Tapak Tilas Perang Babad

Read Time:3 Minute, 14 Second


Asap putih tebal mengepul tinggi dari Gunung Merapi disertai alunan suara gamelan khas musik Jawa Tengah. Tiba-tiba, kain putih dengan panjang enam meter menutupi hampir seluruh panggung, diikuti suara gemuruh Gunung Merapi yang sedang mengeluarkan lahar. Entakkan tujuh pasang kaki menambah keriuhan suasana di atas panggung saat itu.
Seketika, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar uyon-uyon (tembang Jawa) yang diiringi alunan suara gamelan. Kain putih pun tak lagi menutupi panggung. Lampu yang sedari tadi menyorot ke arah panggung, mulai meredup.
Satu per satu lampu mulai menyala kembali. Tak lama, muncul laki-laki berkumis mengenakan baju adat khas Jawa Tengah, seorang Raja Mataram bernama Panembahan Senopati. Serta wanita yang mengenakan kebaya berwarna merah, berambut cepol, dan berwajah sedikit keriput. Dialah istri Senopati, Nyi Adisara.
Kala itu, Senopati menyampaikan keresahan hatinya kepada istrinya. Ia resah karena Mataram belum mampu menaklukkan wilayah Perdikan Mangir yang subur, makmur, dan gemah ripah loh jinawi. Rakyatnya juga sangat menjunjung tinggi sikap demokratis. Terbukti, mereka sangat menyukai kegiatan rembuk desa sebagai cerminan komunikasi antar Ki Ageng Mangir Wanabaya (pemimpin Perdikan Mangir) dengan rakyatnya.
Banyak faktor yang menyebabkan Senopati sulit menaklukkan Perdikan Mangir. Salah satunya, kekuatan Perdikan Mangir terletak di tangan Nyi Sepuh (ibunda Wanabaya), Baru Klinthing (paman Wanabaya), dan Inten Prawesti (adik angkat Wanabaya sekaligus panglima perang Mangir). Mereka adalah keluarga yang menguasai olah kanuragan dan sangat pandai bersiasat.
Di tengah perbincangan, Nyi Adisara yang sedang mengandung anak pertama, merasakan sakit di perutnya. Ia merasa, bayi dalam rahimnya ingin segera keluar. Tak lama, lahirlah putri pertama yang diberi nama Rara Pembayun. Keduanya berharap, Pembayun akan menjadi panutan putri Mataram yang tangguh dan cerdik.
Pembayun tumbuh menjadi putri yang cantik. Melihat kecantikan yang dimiliki putrinya, Senopati memerintahkan Nyi Adisara dan Pembayun menyamar sebagai ledek untuk memikat Wanabaya dan menaklukkan Perdikan Mangir. Tak lupa, rombongan ledek lebih dahulu mampir ke Sendang Kasihan milik Rara Kidul agar Wanabaya tertarik dengan paras Pembayun.
Selama menyamar menjadi ledek, Nyi Adisara dan Pembayun mengubah namanya agar penyamarannya berhasil. Nyi Adisara sebagai Nyi Pinjung, sedangkan Rara Pembayun sebagai Ni Mas Madusari.
Rombongan ledek berhasil menghibur warga Perdikan Mangir. Terlebih, Madusari sukses membuat Wanabaya jatuh hati padanya. Tak lama, Wanabaya melamar Madusari sebagai istrinya. Merasa tujuannya hampir berhasil, Pembayun memberikan syarat kepada Wanabaya jika serius ingin menikahinya.
“Jika kau serius ingin menikahiku, hanya satu pintaku. Setelah menikah dan memiliki momongan, berjanjilah untuk mengantar ke tanah kelahiranku,” pinta Madusari yang langsung disanggupi oleh Wanabaya. Wanabaya merasa permintaan Madusari sangat mudah dan dia berjanji tidak akan mengingkari perkataannya.
Pernikahan pun dilangsungkan. Berkat kesaktian Inten, penyamaran Pembayun terbongkar. Wanabaya yang mendapatkan informasi penyamaran tersebut, naik pitam dan langsung mengusir Pembayun dari Mangir. Namun Pembayun menolaknya, ia ingin menagih janji Wanabaya untuk mengantarnya pulang ke Mataram dan menghadap Panembahan Senopati.
Keduanya bertengkar hebat. Berkat Nyi Sepuh dan Baru Klinthing, tak terjadi baku hantam antar keduanya. Nyi Sepuh yang ahli dalam berstrategi, memutuskan agar Wanabaya menyamar sebagai Baru Klinthing, begitu pun sebaliknya.
Ketika rombongan Mangir sampai di Mataram, Senopati langsung membenturkan kepala Wanabaya ke singgasana. Tiba-tiba, Baru Klinthing yang menyamar sebagai Wanabaya berubah ke wujud asalnya. Terjadilah perlawanan antar keduanya yang dimenangkan oleh Senopati.
Senopati sadar, anaknya (Baru Klinthing) yang harus menuntaskan konflik tersebut karena penyatuan Mataram dan Mangir membutuhkan tumbal. Lantas, Pembayun yang memang mencintai Wanabaya dengan tulus, lebih memilih pergi bersama Wanabaya untuk memulai kehidupan baru.
Menghilangnya Wanabaya, menjadi penutup dalam pentas bertajuk “Pilihan Pembayun” yang dimainkan oleh Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Senin (20/4). Dalam pertunjukkan yang disutradarai oleh Yudiaryani itu, ia mencoba mengungkap kejadian Perang Babad yang sebenarnya menurut dokumen yang dipelajari sebelumnya.
Dalam kebanyakan buku sejarah, akhir dari Perang Babad adalah terbunuhnya Wanabaya oleh Panembahan Senopati. Hal itu bertolak belakang dengan kisah yang dipentaskan. “Perbedaan tersebut dikarenakan kisah Perang Babad ada di era kolonial Belanda yang ingin mengadu domba Perdikan Mangir dan Kerajaan Mataram saat itu,” ujar Yudiaryani, Senin (20/4).
Aci Sutanti

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Buah Manis ‘Atlet Tangan Kosong’
Next post Perlawanan Tjokroaminoto Hapus Penindasan