Masjid Cheng Ho, Wujud Toleransi Beragama

Masjid Cheng Ho, Wujud Toleransi Beragama

Read Time:2 Minute, 13 Second

Masjid Cheng Ho, Wujud Toleransi Beragama
Wisata religi mempunyai nilai tersendiri, terutama mengunjungi tempat peribadatan. Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya menjadi simbol toleransi beragama dan kerukunan masyarakatnya.
Apa yang terngiang di benak anda mengenai Surabaya? Mungkin sebagian orang hanya mengenal Surabaya dengan Jembatan Suramadu nan megah, monumen Tugu Pahlawan, atau patung sura dan buaya. Padahal, di kota pahlawan ini anda dapat berwisata sembari mempelajari nilai-nilai toleransi dan keragaman yang tertanam kuat pada masyarakatnya.

Kota toleransi, mungkin tak berlebihan kiranya dinisbatkan pada kota yang menjadi saksi bisu Hari Pahlawan ini. Nilai toleransi tersebut terpancar jelas jika anda mengunjungi Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Gading, KetabangGentengSurabaya. Sekilas, bangunan yang didominasi warna merah tersebut tak ubahnya kelenteng tempat peribadatan umat Kong Hu Cu.



Namun siapa sangka, bangunan yang persis seperti kelenteng tersebut digunakan umat Muslim untuk melaksanakan sholat dan kegiatan peribadatan lainnya. Jika meruntut sejarah, Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun sebagai bentuk penghormatan pada sosok Cheng Ho, seorang laksamana asal Tiongkok yang beragama Islam. Cheng Ho datang ke Majapahit kala itu sebagai utusan Kaisar Dinasti Ming, namun ia juga turut menyebarkan agama islam terutama di pulau Jawa.
Jika dilihat dari segi arsitektur, bangunan Masjid Muhammad Cheng Ho sangat kental dengan gaya perpaduan Tiongkok dan Arab. Arsitektur masjid ini terinspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing, sehingga jika diperhatikan ada banyak kesamaan. Hal ini dapat dilihat pada bagian puncak atap utama dan mahkota masjid bergaya Niu Jie.
Ada pun Masjid Muhammad Cheng Ho didirikan atas prakasa para sesepuh dan pengurus Yayasan haji Muhammad Cheng Ho Indonesia, serta masyarakat Tionghoa di Surabaya. Dibangun tahun 2002, masjid ini sebagai simbol kerukunan antar umat beragama terutama kaum Muslim dan Tionghoa di Surabaya. Di sebelah kiri bangunan masjid, terdapat banyak prasasti dalam berbagai bahasa dan latar belakang agama berisikan komitmen hidup rukun bersama.



Bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Masjid Muhammad Cheng Ho, dari Stasiun Pasar Turi dapat menggunakan transportasi umum angkot bemo dengan estimasi lama perjalanan satu jam. Namun jika wisatawan berangkat dari Bandara Internasional Djuanda, maka untuk menuju lokasi dapat menggunakan transportasi umum bus Damri dan dilanjutkan menggunakan becak maupun ojek.
Salah satu pengunjung Siti Maghfirah mengungkapkan kekagumannya pada Masjid Muhammad Cheng Ho. Menurutnya, masjid ini sebagai lambang kerukunan umat beragama di Indonesia. Terlebih, di Indonesia banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan etnis Tionghoa dianggap berlawanan dengan budaya Indonesia. Namun dengan adanya masjid ini dapat menjadi bukti bahwasanya umat Muslim dan Tionghoa dapat bersatu dan bersaudara.

Yang menarik bagi Siti, Masjid Muhammad Cheng Ho memiliki bangunan gaya kelenteng namun digunakan umat Muslim untuk beribadah. Tentu bagi Siti hal tersebut unik, terlebih di dalamnya ukiran-ukiran seni khas Tiongkok memperindah suasana. “Sumpah itu masjid keren banget,” ucap Siti, Senin (14/2).
M. Rifqi Ibnu Masy

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Seni Bergaya Realis Previous post Seni Bergaya Realis
Kontribusi Pemuda Untuk Desa Next post Kontribusi Pemuda Untuk Desa