Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menggelar Festival Hakordia di Wisma Syahida Inn, Ciputat, pada Jumat (9/12) kemarin. Festival tersebut mengusung tema “Tangguh Melawan Korupsi”. Festival berkolaborasi dengan Transparency International Indonesia (TII)—cabang jaringan global lembaga swadaya masyarakat anti korupsi.
Menurut Pakar Hukum Feri Amsari, tidak ada satupun pasal yang bisa dipraktikan di Indonesia. Sebab, kata dia, di Indonesia pasal bisa ditambah dan dirubah sesukanya. Padahal, dalam membuat kebijakan, negara memiliki tiga hak, yaitu hak mendengar, menyampaikan pendapat, dan menjawab atau dijawab.
“Kebiasaan tersebut termasuk bagian dari teknik untuk menghancurkan semangat pemberantasan korupsi,” ujar Feri, Jumat (9/12).
Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan mengatakan jika seseorang memilih membiarkan kegiatan korupsi, maka orang tersebut menyubsidi koruptor. Menurut Novel, dalam memberantas korupsi, masyarakat tidak boleh tinggal diam dengan hanya mengandalkan negara.
“Nilai ekonomi yang seharusnya bermanfaat untuk masyarakat menjadi tidak bermanfaat. Belum lagi negara memulihkan kerugian atas perbuatan korupsi,” tutur Novel, Jumat (9/12).
Novel menilai penanganan korupsi sejauh ini belum efektif. Tatkala koruptor mengambil keuntungan dari perkebunan dengan cara suap, mereka hanya mengembalikan apa yang diperoleh. Hal ini, kata dia, memancing seseorang termotivasi berbuat korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menuturkan bahwa persoalan korupsi sudah menjadi sistem yang melekat dalam pemerintah, birokrasi, dan kebebasan media. Menurut Bivitri, pada awalnya korupsi berasal dari produk pemerintah yang berupa kebijakan.
“Kebijakan terkait korupsi dianggap biasa saja sebab dipandang sebagai sebuah produk yang sah sehingga dianggap benar. Namun secara subtansi mungkin banyak koreksi,” kata Bivitri, Jumat (9/12).
Reporter: IHPA
Editor: Haya Nadhira