Isu Keberagaman Ciptakan Perdamaian

Read Time:2 Minute, 40 Second


Judul: Jurnalisme Keberagaman untuk Konsolidasi Demokrasi
Penulis: Usman Kansong
Tebal Halaman: 152 halaman

Terbit: Desember 2016


Saking beragamnya Indonesia, justru mampu menuai konflik. Jurnalisme keberagaman hadir untuk menghadapi tantangan tersebut.
Suku, agama, ras, maupun gender menjadi isu yang paling sensitif di Indonesia. Terkadang isu ini bisa menuai konflik akibat pemberitaan di media yang menyulut emosi pembaca. Saat ini, masyarakat modern begitu mudah mengakses informasi tanpa verifikasi terlebih dulu. Terlebih, media sekarang mulai lupa tentang etika jurnalisme. Oleh karenanya, jurnalisme keberagaman hadir demi memelihara keberagaman di Indonesia.
Saat ini, Indonesia adalah sebuah negara transisi demokrasi yang membutuhkan pilar demokrasi yang mumpuni, salah satunya Jurnalisme. Ketika pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami masa otoritarianisme yang dinilai anti kebebasan. Bahkan, pers yang kontra pemerintah harus siap dibredel oleh penguasa. Pascareformasi, Indonesia bertransisi menuju negara demokrasi yang identik dengan kebebasan, salah satunya kebebasan pers. Tak hanya itu, Indonesia juga mulai mengakui keberadaan etnis Tionghoa yang beragama Konghucu.
Masa transisi demokrasi justru meningkatkan konflik berkepanjangan. Banyak serangan berbau agama, terutama kepada kelompok macam Syiah dan Ahmadiyah. Selain itu, kebijakan desentralisasi justru meningkatkan konflik di daerah, terutama untuk mereka yang bertujuan untuk memenangkan kekuasaan tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.
Beberapa Presiden Indonesia memiliki perbedaan terkait keberagaman. Era Abdurrahman Wahid, Konghucu mulai diakui sebagai agama resmi. Saat Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan sebagai Hari Besar Keagamaan. Lain halnya dengan SBY, ia justru kontra terhadap keberagaman melaui UU No. 44 Tahun 2008 tentang Anti Pornografi yang kemudian dinilai mendiskriminasi gender. Sedangkan di era Joko Widodo, pemerintah masih belum menentukan kebijakan terkait keberagaman. Ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus yang belum tuntas, seperti kasus pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram. 
Saat negara tak berdaya untuk mengelola keberagaman, jurnalisme hadir untuk mengambil perannya. Pers mengambil fungsi kontrolnya demi menciptakan negara yang bijak dan tegas dalam mengelola keberagaman. Sedangkan jurnalis berperan dalam menyampaikan ide keberagaman demi kepentingan pluralisme pada masyarakat. 
Saat ini, kemunculan pers berbasis agama terkesan radikal. Terlebih, berita sekarang pun lebih provokatif. Dalam hal ini, pers mulai acuh terhadap etika jurnalistik. Alhasil, pemberitaan pun bercampur aduk antara opini dan fakta. 
Selain itu, pers arus utama terkesan tak berimbang dalam pemberitaan keberagaman. Pembingkaian berita seakan merubah kondisi sebenarnya, terutama pada kalangan minoritas.  Seolah-olah, kalangan minoritas berperan sebagai pelaku kekacauan, padahal justru sebaliknya. Sayang, jarang sekali isu keberagaman dimunculkan dalam berita utama. Justru berita ini malah dimunculkan dalam halaman tengah.
Oleh karenanya, jurnalisme keberagaman hadir dalam kondisi masyarakat yang plural. Merekalah yang bertugas untuk mengedukasi, mengadvokasi, dan memunculkan empati pada masyarakat. Dengan demikian, muncullah sikap yang harmonis terhadap perbedaan.
Buku Jurnalisme Keberagaman untuk Konsolidasi Demokrasi berisi semangat dan cara jurnalis dalam memberitakan isu keberagaman. Kebanyakan berita saat ini cenderung provokatif, menindas golongan minoritas sehingga para pembaca pun mudah tersulut emosi. Sehingga menimbulkan persepsi jurnalis anti keberagaman yang hanya peduli akan rating pembaca, bukan mendidik pembaca. 

Selain itu buku karangan Usman Kansong ini juga memberikan argumen dari segi filosofis, sosiologis, dan agama dalam berbicara keberagaman. Realitas berbicara bahwa kebebasan kaum minoritas sudah terenggut. Padahal, Indonesia adalah negara demokrasi yang bebas dan merdeka serta melindungi hak-hak minoritas. Peran negara seakan pasif dalam menindak kasus-kasus yang menodai keberagaman. Jika hal itu terjadi, jurnalisme masuk sebagai kontrol dan menyadarkan para kaum petinggi negara untuk memihak pada keberagaman. 

Eli Murtiana

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Ubah Sampah Jadi Berkah
Next post Wajah Pendidikan yang Tertinggal