Rencana impor Kereta Rel Listrik (KRL) oleh PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI) tidak mendapat persetujuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Penolakan rencana impor KRL dianggap tidak mengutamakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Hal ini tercantum pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 22 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Elektronika dan Telematika.
Dilansir dari Kompas.com, BPKP merekomendasikan pengadaan KRL oleh PT Industri Kereta Api (PT INKA) yang merupakan industri kereta api di Indonesia. PT KCI juga diketahui sudah menandatangani kontrak dengan PT INKA terkait pengadaan 16 rangkaian kereta api pada 2025–2026. Namun, pengguna KRL masih meragukan keputusan tersebut sebab kereta api dari PT INKA belum teruji kualitasnya.
Institut melakukan wawancara khusus terkait opsi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan KRL dengan Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang pada Sabtu (29/4). Deddy juga merupakan seorang pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang berfokus pada isu perkeretaapian di Indonesia.
Bagaimana kondisi KRL saat ini sehingga perlu dilakukannya impor?
Jumlah KRL sekarang sudah amat kurang. Sudah banyak stamformasi 8 (SF8)—kereta berisikan delapan gerbong—di lintas Bekasi dan Bogor yang seharusnya 12 gerbong (SF12) dalam suatu rangkaian kereta. Lintasan Serpong juga kereta hanya berisikan sepuluh gerbong (SF10) dari jumlah ideal 12 gerbong (SF12).
Sebelum heboh tarik-ulur impor KRL, sebenarnya kita sudah kekurangan kereta. Apalagi saat ini pandemi sudah berakhir, maka jumlah penumpang pun semakin membludak. Oleh karena itu, PT KCI pun mengajukan impor KRL bekas kembali untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Bagaimana Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 22 Tahun 2020 melatarbelakangi larangan impor KRL bekas?
Peraturan tersebut berkaitan dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)—persentase kandungan barang dan jasa yang bersumber dari dalam negeri. Aturan tersebut memang tidak memperbolehkan impor barang atau memperbolehkan impor yang tetap mengandung TKDN. Tahun 2023 ini TKDN yang diwajibkan 40%, namun untuk 2025 kelak TKDN akan meningkat menjadi 60%.
Akan tetapi, bisnis pelayanan publik tidak bisa disamakan dengan barang-barang produk konsumen, misal baju, gawai, kulkas, dan sejenisnya. Kalau untuk barang-barang seperti itu, Indonesia memang punya banyak pabriknya. Jika menyangkut kereta api atau layanan massal lain yang hanya memiliki satu penyedia, aturan tersebut tidak bisa serta-merta diterapkan. Ditambah lagi, PT INKA saat ini belum bisa membuat kereta api secara massal.
Kementerian Perindustrian pernah mengatakan bahwa TKDN adalah prioritas. Namun, bagi kami praktisi transportasi prioritasnya adalah pelayanan publik. Lalu, hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan transportasi adalah ketersediaan, kenyamanan, dan kehandalan.
Pernahkah PT INKA membantu pengadaan KRL atas permintaan PT KCI sebelumnya?
PT INKA bekerja sama dengan beberapa pihak pernah memproduksi beberapa KRL sebelumnya. Salah satunya KRL BN-Holec yang diproduksi tahun 1994–2001, sayangnya KRL tersebut bermasalah sehingga hanya bertahan untuk pemakaian lima tahun. Lalu, pada 2010–2011 PT INKA juga memproduksi KRL i9000 KfW- INKA/Bombardier, namun kereta inipun bermasalah seperti sebelumnya. Karena alasan-alasan tersebut, maka PT INKA dianggap belum andal untuk memproduksi KRL.
Bagaimana perbedaan harga dan kualitas kereta api yang dihasilkan Jepang dan kereta api produksi PT INKA?
Terakhir kali, biaya yang dikeluarkan untuk impor KRL bekas dari Jepang yaitu sekitar Rp1 Miliar per unit. Untuk biaya saat ini, mungkin sudah naik akibat inflasi dan biaya pengiriman, sekitar Rp1,6 Miliar per unit. Kalau beli baru dari hasil produksi PT INKA, biayanya Rp20 Miliar per unit, lalu ada selisih harga yang cukup jauh dibanding dengan produk Jepang. Hal itu berimbas pada kenaikan tarif KRL karena kesenjangan biaya pengadaan KRL impor bekas dan KRL hasil PT INKA yang cukup banyak.
Kalau dari segi kualitas, kereta api hasil PT INKA masih di bawah Jepang. Jika ditinjau dari pengalaman sebelumnya, produk KRL hasil PT INKA hanya bertahan sekitar lima tahun. Sedangkan KRL produksi Jepang didesain untuk pemakaian 50 tahun, namun Jepang hanya menggunakan KRL-nya selama 25 tahun pertama. Sehingga kalau impor dilakukan, Indonesia masih bisa menggunakannya maksimal 25 tahun selama belum benar-benar rusak.
Jika pengadaan KRL tidak segera dilakukan, bagaimana imbasnya terhadap pelayanan KRL selama 2023–2024?
Masalahnya, selama dua tahun ini akan ada total 29 kereta yang dipensiunkan, masing-masing sepuluh dan 19 kereta pada 2023 dan 2024. Melihat kondisi di waktu sibuk, penumpang kereta sangat berdesakan layaknya ikan pepes. Jika kebutuhan penggantian 29 kereta itu tidak terpenuhi, maka kepadatan semacam itu akan terus terjadi bahkan meningkat.
Jika 29 kereta tetap dipaksakan beroperasi, maka resiko kerusakannya lebih tinggi sebab jangka waktu pemakaiannya sudah hampir habis. Hal itu pasti mengurangi tingkat keamanan dan kenyamanan penumpang. Untuk dampak yang lebih panjang, masyarakat akan kembali menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan transportasi publik.
Reporter: SDC
Editor: Febria Adha Larasati