Pesona Budaya Kampung Naga

Read Time:2 Minute, 36 Second

Deretan rumah beratapkan ilalang kering kontras terlihat di antara sawah dan pepohonan hijau. Perlu menuruni ratusan anak tangga untuk melihat lebih dekat pemandangan itu.
Kampung Naga, begitulah perkampungan yang luasnya tak lebih dari satu hektare ini disebut. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang berada di Desa Neglasari, Tasikmalaya. Sama seperti kampung adat lainnya, Kampung Naga pun mempertahankan adat istiadat serta kepercayaannya sendiri.
Kampung yang hanya dihuni oleh 91 kepala keluarga ini memang masih mempertahankan segala adat istiadatnya. Salah satunya adalah Hajat Sasih yang tiga kali setahun, yaitu saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Bulan Muharam, dan Bulan Syaban.
“Ritual ini dilaksanakan sebagai rasa syukur dan sudah turun menurun dari leluhur,” ujar Aan, Pemandu Adat Kampung Naga. Di samping rasa syukur, Hajat Sasih pun dipahami masyarakat Kampung Naga sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga. Maka dari itu, pada ritual Hajat Sasih disertai ziarah ke makam para leluhur yang ada di hutan adat.
Sembah Dalem Eyang Singaparna  merupakan perantara dari doa masyarakat Kampung Naga saat ritual. Sembah Dalem Eyang Singaparana nantinya akan menyampaikan permohonan warga Kampung Naga. Selain itu, dengan melaksanakan Hajat Sasih masyarakat Kampung Naga meyakini dan mengharapkan turunnya berkah, kesejahteraan, dan keamanan dari Tuhan.
Tak semua orang diperbolehkan melihat ritual Hajat Sasih, biasanya tamu dari luar Kampung Naga tak diperbolehkan melihat secara langsung. Hal ini karena Hajat Sasih dianggap sebagai ritual sakral yang hanya bisa diikuti warga Kampung Naga.
“Biasanya setelah selesai ritual adat, kami kemudian makan bersama,” kata Aan. Hajat Sasih memang bukan hanya sekadar ritual adat biasa. Setelah melakukan serangkaian ritual adat dan ziarah ke makam leluhur, seluruh warga Kampung Naga makan tumpeng bersama. Makanan disiapkan biasanya oleh wanita di Kampung Adat secara gotong royong.
Hiruk pikuk di dapur tak akan kalah sibuknya dengan suasana di hutan adat. Ibu-ibu dengan samping, kain khas masyarakat adat Kampung Naga bersama-sama memasak tumpeng dan lauk pauknya. Tak hanya itu, warga Kampung Naga yang sudah tak tinggal di dalam kampung pun berbondong-bondong datang untuk mengikuti ritual tahunan ini.
Keseharian hidup masyarakat Kampung Naga memang diatur oleh dua hal yaitu adat dan agama. Adat bagi masyarakat Kampung Naga merupakan kendali dan pengatur kehidupan di sana. Mengenai ketaatan mereka kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan, parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu udur ti agama jeung darigama”
Artinya adalah ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama dan darigama yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan permintaan cepat penuhi. Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi sesuatu yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama dan darigama atau aturan adat.
“Warga Kampung Naga percaya jika melanggar aturan agama dan adat maka akan ada petaka atau bencana di kampung ini,” tutur Aan. Salah satu peraturan adat yang tak boleh dilanggar adalah larangan tak boleh memasuki dan melakukan eksploitasi terhadap hutan larangan. Inilah yang membuat Kampung Naga tetap asri dan sejuk, karena ada satu hutan penyeimbang alam yang tak pernah diganggu.

Erika Hidayanti

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Berwisata Sejarah ke Bumi Bengkulu
Next post Minimnya Fasilitas Dosen Peneliti