Aisyah Nursyamsi
Read Time:2 Minute, 51 Second
Perlahan-lahan tirai beludru bewarna merah tersingkap lalu menampakkan isi panggung yang kosong. Tidak ada siapapun kecuali sebuah pohon besar yang berdiri di tengah panggung. Tiba-tiba dari sudut kanan punggung, muncul tiga belas orang wanita yang menari mengenakan Baju Bodo, pakaian adat Sulawesi Selatan.
Dari sudut kiri panggung, datang seorang laki-laki dengan baju bewarna hitam berjalan ke tengah panggung sembari menyanyikan sinrilik, yang merupakan karya sastra asal Makassar berbentuk prosa. Tiga belas orang wanita tengah terus menari diiringi oleh sinlirik dan tetabuhan genderang, lalu sebelas orang di antaranya memisahkan diri keluar dari sisi kanan dan kiri panggung, sehingga menyisakan satu orang wanita yang terus menari.
Wanita itu terus menari sampai sinlirik selesai. Lampu panggung tiba-tiba padam, dan ketika menyala, panggung kembali kosong. Dari sudut kanan panggung terlihat sembilan orang anak kecil yang memakai baju Bodo bewarna merah dan hijau. Mereka berlarian ke kanan dan ke kiri sambil memutari panggung.
Di sela-sela keriuhan tawa anak-anak, datang lima orang wanita yang menyebar di tengah panggung dengan keranjang yang diletakkan di depan mereka. “Ayo, dibeli-dibeli!” Seru wanita-wanita itu secara bergantian di suasana pasar yang ramai.
Suasana pasar beralih sepi ketika muncul kedatangan dua orang saudara kembar, yang laki-laki bernama Sawerigading dan seorang perempuan bernama We Tanri Abeng. Mereka berjalan sambil berbicara selayaknya saudara, tapi tak lama kemudian Sawerigading menghentikan langkahnya.
“Sudah lama sekali aku menyimpan perasaan ini kepada Adik, Kakak menyayangi Adik seperti seorang laki-laki kepada kekasihnya,” Sawerigading mengungkapkan perasaannya.
“Tapi ini terlarang kakak, karena kita saudara, walau pun aku juga memiliki perasaan yang sama,” We Tanri Abeng pun berterus terang dengan perasaannya.
Kabar pun mulai tersebar jika kakak beradik itu sedang menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih. Kabar itu pun akhirnya diketahui oleh Sang Ibu, Patotoe. Patotoe merasa berang dan mencari cara untuk memisahkan Sawerigading dan We Tanri Abeng dengan mencarikan jodoh untuk keduanya. We Tanri Abeng dijodohkan dengan putra kepala kampung sedangkan Sawerigading dijodohkan dengan seorang putri dari Cina bernama Wei Cudai.
Sawerigading pun melakukan ritual tebang pohon keramat yang nantinya akan digunakan untuk membuat kapal Pinisi. Setelah selesai membuat kapal, dengan berat hati Sawerigading pun akhirnya memohon pamit kepada Ibu dan Adiknya, We Tanri Abeng, untuk menjemput calon istrinya di Cina.
Sesampainya di Cina, Sawerigading menemui Keluarga Wei dan menikahinya. Lima tahun berlalu, dan Sawerigading ingat akan janjinya kepada Sang Ayah, jika suatu saat nanti Dia akan kembali dan memimpin daerah kekuasaan Ayahnya. Sawerigading akhirnya meminta restu kepada ibunda Wei untuk pulang ke kampung halaman bersama istrinya.
Cerita diakhiri dengan Sawerigading yang meninggalkan pesan “Ada tiga dunia bagiku, boting langit, Dunia atas tempat bertahta sang pemberi nasib, alu limo, dunia tempat aku sedang berdiri, dan todang toja, dunia untuk masa depanku.”
Demikianlah penampilan drama tari oleh Madania Performing Arts Club (MPAC), yang bertajuk Welenrenggeng, Minggu (13/3). Penyusun naskah, Putut Budi Santoso mengungkapkan, jika acara yang diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta ini bertujuan untuk menanamkan kecintaan anak-anak sedari dini terhadap kebudayaan Indonesia.
“Selain, acara ini juga bertujuan untuk menjembatani komunikasi antara teman-teman dan keluarga karena semua pemain dari murid Madani dan para orangtua,” Tambahnya, Minggu (13/3).
Salah seorang penonton Drama Tari Welerengge, merasa jika para aktor telah memainkan perannya dengan bagus. “Selain itu pementasan ini merupakan kegiatan positif yang isinya mengajak generasai muda mencintai kebudayaan Indonesia dan mengasah keberanian mereka tampil di depan orang banyak,” ujar Gita Andini, Minggu (13/3).
Average Rating