Sumpah Pemuda dalam Spektrum Bahasa dan Sastra

Read Time:4 Minute, 33 Second

Oleh Arief D. Hasibuan*


Jauh sebelum  28 Oktober 1928, Mohammad Yamin telah lebih dulu bergelut di dunia sastra. Puisinya yang berjudul Tanah Air pada tahun 1922 membuat dirinya dinobatkan sebagai perintis puisi modern Indonesia. Bahkan, karena itu pula, beberapa ahli sastra menjadikan puisi Tanah Air sebagai acuan awal mula lahirnya sastra Indonesia. Begitu pun dengan teks Sumpah Pemuda yang ditulisnya, hingga kemudian menjadi acuan lahirnya Indonesia.

Mohammad Yamin dengan sadar telah memanifestasikan imajinasinya lewat teks sumpah pemuda. Sehingga lahirlah Indonesia dari spektrum sastra dan rahim puisi. Maka muncul istilah, Indonesia adalah ibu kandung puisi. Sejatinya, Sumpah Pemuda adalah puisi, yang bait demi baitnya berirama dan penuh dengan makna. Lebih dari itu, Sumpah Pemuda bukan sekedar mahakarya seorang penyair, melainkan sebuah gagasan agung yang dihasilkan pemuda dalam memimpikan masa depan keberagaman dan persatuan bangsanya.

Begitulah Indonesia dilahirkan. Penuh semangat dan rasa optimisme terhadap kemerdekaan. Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu menjadi ikrar yang mesti diimplementasikan anak bangsa dalam bernegara. Ini lah yang dikatakan karakter bangsa yang sesungguhnya. Berkat nasionalisme yang tinggi, dan rasa percaya diri yang kuat, pemuda saat itu telah berhasil memainkan peran sebagai agent of change dan pemberi solusi.

Lalu bagaimana dengan pemuda saat ini? Mampukah mewarisi spirit pemuda terdahulu? Mengingat saat ini yang dihadapi pemuda adalah penjajahan gaya baru, bisakah pemuda menjadi solusi? Atau jangan-jangan pemuda sudah menjadi tua saat mudanya?

Pemuda adalah sumber kekuatan dan jalan keluar dari suatu permasalahan. Pemuda memiliki potensi yang dapat menciptakan keadaan menjadi lebih baik. Tidak bisa dipungkiri jika masa depan bangsa ada pada pemuda. Generasi muda merupakan rahasia kekuatan suatu umat, tiangnya kebangkitan, kebanggaan dan kemuliaan. Maka entah bagaimana jadinya Indonesia kedepan, kalau pemuda hari ini kalah dalam kompetisi zaman.

Fadli Zon dalam catatan kebudayaan di Horison menuliskan, di tengah arus globalisasi neoliberal ini, Indonesia menjadi mata rantai terlemah. Bukan tak mungkin dalam jangka panjang, manusia Indonesia bisa menjadi sampah globalisasi, tersingkir dari percaturan dunia yang kini bergerak maju cepat sekali. Sementara, kita masih menjadi bangsa yang dilingkupi wacana dan penuh kebingungan menentukan arah melangkah.

Jika kita cermati, tantangan pemuda saat ini tidak lain adalah daya saing. Jika pemuda tidak memiliki kompetensi yang unggul dibandingkan pemuda lainnya, maka siap-siap digilas dalam kompetisi keterbukaan ini. Maka, meningkatan kompetensi daya saing di era globalisasi ini penting sekali. Namun tidak kalah pentingnya  juga menjaga identitas dan jati diri bangsa Indonesia dari ancaman penjajahan gaya baru.

Setidaknya cerminan karakteristik genetika budaya pemuda, selain pada keberagaman atau toleransi, juga  ada pada identitas dan jati diri bangsa, yakni berbahasa Indonesia. Inilah yang disebut dengan watak keindonesiaan pemuda yang sesungguhnya.
Kondisi Bahasa
Menariknya, peringatan hari Sumpah Pemuda menjadi keistimewaan sendiri bagi bahasa dan sastra Indonesia. Betapa tidak, bulan Oktober, di mana sumpah pemuda dicetuskan, menjadi peringatan esensial yang kemudian disebut Bulan Bahasa. Tentu hal ini tidak tanpa alasan, eksistensi bahasa dan sastra Indonesia sebagai identitas suatu bangsa harus diresapi dan diperjuangkan sebagai bahasa pemersatu dan bahasa nasional. Bukan kemudian disalahgunakan bahkan diintervensi oleh pihak asing.

Penulis merangkum peran bahasa Indonesia yang tertuang di dalam UU no 24 tahun 2009 menjadi dua bagian. Bagian pertama, kewajiban berbahasa Indonesia secara universal, dan bagian kedua, kewajiban pemerintah terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Memang, aturan-aturan yang tertuang dalam undang-undang cukup jelas dan komprehensif. Sangat baik dalam rangka menjaga eksistensi dan marwah bahasa Indonesia.

Namun, pelaksanaan aturan tersebut bak panggang jauh dari api. Terlebih sikap pemerintah yang ambivalen. Ambivalensi pemerintah terhadap bahasa Indonesia secara sistematik menguatkan dugaan bahwa pemerintah telah mendiskreditkan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Dengan kata lain, pemerintah telah mencederai identitas nasional.

Terbukti. Pemerintah memutuskan undang-undang yang merugikan jati diri bangsa, bahasa Indonesia. Begitu sadarnya, pemerintah melakukan penghapusan wajib berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam Permenaker no 16 tahun 2015 tentang Persyaratan Tenaga Kerja Asing yang menggantikan Permenakertrans no 12 tahun 2013. Ironis sekali, padahal kewajiban ini menyangkut kedaulatan berbahasa Indonesia. Bukankah, bahasa adalah media politik, siapa yang menguasainya akan mampu menguasai dunia. Sayangnya pemerintah tidak memahami ini.

Selain itu, tidak adanya larangan dan ancaman pidana dalam UU No 24 tahun 2009 yang menyoroti kewajiban penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini hemat penulis, yang mengakibatkan bahasa Indonesia di pandang sebelah mata, bahkan hina. Bukan tidak mungkin, kedepan bahasa Indonesia tidak lagi diajarkan di negeri sendiri karena pemerintah dan masyarakatnya terlalu menyembah kepada bahasa asing. Padahal, bahasa Indonesia sangat berpotensi menjadi bahasa internasional.

Kemudian yang terakhir, ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan bahasa dan aturan penggunaan bahasa, seperti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang tertuang dalam Permendiknas no 46 tahun 2009 tidak berlaku lagi, dan digantikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) sebagaimana tertuang pada Permendikbud no 50 tahun 2015, hal ini  hemat penulis belum tersosialisasikan dengan baik.

Akhirnya, Indonesia membutuhkan generasi muda yang mewarisi semangat dan optimisme pemuda yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Indonesia butuh generasi yang menjunjung marwah identitas bangsanya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kita menyadari, roda sejarah Indonesia, tidak lepas dari peran pemuda, maka pemuda harus menjadi kontrol sosial bangsa.  Pemuda tidak boleh jauh dari realitas sosial dan kondisi masyarakat. Pemuda harus bersama masyarakat untuk terus mengupdatenalar kemanusiaan.

Tentu, kita semua berharap momentum Sumpah Pemuda menjadi alarm pengingat pemerintah bahwa masih ada yang bisa diharapkan untuk masa depan bangsa ini, siapa lagi kalau bukan pemuda. Sebagai agent of change dan solusi permasalahan bangsa, pemuda sudah saatnya hadir sebagai pemecah kebuntuan. Bahkan lebih dari itu, pemuda hadir, bukan sebagai pengkeruh melainkan penjernih. Bukan sebagai penyulut melainkan peredam segala kegelisahan dan permasalahan bangsa.

*Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Menyelisik Kebijakan Sebuah Fatwa
Next post Melampaui Sekularisme dan Fundamentalisme dengan Membaca Sejarah