Nasib Pendidikan Kini

Read Time:3 Minute, 48 Second
Oleh A. Humaeni Rizqi*
”Pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan serta potensi yang dimilikinya” (Ibnu Sina).
Sekolah atau ruang kelas, mendengarkannya saja membuat kita mengingat kembali ke ruangan yang memiliki buku tebal, bangku, papan tulis dan lembar tugas serta tidak lupa tuturan dari guru. Terkadang ingatan dalam ruang kelas diwarnai dengan hal yang menakutkan dan membuat gemetar. Sebab, sepahaman kita ruang kelas seakan wujud nyata dari pendidikan.
Pendidikan hanya sebatas dimaknai dengan sebuah ruangan tempat anak-anak diberi pengetahuan agar menjadi insan yang bermanfaat dalam kehidupan. Sayangnya, ada beberapa hal membuat ruangan kelas menjadi cacat fungsinya. Dikarenakan, proses yang dijalani sebatas penyampaian ilmu saja, seolah murid hanya tempat untuk menerima tanpa mengembangkan pelajaran yang telah disampaikan. Ini mengakibatkan ruangan kelas seakan menjadi pembatas seseorang dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Miris memang melihat kenyataan dalam pendidikan yang selama ini kita jalani. Tidak bisa dipungkiri, sampai hari ini kita masih merasakan adanya pemasungan dalam pembelajaran di ruang kelas. Kita tidak akan puas dengan ilmu yang didapatkan secara luas. Bahkan, kerap kali kita menelan kekecewaan dengan proses pembelajaran yang terjadi.
Untuk melepaskan segala kekesalan, kekecewaan dan membunuh rasa bosan berbagi aktivitas pun dilakukan seperti, mencoret-coret buku, mengobrol di kelas, atau bahkan sampai ke kantin. Terkadang kita pun hanya diam dalam mengikuti proses pembelajaran, seakan sudah mengerti. Padahal, kita hanya malas dan bebal ketika otak ini dihinggapi dengan pengetahuan yang disampaikan. Belajar dengan model pembelajaran active learning seakan semua, pendidik hanya sebatas menyampaikan pelajaran melalui metode ceramah, bahkan sampai ada yang meninggalkan kelas dengan memberi tugas-tugas yang membuat murid gaduh.
Seakan mengiyakan, Russel Crowe dalam film Beautiful Mind menggugat mengenai pemikiran yang terjadi dalam kelas. Ia menyatakan bahwa kelas bukanlah tempat yang penting. Karena ruang kelas tidak membuatnya memiliki pemikiran yang otentik. Kita hanya dapat mengikuti setiap tuturan dari pemberi ilmu.
Pemasungan ruang kelas berhubungan pula dengan kurikulum. Kurikulum hanya ajeg yang dijadikan acuan. Tanpa memperdulikan setiap karakteristik, budaya dan keanekaragaman yang ada di Indonesia, ruang kelas tidak memiliki tempat untuk menampungnya.
Pada akhirnya ruang kelas hanya dijadikan alat untuk memperoleh nilai. Ruang kelas menginginkan kita untuk terus berburu nilai, bukan berburu pengetahuan untuk diaplikasikan pada kehidupan. Pada akhirnya kita mengabaikan cara-cara untuk meraih nilai tersebut. Tak ayal untuk mendapatkan hasil yang tinggi, mencontek menjadi cara jitu dan tradisi dalam meraih hasil.
Ruang kelas yang selayaknya tempat berproses meraih pengetahuan, hanya menjadi tempat mendapatkan nilai. Hafalan menjadi kunci dasar supaya kita dapat memperoleh nilai yang tinggi. Tidak mengherankan, kalau kita menjadi generasi yang hanya mengetahui. Lantaran kita pun belum benar-benar paham dengan hal yang telah dipelajari.
Saat berlangsungnya ujian, kita segera berpacu dengan waktu untuk menghafal cepat. Namun, saat ujian telah selesai semua hal itu menjadi tidak berarti dan terlupakan. Semudah itu arti pengetahuan yang selama ini dijalankan. Kerap kali kita terjebak pada hasil yang menjadi patokan utama keberhasilan pendidikan. Tak hanya itu, Ujian Nasional (UN) hanya menjadi hal yang menakutkan, menegangkan dan membuat stress para murid, mereka merasa seperti narapidana dengan dihadiri oleh polisi, guru luar sekolah, dan bahkan sampai anggota DPRD. Sungguh miris sekali, bagaimana murid dapat  mengerjakan dengan santai? Bahkan sesekali mereka berani mengeluarkan rupiah hanya demi kunci jawaban semata.
Mungkin ini tuntutan zaman pula yang menganggap semua hal yang cepat menjadi baik merasuk sampai ke ruang kelas. Sehingga, kita tidak menikmati setiap proses yang dilalui. Kita lebih memerhatikan hasil yang telah dicapai. Tanpa sadar kita menjadi buta dalam mengukur pengetahuan yang telah didapatkan. Seakan dengan nilai yang bagus menjadikan kita berpuas diri dalam mereguk ilmu pengetahuan.
Segala hal yang mudah dan praktis ini membuat kita tidak mendalami makna pendidikan. Padahal makna yang diharapkan dapat membuat kesejahteraan. Akan tetapi, makna pendidikan yang selama ini dijalani masih jauh dari harapan. Tercermin dari setiap masalah, pemerintah hanya menyelesaikan masalah secara cepat. Ini imbas dari pendidikan yang membuat mental masyarakat menyelesaikan permasalahan secara praktis.
Kita dapat melihat fenomena seseorang yang hanya ingin kaya, kemudian ia melakukan korupsi. Ketika masyarakat kelaparan, pemerintah memberikan sembako gratis. Fenomenaitu adalah akibat dari solusi yang diajarkan di kelas, dalam memperoleh solusi yang praktis. Ini adalah petaka bagi pendidikan di Indonesia. Bila pendidikan yang telah dijalani hanya bersifat penyelesaian yang kurang memiliki solusi yang baik.
Pendidikan dalam ruang kelas membuat kita makin menghayati kebermaknaan kelas sebagai ruang belajar. Menciptakan diri untuk berproses menikmati pengetahuan. Untuk itu, selayaknya kita dapat mengubah orientasi (arah) dalam memaknai pendidikan. Kelas bukan satu-satunya tempat kita memperoleh ilmu pengetahuan. Kita tidak dapat mengartikan kelas sebagai ruang peraih nilai semata.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Perpindahan Gedung FAH
Next post Gara-gara Status Facebook, Dosen Dilaporkan ke Rektor