Melampaui Sekularisme dan Fundamentalisme dengan Membaca Sejarah

Read Time:2 Minute, 8 Second
Pemahaman sekularisme yang telah berkembang di Eropa secara tidak langsung telah menyentuh masyarakat di Indonesia. Pemahaman yang memisahkan antara negara dan agama ini telah mempengaruhi sebagian besar namun dengan cara yang tak sama antara lapisan satu dengan yang lainnya.

Sebagai pengaruh meningkatnya dunia teknologi, secara tidak langsung perilaku masyarakat beragama pun dipengaruhi paham sekuler. Dalam dunia nyata paham sekuler ini terlihat saat praktik masyarakat dalam politik, semisal dalam pemilihan umum. Bahkan sebagian besar media ikut terbawa paham sekuler ini dengan banyak menampilkan isu agama yang dipisah dengan politik dan pemerintahan.

Paham sekuler yang semakin merasuk dalam masyarakat ini pun mempengaruhi perilaku masyarakat dalam beragama. Islam sebagai kekuatan sejarah serta pembentuk tatanan sosial di tanah air, hanya dijadikan formalitas semata. Jika dalam sikap beragama masyarakat hanya menganggapnya sebagai formalitas, maka akan semakin sulit memahami nilai spiritual serta pesan moral dalam agama tersebut.

Dalam arah ini, ide-ide keagamaan sering kali dipandang hilangperannya dalam mengatur tindakan individu dan institusi kemasyarakatan. Pudarnya pengaruh agama sebagai fungsi pengatur masyarakat dan politik inilah yang dipandang sebagai konsekuensi dari proses modernisasi dan sekularisasi.Tujuan dari buku ini adalah menjawab pertanyaan penulis Yudi Latif, apakah proses sekularisasi bisa berjalan beriringan dengan proses islamisasi.

Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, Yudi Latif membagikannya ke dalam tiga cara yaitu dengan mensekulerkan masyarakat Indonesia, misalnya dalam hal pendidikan, madrasah-madrasah lebih berkembang secara modern. Seperti mulai berkurangnya mata pelajaran keagamaan dan diganti oleh mata pelajaran umum.

Kemudian, cara yang kedua yaitu dengan memasukan muatan agama dalam segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini merujuk pada keberadaan komunitas-komunitas keagamaan, atau kelompok tertentu yang terikat karena kesamaan simbol keagamaan. Contohnya, politik berlandaskan kesamaan agama, aktivis-aktivis yang menjunjung moralitas dan spiritualitas keagamaan dan lain sebagainya.

Cara ketiga dalam pandangan Yudi Latif, merupakan bagian penyelesaian atau kesimpulan dari dua cara sebelumnya. Yaitu sekularisme religius, kesimpulan ini sekaligus menjawab hipotesanya yang berupa pertanyaan apakah proses paham sekuler bisa berjalan beriringan dengan beragam agama yang ada di masyarakat.

Dalam hal ini, kita bisa bercermin dari modernisasi dan demokrasi negara di Barat, di mana adanya kompromi antara otoritas sekuler dan otoritas keagamaan.Ia juga menyimpulkan bahwa teori yang dilakukan secara penuh justru berbahaya bagi sebuah negara. Dengan adanya keberagaman suatu sejarah dan sosial sebuah negara,maka pandangan mengenai paham-paham tertentu pun akan beragam.

Buku ini mengajak kita untuk berpikir secara terbuka dan luas terkait bagaimana seharusnya kita bersikap pada paham-paham yang cenderung modern. Dengan tidak selalu berpikir kaku mengenai agama dan bisa berkompromi dengan modernitas. Serta berjalan beriringan dalam menjalani aktivitas keagaaman dan tidak lupa juga pada kewajiban sebagai warga negara.

NPR

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Sumpah Pemuda dalam Spektrum Bahasa dan Sastra
Next post Antara Jurnalis Profesional dan Jurnalis Warga