini, tapi dengan fasilitas seadanya,katanya, Selasa (1/7).

Berkaca dari UNJ

Sementara itu, sejak tahun 2010 lalu, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sudah serius menangani para mahasiswanya yang berkebutuhan khusus. Beberapa fasilitas pun sudah mulai diadakan. Mulai dari fasilitas penunjang akademik seperti buku-buku braille, maupun fasilitas di tempat-tempat umum seperti huruf-huruf braille di lift, toilet, dan lift berbunyi. Bahkan, UNJ sudah menyediakan ruangan khusus untuk mahasiswa difabel di Perpustakaan Utama.

Beberapa fasilitas yang disediakan UNJ, bermula dari tuntutan para mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Mahasiswa Peduli Disabilitas sejak tahun 2007. Meski jumlah mahasiswa penyandang difabel di UNJ masih kurang dari 50 mahasiswa –sama halnya dengan UIN Jakarta –namun, mahasiswa tetap menuntut penyediaan fasilitas agar segera diadakan. “Alhamdulillah, akhirnya kampus merespons,” ujar Ridwan, salah satu anggota komunitas itu, Rabu (2/7).

Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan UIN Jakarta, Rusydi Zakaria mengatakan, fasilitas untuk mahasiswa difabel semestinya perlu didorong pemerintah dengan lebih serius. Pemerintah, kata Rusydi, perlu menurunkan peraturan tegas agar kampus lebih serius memfasilitasi mahasiswa berkebutuhan khusus.

Rusydi menambahkan, soal minimnya jumlah mahasiswa difabel di UIN Jakarta kini, pihak kampus sebenarnya bisa mencontoh beberapa kampus di luar negeri. Pihak kampus, lanjut Rusydi, bisa memakai konsep sukarelawan, di mana mahasiswa yang menginjak semester akhir dan tidak memiliki waktu terlalu padat kuliah bisa membantu para mahasiswa difabel. “Jangan dibiarkan saja,” tegas Rusydi, Rabu (2/7).

Thohirin

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Ketika Pengamen Jalanan Berpuisi
Next post Pilpres, Mata Pencaharian Tambahan Bagi Mahasiswa