Momentum Menag Memilih Rektor

Momentum Menag Memilih Rektor

Read Time:3 Minute, 18 Second

 

Momentum Menag Memilih Rektor

Mayoritas civitas academica sepakat menolak PMA 68/2015 lantaran memberangus demokrasi kampus. Peraturan yang baru dua kali diterapkan di UIN Jakarta, membuat Menag punya kuasa pilih rektor baru.


Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri telah dilaksanakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun ini merupakan kali keduanya UIN Jakarta menjalankan peraturan tersebut untuk pemilihan Rektor masa bakti 2023—2027. 

Sebelumnya, pada 2019 pemilihan Rektor sudah dipercayakan kepada Menteri Agama (Menag). Kemudian terpilih Amany Burhanuddin Umar Lubis sebagai Rektor UIN Jakarta masa bakti 2019—2023.

Pada 5 Oktober silam, 17 Calon Rektor menghadap Senat Universitas untuk menyampaikan visi dan misi. Senat Universitas kemudian memberikan pertimbangan kualitatif. Kemudian terpilih tiga nama oleh Komisi Seleksi (Komsel) bentukan Kementerian Agama (Kemenag), selanjutnya akan ditetapkan oleh Menag sebagai Rektor UIN Jakarta masa bakti 2023– 2027.

Sekretaris Senat, Masri Mansoer menerangkan bahwa tidak ada persiapan khusus dalam pemilihan Rektor. Namun, Masri menyayangkan pemilihan Rektor oleh Menag karena dianggap tidak demokratis dan kurang transparansi. “Yang tahu kampus itu, kan, bukan menteri, tapi civitas akademika khususnya Senat Universitas,” ungkapnya melalui WhatsApp, Senin (21/11).

Alih-alih diikutsertakan dalam pemilihan, ujar Masri, bahkan Senat Universitas tidak diberitahu tentang tiga nama calon Rektor yang diberikan ke Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini hanya diketahui oleh Komsel dan Menag. “Saya bukan anggota Komsel, jadi saya gak tahu (tiga calon rektor yang diajukan). Kapan Komsel dibentuk dan melaksanakan tugasnya itu kewenangan menteri, saya gak tahu,” tambahnya.

Peneliti dan Guru Besar Ilmu Politik, Saiful Mujani, beranggapan bahwa pemilihan Rektor oleh Menag kurang efektif karena dinilai tidak transparan dan tidak menampung keberagaman. Ia menilai pemilihan Rektor yang ideal itu diambil dari beberapa suara, khususnya yang paham dinamika UIN Jakarta. 

Seperti halnya dengan peraturan seleksi Rektor di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang selalu melibatkan pihak Senat Universitas dalam memilih kandidat Rektor. Sehingga Senat Universitas memiliki otoritas di dalam kampus. “Mereka lebih paham tentang kandidat rektor yang cocok memimpin UIN Jakarta,” ujarnya, Rabu (16/11).

Ketua Penjaringan Bakal Calon Rektor UIN Jakarta, Afwan Faizin berpendapat bahwa mereka hanya melaksanakan peraturan yang berlaku. “Saya tidak punya opini pribadi,” tuturnya saat dihubungi Institut melalui WhatsApp pada Kamis (17/11).

Guru Besar Tasawuf UIN Jakarta, Asep Usman Ismail menegaskan zaman sekarang butuh pola desentralisasi, yakni pusat memberikan kepercayaan kepada daerah otonomi untuk mengelola daerahnya sendiri. PMA Nomor 68 Tahun 2015 dianggap menjurus ke politik otoriter karena kampus harus menerima apapun keputusan Menag. “Saya pesimis,” ungkapnya, Selasa (22/11).

Asep menerangkan bahwa civitas academica tidak bisa berbuat banyak karena semuanya bergantung pada keputusan Menag yang mempunyai suara bulat seratus persen. Jika memprotes pun posisi sebagai tenaga pengajar bisa terancam. “Ini lebih politik daripada pemilihan oleh kampus sendiri. Semoga di 2024 nanti bersamaan dengan presiden baru, menteri agama baru, spiritnya baru, maka UIN terbuka untuk pendidikan paradigma baru,” harap Asep.

Muhammad Abid Al Akbar sebagai Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta ikut menanggapi, bahwa pemilihan Rektor UIN Jakarta menggunakan regulasi PMA Nomor 68 Tahun 2015 itu problematik karena hanya melalui satu jalur pemilihan. Menurutnya, seluruh civitas academica UIN Jakarta perlu dilibatkan dalam pemilihan Rektor. Hal itu karena civitas academica lebih mengetahui calon pemimpin yang dibutuhkan sesuai kriteria dibanding orang luar UIN. “Ibaratnya, kita memilih presiden untuk negara kita, malah dipilih oleh orang lain yang bukan dari negara, itu, kan, aneh,” ungkapnya melalui WhatsApp, Selasa (22/11).

Abid menjelaskan, jika menggunakan PMA Nomor 68 Tahun 2015 memungkinkan banyak terjadinya kontrak politik di belakang, hal tersebut karena tidak ada transparansi sepanjang prosesnya. Selain itu, jika pilihan Menag tidak sesuai maka Dema-U akan menuntut kembali Kemenag, karena itu tanggung jawabnya. “Jika hal sederhana, transparansi tidak dipublikasikan dan itu terus terjadi, maka kampus akan bobrok,” tuturnya, Selasa (22/11).

Sementara itu, Institut telah mencari tahu sejak Jumat (16/11) mengenai anggota Komsel Pemilihan Rektor UIN Jakarta melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, tetapi dilempar tanpa kejelasan.

Reporter: M. Naufal Waliyyuddin, NS

Editor: Syifa Nur Layla

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Teknologi Berkembang, Jasa Tukang Becak Tumbang Previous post Teknologi Berkembang, Jasa Tukang Becak Tumbang
Tradisi Suap yang Keruh Next post Tradisi Suap yang Keruh