1001 Buku: Gapai Kesetaraan Bacaan Anak

Read Time:2 Minute, 55 Second
Kegiatan 1001 Buku. (Dok. Pribadi)

Khairu Jaliisin fi Zamani Kitabun. Sebaik-baiknya teman sepanjang masa adalah buku. Pepatah Arab itulah yang mungkin menggambarkan semangat sekelompok orang dengan visi dan misi yang sama ini: Komunitas 1001 Buku. Semangat kerelawanan yang kuat selalu membuat komunitas yang telah berdiri sejak tahun 2002 ini masih tetap eksis hingga menginjak usia ke-13.
Komunitas yang digagas oleh  Ida Sitompul, Santi Soekanto, dan Upik Djalins bermula saat mereka merasa khawatir dengan tingkat membaca anak yang rendah di wilayah ibu kota dan sedikitnya jumlah taman baca kala itu. Mereka kemudian membuat milis dan mengundang teman-temannya agar menyumbang buku bacaan untuk anak-anak. Tak berapa lama, undangan menyumbang buku direspons positif.
Dwi Andayani, ketua Komunitas 1001 Buku berujar, selang enam bulan menyebarkan informasi mengenai buku yang akan disumbang, mereka telah mampu mendistribusikan buku ke 30 taman baca di Jabodetabek, dengan jumlah 8000 buku per taman bacanya.
“Saat komunitas ini muncul di tahun 2002-an, anak-anak lebih suka menyisihkan uang jajannya untuk bayar play station di tempat penyewaan daripada membeli buku,” kenang wanita yang biasa disapa Dwi, Minggu (15/3).
Mulai saat itu, wanita kelahiran Jakarta ini bertekad, bagaimana caranya agar anak anak mengantre ke tempat buku, bukan ke tempat play station. “Saya tidak menghindari kemajuan teknologi, hanya berusaha menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan budaya baca anak,” tegasnya.
Wanita lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menambahkan, ia tidak setuju dengan adanya stigma bahwa anak-anak Indonesia malas membaca. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah sulitnya akses bahan bacaan. Selain itu, Dwi merasa kualitas buku bahasa Indonesia kurang baik. Sehingga buku-buku terjemahanlah yang lebih banyak dibeli.
Kini, ujar Dwi, demi meningkatkan kesetaraan kualitas bahan bacaan anak, Komunitas 1001 Buku sendiri menyortir buku sumbangan dari donatur untuk kemudian didistribusikan ke setiap taman baca. Proses Sorting, Packaging, dan Distributing yang disebut SPD itu dilakukan oleh pihak pengelola.
Dwi menambahkan, proses sorting menentukan buku apa saja yang dapat didistribusikan. “Tidak semua buku yang kita terima dari donatur dapat didistribusikan. Kita hanya mendistribusikan buku layak baca anak,”    ujarnya.
Tahun ini, tercatat sudah 70 taman bacaan di seluruh Indonesia yang menjadi titik distribusi buku. Dengan kemajuan yang cepat itu, mereka seolah mendapat angin segar. Apalagi, beberapa relawan mulai berdatangan dan menyumbang.
Namun, layaknya roda yang terus berputar, keadaan komunitas tidak selamanya berjalan mulus. Semenjak berdiri, kendala yang seringkali dihadapi ialah komitmen relawan. Status komunitas yang tidak mengikat, membuat banyak semangat relawan dan anggota naik turun.
“Tidak ada yang digaji dan menggaji. Oleh karena itu, tinggal bagaimana kita menjaga hubungan pada sesama anggota komunitas agar tetap konsisten,” terangnya. Biaya distribusi yang tidak sedikit, menjadi kendala selanjutnya yang sering kali terjadi.
Dwi menegaskan, kualitas bahan bacaan anak harus merata. Selama ini, anak-anak yang tinggal di daerah pesisir memiliki akses yang sulit dalam mendapatkan buku. Kesempatan untuk mendapatkan buku bacaan yang baik menjadi terhambat.
“Saya melihat anak-anak Indonesia masih memiliki masalah yang sama dari dulu, yaitu kesetaraan bahan bacaan yang berkualitas. Dengan  membaca buku, anak seorang nelayan dapat memiliki cita-cita menjadi dokter, pergi ke London, dan ke manapun,”  jelasnya.
Di tengah pendistribusian buku, komunitas ini tengah mempersiapkan Olimpiade Taman Baca Anak (OTBA) tahun 2015. Di mana setiap tahunnya digelar berbagai perlombaan seperti mengambar, peragaan busana dari barang bekas, dan lainnya.
Ketua panitia acara OTBA 2015, Luci Priandarini menyatakan, acara ini menjadi ajang kopi darat antara relawan dan pengelola, serta anak-anak taman baca. Bertemakan 1001 Warna Anak Nusantara, panitia mengajarkan toleransi dan keragaman pada anak anak dalam menghargai perbedaan.

Nur Hamidah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Untuk Pak Oman dan Pak Rektor
Next post Mengungkap Konspirasi Kokain