Read Time:3 Minute, 51 Second
Oleh Fahmi Fauzi Abdillah*
Memoriku teringat kembali ketika kubuka album kenangan angkatan 2005 Pondok Peantren Darul Ulum yang telah lusuh tak berwarna lagi dan dipenuhi debu. Aku pun berusaha membersihkan debu itu sehingga aku bisa membuka tiap lembar dari album itu. Kerinduanku pada pesantren lahir kembali, ketika kubuka lembar pertama berisi pesan Pak Ali kepada angkatanku supaya selalu menjadi mutiara di manapun berada.
Mengingat sepuluh tahun lalu ketika di pondok, aku tergolong orang yang apatis. Aku benar-benar tak peduli dengan kegiatan keagamaan yang menjadi program utama di pondok. Selain itu, kegiatan non-akademik pun, seperti pramuka dan paskibra. Tak sedikit pun menarik perhatianku. Aku berproses menjadi seorang yang benar-benar tidak peduli pada semua kegiatan itu.
Pesantren dikenal sebagai tempat yang penuh dengan aturan. Para santri di daerahku memiliki nama khusus bagi sebuah pesantren yang banyak aturan, yaitu ‘penjara suci’. Disebut penjara suci lantaran keberadaannya dianggap berfungsi untuk memperbaiki anak-anak nakal menjadi baik dan dalam bahasa islamnya menjadi anak shaleh.
Di mana ada aturan maka di situ ada sanksi. Hal yang tak pernah bisa kulupakan selama di pesantren adalah aturan-aturan yang agak aneh, seperti larangan berbahasa Indonesia dan daerah. Adapun pihak yang terkait dengan aturan ini adalah Bagian Bahasa. Mereka adalah santri yang duduk di bangku kelas 2 SMA. Menurutku mereka adalah orang-orang yang paling menyebalkan selama aku menjadi santri. Sikap sok pintar yang ditunjukkan mereka, membuatku benar-benar kesal.
“Yaa akhii laa tatakallam billughatissundawiyyah au induunisiyyah! (Wahai saudaraku jangan berbicara dengan bahasa sunda atau indonesia!).” Itulah sepenggal kalimat yang biasa mereka gunakan ketika menghakimi para santri di mahkamah bahasa. Sebetulnya masalah yang utama itu bukan sikap mereka yang sok pintar. Tapi mereka tidak bisa memberikan contoh yang baik. Larangan berbahasa daerah nampaknya hanya berlaku bagi santri SMP dan kelas satu SMA saja. Sementara di kalangan mereka bahasa daerah menjadi hal lumrah dan tanpa rasa bersalah.
Suatu hari, aku dan Ardi memergoki kak Rusdi, Bagian Bahasa yang sedang berbahasa Sunda dengan kak Anto. “To arek futsal moal?,” kak Risdi berrtanya. “Hayu atuh,” kak Anto menjawab. Sekilas ia terkejut melihatku yang mengawasinya sejak tadi. Seketika ia mengganti percakapannya dengan bahasa Arab, basa-basi menyapaku. Aku pun hanya memandannginya dengan kekesalan.
Kekesalanku pada bagian Bahasa disebabkan pada malam sebelumnya aku sempat dihakimi oleh bagian Bahasa di Mahkamah Bahasa. Mereka memvonisku dengan dipukul tongkat estapet yang terbuat dari kayu jati sebanyak 15 kali, hanya karena aku berkata ‘kunaon’ (Kenapa dalam bahasa Sunda). Pasca kejadian itu aku tidak bisa berjalan dengan baik. Ke manapun aku pergi, kaki ini seolah tak mampu berjalan lagi. Orang lain melihatku tertatih-tatih ketika berjalan.
Kebencianku pada Bagian Bahasa berubah seketika. Saat itu, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Di luar dugaan, para asatidz memilihku menjadi Bagian Bahasa. Padahal aku adalah orang yang paling benci dengan bagian ini. Di minggu pertama sebagai Bagian Bahasa, aku masih belum bisa menerima kenyataan menjadi Bagian Bahasa. Hal yang lebih parah lagi, teman-teman Bagian Bahasa memilihku sebagai ketua. Ya Allah tugasku semakin berat.
Pada suatu sore aku merenung akan kenyataan yang menerpaku. Sungguh rasanya derita ini semakin berat ketika kita melakukan suatu hal yang tidak kita sukai. “Di kenapa melamun?” Ustadz Hasan menanyaiku. “Gak tadz, gak ada apa-apa.” Aku menjawab dengan tatapan mata kosong seolah aku menyembunyikan suatu masalah yang berat untuk dipikul seorang anak berusia 17 tahun sepertiku
“Ardi, ayolah kalau kamu punya masalah, silahkan cerita.”
“Iya tadz aku punya masalah dengan kepengurrusan sekarang. Aku tidak mau menjadi bagian Bahasa, aku benci sedari dulu tadz.”
“Ardi, ustadz paham begitu besarnya kebencianmu pada Bagian Bahasa di masa lalu yang bersikap arrogant dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak memberikan contoh yang baik bagi ade-adenya. Tapi ingat satu hal, Dalam melakukan kebaikan itu tak lain untuk dirimu sendiri. Jadi jangan pernah berharap orang lain akan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan apa yang kamu harapkan.”
Nasihat Ustadz Hasan sore itu mengembalikan rasa percaya diriku, aku mulai memperbaharui niatku. Kata-kata itu membuatku tersadar, akhirnya aku memaksakan diri untuk berbahasa Arab dan Inggris meski terbata-bata. Kebencianku pun berubah drastis menjadi rasa cinta pada bahasa. Semua itu lahir dari realita yang melahirkan kesadaran untuk berubah, seperti apa yang pernah dikatakan oleh dosen Filsafatku.
Kesadaranku semakin kuat ketika aku mendapat beasiswa di sebuah universitas ternama di Amerika Serikat. Dari bahasa aku belajar, ternyata hal yang kita benci, belum tentu buruk bagi kita, tapi terkadang keberadaannya mendorong kita dalam mewujudkan impian-impian yang nyaris sulit digapai. Kadang aku berangan-angan, jika saja kebencianku tak kunjung hilang maka belum tentu saat ini aku bisa menginjakkan kaki di negeri Paman Sam.
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating