Para pekerja sawit didapati bekerja tak wajar. Segala perundang-undangan ihwal perbudakan dan penegakannya perlu memayungi mereka.
Nama Bupati nonaktif Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin sempat melambung belakangan ini. Berawal dari dugaan kasus suap yang menimpanya, ia juga dituding melakukan praktik perbudakan modern. Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menggeledah rumah megahnya pada Rabu, 19 Januari lalu, ditemukan dua kerangkeng yang berpenghuni 27 orang.
Permasalahan kerangkeng itu dengan perbudakan modern kemudian diperkuat oleh laporan yang didapat Migrant Care. Laporan tersebut menyebutkan kerangkeng sebagai tempat penyiksaan bagi para pekerja sawit milik Terbit. Pekerja pun tak mendapat upah dari jerih keringatnya. Walhasil Senin, 24 Januari, Migrant Care melaporkan kerangkeng punya Bupati Langkat ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun hal kontras disampaikan Kapolda Sumatera Utara, Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak. Dirinya berdalih kerangkeng itu sekadar tempat rehabilitasi pengguna narkoba sejak 10 tahun silam. Sayangnya tak ada perizinan tempat. Panca juga menuturkan bila para pemakai narkoba—penghuni kerangkeng— dipekerjakan ke ladang sawit punya Bupati Langkat. Data ini Institut kutip dari amnesty.id.
Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Vita Yudhani mengecam keras perbuatan Bupati nonaktif Langkat. Hal tersebut merupakan perbudakan modern, sebab kerangkeng digunakan untuk para pekerja sawit dengan situasi kerja yang tidak layak serta tidak sesuai dengan skema bisnis kelapa sawit.
Berdasarkan catatan Walk Free Foundation, Indonesia masuk ke dalam urutan 10 besar daftar negara sarang perbudakan dengan jumlah 736.100 buruh paksa. Dilihat dari sisi ekonomi, terdapat peningkatan tren ketimpangan sosial dari tahun 1990 hingga tahun 2000.
Vita menjelaskan kemiskinan struktural dan ketimpangan tersebut, menjadi penyebab tingginya kasus perbudakan di Indonesia. Vita juga mengatakan penegakan hukum yang menyeluruh menjadi kunci menghadapi kemiskinan struktural yang bikin masyarakat tersebut bekerja tak layak. “Kondisi ini yang membuat seseorang tidak memiliki banyak pilihan strategi pemenuhan kebutuhan,” jelasnya pada Kamis (10/2).
Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan, perbudakan modern sejatinya sama dengan perbudakan di masa lalu. Perbedaan kedua perbudakan itu hanya terletak pada era terjadinya saja. Disebut sebagai perbudakan, apabila seseorang di bawah kendali pihak lain untuk tujuan tertentu.
Kerja paksa menjadi salah satu contoh bentuk perbudakan yang banyak ditemui. Sektor kerja paksa, tutur Ismail, biasanya memiliki sedikit interaksi dengan pihak luar. Ia pun menyebutkan bahwa eksploitasi anak dan pembatasan kebebasan pekerja prostitusi merupakan bentuk lain perbudakan modern.
Meskipun Kapolda Sumatera Utara menyatakan kerangkeng yang ditemukan adalah tempat rehabilitasi, kata Ismail, tindakan Bupati nonaktif Langkat tetap tidak dapat dibenarkan. Terlebih lagi, keberadaan kerangkeng luput dari pengawasan Badan Narkotika Nasional-Provinsi (BNNP). “Jika dilihat dari pengakuan korban memang awalnya tempat rehabilitasi. Namun, dalam prakteknya tempat tersebut tidak memenuhi standar medis dan kemanusiaan,” ungkapnya pada kamis (10/2).
Memberantas Perbudakan
Dalam memberantas perbudakan di Indonesia, imbuh Vita, diperlukan implementasi kebijakan yang multidimensi. Oleh karena itu, untuk mengurai kasus perbudakan memerlukan kerja sama antar lapisan, baik dari pemerintahan maupun penegak hukum. Tak hanya itu, ia pun mengingatkan pentingnya kebijakan sosial yang tidak hanya berfokus pada pemberian bantuan, tetapi juga mampu membuat masyarakat berdaya secara mandiri.
Vita turut berkomentar mengenai implementasi hukum yang sudah ada saat ini, menimbang Indonesia masuk ke dalam urutan sepuluh besar negara sarang perbudakan. Menurutnya, dalam menghadapi hal tersebut diperlukan kerja sama antara pemerintah dan para penegak hukum. “Peraturan perundang-undangan akan efektif jika diikuti dengan penegak hukum yang kuat dan pengawasan dari pemerintah yang menyeluruh,” tutur Vita pada Kamis (10/2).
Adapun payung hukum perbudakan telah diatur dalam pelbagai Undang-Undang (UU). Mulai dari UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Tak ketinggalan, UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Reporter: Salwa Tazkia
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating